Semburat senja telah datang. Aku bergegas menuju taman di dekat bundaran bambu runcing sehabis salat asar di Masjid Muhtadin. Taman Digulis, begitu pemerintah setempat menamainya. Di depannya terdapat tugu bambu runcing. Jumlah bambunya ada sebelas. Menurut sejarah yang pernah aku dengar, tugu tersebut didirikan untuk mengenang jasa sebelas pejuang Sarekat Islam Kalimantan Barat yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Barat. Barangkali itulah yang menjadi asal muasal penamaan Tugu Digulis. Pembuangan tersebut dilakukan karena pemerintah Hindia-Belanda takut keberadaan mereka akan memunculkan gerakan pemberontakan di Kalimantan. Bambu runcing merupakan senjata yang digunakan pejuang-pejuang dulu untuk melawan kolonialis Belanda. Dari taman itu pula aku bisa menyaksikan keramaian kota Pontianak. Aku bisa menyaksikan lalu lalang orang-orang berkendara. Terdapat dua buah lampu merah dari arah berlawanan jalan. Tepat di seberang jalan aku juga bisa melihat jalan masuk menuju satu-satunya universitas negeri yang ada di Kalimantan Barat. Ah, Sudah lama sekali aku tidak ke kota ini. Sudah 7 tahun berlalu sejak kepindahanku saat masih SD dan terik panasnya masih sama. Keringatku tak berhenti mengucur sejak pertama kali duduk. Tak heran, Kota Pontianak dijuluki sebagai "Kota Khatulistiwa". Kenapa dijuluki seperti itu? karena kota tersebut terletak tepat di garis khatulistiwa. Matahari bersinar amat cerah di sini. Suhu tertinggi bisa mencapai 32 derajat celcius dan terendah hanya 24 derajat celcius. Kalau sedang kulminasi suhunya bisa mencapai 35 derajat celcius. Kau bisa bercucuran keringat seharian dan mungkin akan mandi lebih dari dua kali sehari. Selain dijuluki Kota Khatulistiwa, Pontianak juga dijuluki sebagai "Kota Bersinar". Menurut cerita, sengaja dinamakan begitu oleh pemerintah untuk menggambarkan Pontianak dan cita-citanya. Ah, aku jadi teringat cita-citaku sendiri. Jauh-jauh datang ke sini sendiri berbekal tekad dan keyakinan. Aku datang dari daerah yang jauh dari kota. Bagian plosok desa? Lebih plosok lagi. Desaku masih belum tersentuh listrik. Entah apa saja yang dikerjakan pemerintah di tempatku tinggal. Mungkin mereka lebih banyak menghabiskan anggaran untuk pergi ke luar negeri, sibuk membangun infrastruktur yang tak perlu, sibuk menganggarkan ini dan itu yang tak pernah terealisasi. Membuat banyak formalitas berkas yang kesemuanya tidak benar-benar dilaksanakan atau mungkin mereka lebih senang tidur saat rapat aspirasi rakyat berlangsung. Ah, entahlah. Yang kutahu desaku tidak pernah mati lampu. Jelas saja kau tahu alasannya. Aku datang ke kota ini pun untuk menimba ilmu. Merajut impian yang sejak kecil coba kubangun sendiri. Menjadi insinyur? Mungkin saja. Menjadi ilmuan? Bukan tidak mungkin kan? Aku ingin menjadi apa saja yang aku inginkan. Setidaknya itulah yang tertulis besar di dinding kamarku.
Angin sepoi di kala sore memang menyenangkan. Ditambah dengan pemandangan burung-burung gereja yang melintas sesekali. Aku sendiri menikmati hingar bingar suara kendaraan. Menikmati suara tawa orang-orang bercerita, menikmati suara anak kecil yang sibuk memanggil "Mamak... Mamak...". Menikmati pemandangan muda-mudi yang sibuk mencari perhatian sana-sini. Hari ini rasanya lelah sekali, tapi aku tidak ingin langsung pulang ke kos. Aku ingin sejenak "beristirahat" dengan cara duduk di jejeran kursi dari semen itu. Menatap jauh ke depan. Melihat kiri dan kanan tanpa berbicara sepatah katapun.
Tanpa kusadari pikiranku berkelebat memutar masa lalu.
***
YOU ARE READING
Asa Ara
General FictionCerita ini mengisahkan perjalanan seorang gadis bernama Ara menggapai apa yang dia inginkan.