Part 7: Truth

416 59 29
                                    

Secercah sinar lampu mulai menerangi mata yang semula terpejam, Nala menggeliat nyaman di kasur empuk kamarnya. Jemarinya mengelus kain berbahan sutra nan lembut membangun kenyamanan. Ketika menyadari di mana ia berbaring, Nala terpaksa terkejut karena seingatnya ia berada di mobil.

Di belakangnya terdengar suara kaca bertubrukan dengan meja, lekas Nala terduduk dan menoleh hingga menjumpai Arga yang sibuk memasukkan bunga pemberian Maula ke dalam vas bersama air di dalamnya. Nala berpikir keras, apakah Arga yang mengedongnya?

Tatkala Arga melirik, spontan Nala memijat bahunya yang sama sekali tidak pegal.

"Kenapa gak dibangunin?" Alih-alih berterimakasih, Nala bertanya sedikit sewot. Lagipula ia tidak meminta.

"Agar saya tidak mendengar omong kosong seperti apa yang kamu katakan di depan keluargaku," jawab Arga tak kalah ketus. Semua kalimat itu merujuk pada setiap percakapan yang terjalin selama makan malam tadi.

"Aku berusaha."

"Berusaha menjatuhkanku."

Nala diam sejenak, sebelum menyahut dengan mantap. "Well, sama-sama. Makan malam itu luar biasa sampai aku tertekan."

"Saya tidak akan berterimakasih, Nala, kamu melakukan kesalahan," lirih Arga menyalurkan penat melalui napasnya.

Pancaran kilat dari obsidian legam Arga nyaris menghanguskan tenggorokkan Nala dengan mudah, langsung ia berkedip dan menelan ludah secara gusar sebelum protes. "Apa?"

"Kamu merasa belum cukup untukku, itu adalah kalimat tidak berguna. Dalam kalimat itu terdengar jelas bahwa kamu tidak yakin dan kurang untukku, sedangkan yang ingin mereka dengar adalah sebaliknya. Semua pujian yang saya berikan kandas karena satu kalimatmu itu."

"Kalau gitu cari gadis yang lain!" seru Nala mulai kesal.

Arga mendengus, memasukkan jemari ke saku celana. "Benar 'kan, itu sebabnya saya tidak membangunkanmu," sindirnya tanpa merubah raut yang menyeramkan. "Saya sudah bilang kamu perlu belajar dan menjaga sikapmu, saya bukan bicara soal sikapmu yang tidak baik, hanya saja sikap dinilai jauh lebih rumit dalam keluargaku."

Benar, Nala amat tersadar akan itu terlebih soal perkataan Netta terhadapnya, ia bahkan ingat setiap kata yang terlontar. Ketegasan Arga adalah untuk kebaikannya.

Mendapati Nala murung, Arga membasahi bibir. Melihat Nala marah lebih baik dibanding dia menampilkan raut lemas seperti itu, mungkin ia terlalu keras terhadapnya. Maka dari itu, Arga kembali bicara dengan nada yang lebih pelan.

"Saya hanya tidak ingin semua perjanjian kita batal dan kamu tidak mendapatkan ketiga hal yang kamu inginkan. Saya sudah menekankan berkali-kali agar kita bisa bekerja sama dengan baik."

Sudah pasti Nala membuat banyak kekacauan, ia merasakan beban yang Arga tanggung malam ini. Di samping itu, ia juga memikirkan banyak hal mengenai perjanjian, baru mulai pun sudah banyak masalah. Apalagi Arga pernah menyebutkan bahwa posisinya perlu diwaspadai, mengingat itu Nala harus mencari tahu.

"Aku ingin bertanya, sebahaya apa posisiku saat ini?"

"Tidak bahaya bila kamu menurut untuk tidak pergi ke mana-mana seenaknya," jawab Arga bahkan tanpa berpikir.

"Apa yang bikin aku bahaya?"

"Bukan kamu, tapi orang-orang di luar sana. Kamu tampak seperti gadis yang bisa dibodohi dan menurut dengan mudahnya."

"Aku gak gitu!" tampiknya.

Kali ini Arga mendesis. "Datang menemuiku ke Jakarta, itu salah satu contohnya."

"Itu karena kamu Arganta Damian," sanggah Nala walau otaknya berpikir lelaki itu ada benarnya. Melihat Arga menampilkan seringai mengejek ia sedikit terganggu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang