Part 6: Dignity

361 66 24
                                    

Selubung keheningan tengah melingkari Arganta dan Abirama dalam ruang kerja lewah yang terbilang lengang, kebisuan di antara mereka pun kelak memperkeruh atmosfer, tepat selepas Arga menapakkan kakinya dengan lapang dada untuk memperbaiki awal yang baru.

"Ayah, maaf Arga terlalu lancang," ujar Arga tampak menyesal, menundukkan wajah meski Abirama masih membelakanginya, ketahuilah ini pertama kalinya setelah bertahun-tahun ia menyebutkan dirinya dengan sebutan 'Arga' mengantikan kata 'saya' yang selalu ia gunakan sebagai tanda batasan yang jauh. Cukup jelas di sini Arga menurunkan dirinya.

Satu tarikan napas besar dapat Arga tangkap dari sang ayah, menuntutnya mengamati ketika balasan yang ia terima sedikit terdapat sarkasme.

"Ayah tidak terkejut."

Tak ambil pusing, Arga lantas mengungkapkan tujuannya kemari, secara damai. "Arga berencana melakukan pertunangan dengan Nala dua minggu yang akan datang."

"Dia pilihanmu, keputusanmu, maka dia adalah tanggung jawabmu," sahut Abirama ringan, seolah-olah mengasihi segala hal yang Arga inginkan, dan putranya pasti tahu bahwa itu termasuk sindiran terselubung.

"Arga berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi, dengan adanya Nala bukan berarti Arga akan lalai." Kali ini terletak ketegasan yang Arga berikan, tetapi Abirama membalikan badan bersama raut wajah datar.

"Arganta," rapal Abirama membangun segenap tekanan di setiap suku kata. Di saat ia melihat mata legam putranya, Abirama tak segan untuk menyodokkan kalimat yang ada di benaknya. "Kau harus memikirkan dampak jangka panjang dari pilihanmu. Apakah Nala benar-benar cocok untuk menjadi bagian dari keluarga Damian? Apakah dia mampu menghadapi tuntutan dan tantangan yang akan datang? Nala terlihat seorang gadis tak bersalah yang kau tarik ke dalam segalanya."

Jujur saja Arga tersendat akan napasnya, Abirama berhasil membuatnya nyaris berapi-api. "Nala bukanlah korban atau pun pelampiasanku," paparnya, untuk saat ini mata tajamnya kembali timbul untuk pertahanan akan haknya. "Ayah menumpuk beban ini hanya padaku, seperti kesepakatan, saya akan menerima menjadi pewaris, tetapi tidak untuk menikahi seseorang yang Ayah inginkan. Bila satu kebebasan tidak kudapatkan setidaknya satu beban kulepaskan."

"Kau lupa bahwa kita adalah keluarga Damian yang memiliki tanggung jawab besar terhadap perusahaan ini. Kau harus memikirkan kepentingan perusahaan, bukan kepentingan pribadimu. Ayah berusaha keras merakit dan mempertahankan perusahaan, sedangkan kau tidak menganggap kedudukanmu penting."

Arganta cepat-cepat menaggapi penuh kejemuan, "Saya tidak membutuhkan posisi itu. Ayah bisa mewariskannya pada Paman."

"Bila dia yang lebih bertanggung jawab dan pantas, maka akan ayah lakukan." Abirama bersungguh-sungguh akan kalimatnya dan Arga bisa melihat itu. "Seperti apa yang Ayah katakan, lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tiada putra yang bisa saya andalkan dan saya sadar bahwa saya gagal mendidikmu."

Diamnya Arga bersama dadanya yang terpompa menandakan ia cukup tersulut. Namun, Abirama salah berharap Arga tergores akan perkataannya lantaran Arganta tetaplah Arganta dengan segenap kepalanya yang keras dan sikap pembangkangnya.

"Saya tetap akan menikahi Nala suatu saat nanti," tantang Arga tanpa memutuskan pautan mata bahkan berkedip sedikit pun sampai pada akhirnya Arga berpaling dan pergi dari ruangan beriring kekesalan yang memuncak.

Entah usaha apa yang bisa membuat Abirama tidak terus menekannya, Arga cukup frustasi dan malas akan persoalan yang ia rakit bertahun-tahun karena ini bukan keinginannya, menjadi pewaris dan meniliki tanggung jawab untuk keluarga Damian bukan tujuan hidupnya.

"Bagaimana?" Itu suara Raka yang ternyata menunggu di belokan lorong, lihat lagi-lagi Arga disodori orang-orang menyebalkan.

"Don't ask like you care." Arga menggerutu. "All the disasters that happened would not exist if you did not make the same mistake as I did. I bear all this burden."

SEVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang