05

165 22 0
                                    

Zee memutuskan untuk keluar dari cafe dan mencari tempat yang lebih tenang. Dia menemukan sebuah warung kecil yang terletak di seberang cafe, tempat yang jauh dari keramaian. Dengan langkah hati-hati, Zee memasuki warung tersebut dan memilih sebuah meja di sudut yang agak tersembunyi. Gadis itu menelungkupkan kepalanya di atas meja, terlihat kembali murung akibat ucapan teman-temannya barusan di cafe.

Dalam keheningan warung kecil yang sederhana, Zee tenggelam dalam lamunannya yang dalam. Suasana murung dan hening mengelilinginya, membiarkannya merenungkan segala hal yang terjadi belakangan ini. Fokusnya yang terpecah akibat perasaan yang bercampur membuatnya tidak sadar bahwa seseorang duduk di hadapannya.

Sekian detik kemudian, Zee lantas menegakkan kepalanya dengan perlahan dan terkejut menemukan Arsa duduk di hadapannya. Matanya terbuka lebar, terkejut dan tidak percaya dengan kejutan yang tiba-tiba ini. Arsa, dengan senyuman lembut di wajahnya, menatap Zee dengan penuh kebaikan.

"Kok lo tau gue ada disini?" tanya Zee berusaha bersikap tenang.

"Tadi temen-temen kamu bilang, kamu keluar cari angin. Tapi sampai sekarang nggak balik-balik. Terus saya lihat kamu datang ke warung ini, makanya saya samperin," jawab Arsa dengan suara yang lembut.

"Lo nggak kerja?"

"Lagi istirahat sebentar."

Lantas, Zee mengangguk-angguk saja dengan jawaban Arsa. Dia merasa sedikit canggung dengan keadaan sekarang hingga tidak tahu harus berbicara apa dengan cowok itu. Padahal Zee ingin sekali sekali bercerita banyak sekaligus ingin mengomeli Arsa karena tidak pernah datang untuk sekedar mengabari.

Arsa duduk di hadapan Zee, memperhatikan setiap sudut wajah gadis itu dengan seksama. Matanya menelusuri ekspresi Zee, mencari petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik kerutan dahi dan tatapan hampa gadis itu. Ada sesuatu yang membuat Arsa penasaran akan sikap Zee, sebuah aura misterius yang terpancar dari wajahnya.

"Kamu masih marah sama saya?" tanya Arsa dengan sikap tenang.

"Hmm? Kenapa gue harus marah sama lo?" Zee malah balik bertanya, mengerutkan dahi seolah menutupi sesuatu.

"Saya pikir kamu kecewa karena saya nggak ngabarin kamu."

Zee menghela nafas pendek. "Gue kecewa sih, tapi gue sadar, buat apa gue harus marah sama kehidupan orang lain. Lagian itu urusan lo."

Kali ini Arsa yang mengangguk percaya. Ada sedikit rasa bersalah pada diri Arsa. Menurutnya Zee dan keluarganya adalah orang yang baik hingga dengan tulus bertanggungjawab dan merawatnya meski hanya dua hari. Namun, Arsa malah menghilang tanpa kabar setelah pamit dari rumah Zee.

"Waktu itu saya ada niatan mau main ke rumah kamu, tapi saya takut ganggu."

"Main ya tinggal main, Sa. Lo nggak tahu kan semenjak lo pergi, gue kepikiran sama lo. Gue takut lo susah sendirian, susah makannya, susah ngelakuin ini dan itu." Zee berkata jujur kali ini, menutup-nutupi sesuatu yang ingin dia katakan itu rasanya tidak akan ada gunanya. Zee sama sekali tidak gengsi. Kadang-kadang.

"Maaf ya bikin kamu cemas."

Dalam keheningan warung kecil yang tenang, Zee dan Arsa duduk bersama, menciptakan momen yang penuh dengan ketegangan dan harapan. Mereka berdua saling bertatapan, membiarkan keheningan dan kehadiran satu sama lain membawa kedamaian dan kehangatan di antara mereka.

"Sa, besok gue libur. Kalau ada waktu, main ke rumah ya, gue tungguin. Mama juga mau tahu kabar dari lo," ucap Zee sungguh-sungguh.

"Inshaallah, nanti saya sempetin singgah ke rumah."

"Bener ya. Awas aja kalau enggak jadi, gue samperin lo kesini." Arsa tertawa kecil mendengar penuturan Zee yang blak-blakan.

"Habis ini pulang aja, ya. Jangan nungguin saya, hari ini saya pulang agak maleman soalnya. Saya takut orang tua kamu juga khawatir."

Zee sedikit manyun, jujur saja dia kecewa. Padahal sudah ada niatan ingin menunggu Arsa pulang bekerja. Zee masih merindukannya dan ingin mengobrol sedikit lebih lama. Namun, Zee juga akan merasa bosan jika sendirian menunggu.

"Tangannya beneran udah nggak apa-apa?"

"Nggak papa, Zee. Lihat nih udah bisa digerakin." Arsa memamerkan pergelangan tangannya yang terlihat baik-baik saja.

Zee tersenyum. "Oke, kalau gitu."

Gadis itu lantas beranjak dari kursinya, berniat ingin pulang saja hari ini.

"Nggak jadi makan disini?"

"Gue mau langsung pulang aja. Udah nggak mood."

"Mau saya anterin sampai depan?"

"Nggak usah, lo balik kerja lagi aja. Gue pulang sendiri, bye."

"Yaudah, hati-hati."

Ketika Zee berada di jalan pulang, gadis itu tiba-tiba berhenti saat dirinya sudah lebih jauh dari cafe. Sejak tadi berusaha menahan senyum, namun kali ini benar-benar dia lepaskan.

"AAAKSJSBSJSJSJSN!! OMG, OMG, OMG!" teriak Zee dengan sangat antusias. Dia segera melupakan rasa kesalnya terhadap teman-temannya setelah bertemu Arsa.

"Jantung gue kenapa tiba-tiba nggak bisa diem? Kenapa dia manis banget ya Tuhan!!" seru Zee seraya menyentuh bagian jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Untung gue punya bakat terpendam, untung gue nggak salting depan dia!"

"Mama tolongin anakmu!"







"Mama tolongin anakmu!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unexpected LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang