02 : Du Schon Wieder

332 28 1
                                    

Alice sedang asyik menyeruput jus strawberry--jus kesukaannya, ketika Ian datang menghampirinya dan memberinya sebuah ballpoint. Alice mendongak menatapnya dan bertanya, "Apa?"

"Tuh, pen lo lupa gue balikin."

Alice mengangkat sebelah alisnya dan berpikir. Kapan nih anak minjem pen gue? Batinnya.

"Kapan lo minjem?"

"Kemarin." Jawabnya sambil tersenyum gugup.

Alice mengangguk, mungkin dia lupa, toh, kemarin dia ketiduran kan?

"Jadi, lo ikut ekskul apa?"

Alice menatapnya bingung, pertanyaan barusan itu tidak ada hubungan dengan ballpointnya kan? Tapi Ia memutuskan untuk menjawabnya,

"Photography. Lo?"

Ekskul apa? Dia nggak tau gue ekskul apa? Demi apa? Batin Ian dalam hati.

"Lo nggak tau?"

"Lo kan nggak pernah kasih tau."

Ian tersenyum dan muncul ide brilliant di otaknya.

"Cari tau gih, kalo udah tau, samperin gue lagi." Kata Ian sambil beranjak dari tempat duduknya dan pergi. Alice menatap laki-laki itu bingung.

Kenapa harus gue cari tau?

Alice sibuk memikirkan berbagai alasan yang masuk akal untuk dirinya sambil menatap Ian yang sedang mengobrol dengan beberapa temannya dari jauh.

"Lice, ngeliatin siapa sih?" Tanya Elle sambil menepuk pundaknya.

"Itu tuh, Ian." Jawab Alice sambil mengarahkan dagunya di tempat Ian berada.

"Ian???" Tanya Zel kemudian.

"Iya, Ian."

"Lo kenal?"

Alice menatap kedua sahabatnya bingung.

"Ya kenal lah, emangnya lo nggak?"

Elle menggelengkan kepalanya, "Ah, lo bikin iri."

Alice tersedak.

"Seberapa deket emangnya lo sama Ian? Kok nggak pernah cerita sih?" Tanya Zel.

"Nggak deket-deket amat, baru kenal."

Elle menepuk tangannya, "Beruntung banget lo."

Alice menatapnya bingung.

"Emang dia siapa?" Tanya Alice dengan wajah polos.

"YAAMPUN LICE." Kedua temannya itu mengusap-usap dadanya.

"Dia tuh Ian, anak olimpiad, kapten basket, multitalent, jago main gitar, tajir, baik--"

"Tadi lo bilang apa?" Potong Alice

"Baik?"

"Kapten basket?"

Elle mengangguk, "Lo nggak tau?"

Alice menggeleng.

"Kuper, boleh. Bego, jangan." Tutur Elle sambil memutar kedua bolamatanya.

Zel hanya tertawa mendengar kalimat Elle yang to the point itu.

•••

Ian sedang asyik menatap sosok perempuan yang sedang tertidur pulas di hadapannya. Sangat manis. Ian bahkan tidak ingin membangunkannya. Yang diinginkannya sekarang hanya, berbicara dengannya lagi. Namun bagaimana cara Ia berbicara dengan perempuan ini lagi?

Ian melihat sebuah ballpoint terdampar di dekat buku Alice. Ian menertawai ide gilanya. Namun, Ia tetap melakukannya. Ia mengambil ballpoint itu dan memasukannya ke dalam saku seragamnya.

Dengan begini, Ia punya alasan untuk berbicara dengan perempuan itu tanpa mempermalukan dirinya sendiri.

•••

"Ian." Panggil seorang perempuan dengan lembut sambil merangkul lengan Ian.

"Apa Em?" Tanya Ian sambil menurunkan rangkulan perempuan itu dari lengannya.

"Ajarin aku matematika--" Pinta perempuan itu sambil cemberut.

"--Aku dapet jelek lagi." Lanjutnya.

"Maaf Em, mau pergi sama Ver sama Dodo juga. Sibuk." Sahut Ian sambil menatap Ver dan Dodo minta dukungan.

Dodo mengangguk sedangkan Ver hanya mengucapkan kata 'Halah.' dari bibirnya tanpa suara.

"Hm, yaudah deh. Aku ngerti kok." Perempuan yang dipanggil Emily itu mengangguk pasrah dan berjingjjt.

Cup.

Sebuah ciuman lembut mendarat di pipi Ian. Emily langsung memegang kedua pipinya yang merah dan berlari meninggalkan Ian. Ian hanya mematung disana, memikirkan kejadian yang barusan dialaminya tadi. Sedangkan kedua temannya yang berada di depannya hanya menatap Ian dengan tatapan, menang banyak lo, Yan.

"Menang banyak apanya? Dicium cabe-cabean." Protes Ian sambil mendengus.

"Yaelah, Yan. Emily dari dulu naksirnya sama lo doang kali. Peka dong."

Ian menggeleng.

"Buat gue aja kalo gitu." Tawar Dodo.

"Gih, ambil." Kata Ian datar sambil mengambil tasnya dan menaruhnya di pundak.

"Ada cewe lain yang gue mau." Lanjutnya datar sambil pergi meninggalkan kedua temannya yang menciekan Ian dengan cara lelaki.

•••

RaindropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang