Part 1: Strange

1K 113 33
                                    

Brak!

"Brengsek!"

Nala pun memejam mendengar umpatan itu. Selain terdengar suara piring beradu dengan wastafel pantry, gerutu dari rekan kerjanya mendesak masuk rungu yang semula senyap.

"Nyesel banget gue pernah nikah sama tuh bajingan, gue gak akan hidup susah kayak gini, Anjing!" maki wanita berselang umur sepuluh tahun dengan Nala, tampaknya dua jam baru saja memulai jam kerja otak dia sudah membara.

"Sabar, Mbak." Itulah yang bisa Nala usungkan. Bukan tenang, senior yang bernama Vika itu justru membentaknya.

"Bocah diem aja! Mana ngerti jadi janda anak satu tapi ekonomi setipis tisu!"

Hati Nala tergores atas itu, nampan berisikan piring makanan penutup pelanggan bergetar karena kepalan tangan. Sekali saja ia terhindar oleh manusia semacam Vika, itulah harapan terbesarnya. Ia mengatur deru napas yang hampir saja tak terkendali, tetapi bukanlah Nala bila mulutnya bisa diam.

"Nala juga capek, Mbak. Jangan ngeluh di depan orang yang capek juga, apalagi sampai marah-marah gak jelas. Jangan bikin mood orang jelek," sanggah Nala melemparkan tatapan tajam dan berani, maka lawan bicara tak berkutik.

Vika bicara seakan-akan dialah manusia paling lelah di dunia, Nala tidak suka itu. Ingatlah bahwa dirinya setara lelah dengan segala masalah di bumi, ia juga bukan hidup untuk diri sendiri melainkan ia menyandang tanggungan yang cukup berat.

Akhirnya Nala keluar untuk mengantarkan pesanan di meja pojok. Di sana terdapat dua gadis berseragam SMA, ia tak tahu mengapa pukul sebelas anak sekolah sudah berkeliaran, ia menyimpulkan mereka bolos pelajaran.

Melihat itu sungguh mengulang kembali ingatan silam, tepatnya dua tahun lalu setelah ia lulus. Kenangan indah dan juga kelabu, manalagi saat ia harus meninggalkan Malang dan tinggal di Bandung demi riset ayahnya. Namun, sang ayah tak dapat bertahan hingga terhitung satu tahun berlalu ia seorang diri.

"Atas nama siapa?" tanya Nala pada pelanggan yang baru saja memesan di meja kasir.

"Lylian."

Nala menulis nama itu di Coffee Cup, kegiatan ini sudah melekat dengannya sejak ayah meninggal dunia. Ia tak punya waktu untuk menghabiskan masa mudanya seperti remaja pada umumnya, Nala lebih menempatkan dirinya sebagai karyawan di sebuah toko makanan dan minuman yang cukup memiliki nama yang terkenal. Terbilang seperti Kafe, nyatanya toko ini menyediakan banyak makanan manis dan jenis minuman lainnya. Toko yang letaknya tidak strategis, mengakibatkan tidak terlalu ramai. Setidaknya itu adalah keberuntungan meninjau uang bulanan cukup. Nala menyukai pekerjaannya, meski ada sedikit paksaan.

Tepat pukul empat, Nala kedatangan Gino sebagai pengganti jam kerjanya. Tak berlama-lama ia meninggalkan meja kasir untuk mengganti pakaian dan pulang, tetapi ketika baru saja masuk ruang khusus karyawan, Vika menyenggol lengannya.

"Ada yang nyariin lo," sosor Vika, sekejap menciptakan kerutan di kening Nala. Seiring mereka bertukar tatap Vika memberi sinyal agar Nala segera pergi menuju belakang.

"Siapa?"

Tentunya Vika menggeleng, kemudian mendekat untuk menyampaikan kata berupa bisikan. "Pakaiannya rapi, jangan-jangan Boss besar? Mbak denger dia lagi di sini. Di Bandung."

Nala memutar bola matanya malas, omong kosong yang tak akan suah menjadi nyata, faktanya ia tak pernah melihat pemilik lisensi toko sekali pun selain atasan pemegang kendali selama satu tahun di sini. Jadi, perkataan Vika sangatlah tidak masuk akal.

"Masa iya harus nemuin Nala di belakang?" ketus Nala sedikit jengah karena mengganggu waktunya, ia pun membuka apron sewaktu Vika mengedikkan bahu dan meninggalkannya.

SEVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang