Skenario Terbaik

13 0 0
                                    

Keputusanku sudah bulat. Setelah berdiskusi dengan Ibu mengenai rencanaku dan mempertimbangkan tawaran dari Bu Dewi, aku memutuskan untuk lanjut kuliah lagi. Bismillah. Kalau jalannya memang S2, pasti Allah mudahkan, begitu nasihat Ibu. Aku semakin bersemangat mengerjakan skripsi siang dan malam. Namun, tanpa kuduga, setelah selesai seminar hasil, PR yang kudapatkan banyak sekali. Terutama dari penguji kedua. Pertanyaan yang diajukannya cukup sulit untuk kujawab dalam waktu seminggu dua minggu. Karena memang materi skripsiku ini cukup sulit dan referensinya juga terbatas. Tergolong belum banyak yang meneliti. Ah, aku jadi kesal sendiri. Kenapa jadi terkendala lagi. Padahal targetku dua minggu setelah seminar akhir bisa sidang. Seperti ada batu di dadaku saat itu, rasanya berat sekali, tapi harus aku selesaikan. Ya Allah. Kenapa selalu ada cobaan? Setelah lama berpikir dan merenung, mencoba mengoreksi apa sebenarnya yang salah. Sebulan sebelum seminar hasil rasanya memang cukup sulit, beruntung Bu Dewi "memaksa" untuk segera maju mengurus jadwal seminar. Kuperiksa halaman demi halaman buku mimpiku. Apa ada yang salah saat aku menulisnya, apa ada yang harus kulakukan sebelum sidang? Aku membaca 100 mimpi yang pernah kutulis. Pada poin sepuluh aku tercekat. Di situ tertulis, "Sebelum wisuda sudah harus hafal Quran minimal 2 juz". Ini dia yang kucari. Sepertinya Allah mau aku benar-benar mewujudkan itu sebelum sidang nanti. Hari itu juga kuputuskan untuk mendaftar di sebuah dauroh Quran. Sebenarnya aku memang punya rencana untuk ikut program tahfidz selama sebulan. Tapi aku ingin menyelesaikan sidang dulu. Sepertinya Allah mau aku ikut lebih cepat. Baiklah, maka H-1 kuputuskan untuk mengirimkan format pendaftaran. Qadarullah, salah satu panitia dauroh Qurannya adalah guru ngajiku. Persyaratan pendaftaran pun tidak begitu sulit. Peserta diminta mengisi formulir, memberikan fotokopi KTP, KK, mengisi surat izin orangtua atau wali, dan membayar uang registrasi sebesar tujuh ratus ribu. Kami diberi tenggat waktu seminggu untuk melunasinya sebelum kegiatan dimulai. Awalnya uang registrasi dipatok sebesar satu juta lebih. Aku lupa nominal pastinya berapa. Sempat sedih karena melihat kondisi tabungan yang belum mencukupi. Tabunganku waktu itu baru terkumpul enam ratus ribu, hasil mengajar privat anak-anak SD dan SMP, masih kurang sekitar lima ratus ribu. Tabungan yang ada itu belum lagi dipakai buat kebutuhan sehari-hari. Beruntungnya aku punya Allah yang Maha Mencukupi. Berselang seminggu sebelum deadline pembayaran aku bingung harus mengumpulkan uang dari mana, minta sama Ibu tidak mungkin kulakukan. Malu. Soalnya aku sudah bertekad, tidak akan minta uang sama Ibu lagi. Jadi tempatku meminta dan mengadu satu-satunya adalah Allah. Bermodal keyakinan dan kesabaran aku terus memohon kepada Allah agar bagaimanapun caranya aku harus bisa ikut dauroh Quran itu. Benarlah bahwa tak ada yang sia-sia dari sebuah doa, H-1 minggu deadline pembayaran Allah jawab doaku. Allah kirimkan rezeki dari arah yang tak terduga. Uang dari membantu dosenku mengerjakan projek, cair. Alhamdulillah, nominalnya lumayan. Sampai di kos kubuka amplop putih yang diberikan oleh dosenku. Maha Besar Allah. Sungguh tak sanggup diri ini berkata-kata, hanya syukur Alhamdulillah yang senantiasa terucap. Nominal yang diberikan mencukupi uang registrasi buat ikut dauroh. Aku hanya tinggal menambah seratus ribu lagi. Ya Allah sungguh Engkaulah tempat kumeminta pertolongan dan sungguh janji-Mu benar adanya. Aku memutuskan untuk mengikuti dauroh Quran selama 3 minggu. Memantapkan hati untuk mendekat kepada Allah melalui kalam-Nya.

***

Dua bulan setelah wisuda, aku mendapat kabar aplikasi beasiswaku diterima. Aku tinggal menunggu Letter of Acceptance keluar dari kampus yang disarankan Bu Dewi. Sembari menunggu jawaban dari supervisorku, aku menjadi asisten Bu Dewi di Lab Matematika. Sesekali juga beliau memintaku untuk menjadi tutor mahasiswa semester satu. Tentu saja aku tidak keberatan. Malah bersyukur sudah dipercaya untuk mengajar. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Tidak mampu kuraih semua ini tanpa pertolongan dari-Mu. Ngomong-ngomong, hal yang belum terpikirkan olehku adalah soal jodoh. Aku belum pernah pacaran. Sejak SD aku hanya fokus belajar dan membantu Ibu. Tidak pernah terbersit sedikitpun untuk memiliki pacar. Sebagai wanita tentu saja aku pernah punya rasa suka pada seseorang. Tapi itu dulu, saat aku masih kelas satu SMA. Itupun kakak seniorku. Aku sangat menyukainya, tapi hanya dalam diam. Tingginya mungkin sekitar 170 centimeter. Hidungnya mancung, perawakan Jawa. Matanya sedikit sipit, orangnya tenang. Dia aktif menjadi anggota OSIS, pemain basket, dan pramuka. Saat kali pertama jumpa aku langsung terpana. Ah, cinta. Betapa ianya pintar sekali membuat orang tergila-gila. Saat itu, meski aku tak berani menyapanya, diam-diam aku selalu memperhatikan kemanapun dia melangkah. Ke kelas, kantin, lapangan, mataku selalu menemukannya. Ada rasa senang saat bisa melihat dia meski hanya dari jauh. Ada rasa bahagia saat melihat motornya terparkir di parkiran sekolah. Jatung berdetak kencang saat bisa melihatnya bermain basket dari dekat. Upacara Senin, dinanti dengan antusias kalau dia yang jadi komandan upacara. Lucu ya. Beberapa tahun kemudian, saat aku sedang semester akhir, kuketahui kakak seniorku itu sudah menikah. Alamak, jodoh oranglain rupenye. Diam-diam aku masih mengaguminya, kala itu.

"Hayo, agik melamunkan ape?", sentuhan tangan Rona membangunkanku dari lamunan masa lalu.

"Astagfirullah. Rona!!!"

"Ye makenye siang-siang jangan melamun."

"Siapa yang melamun sih. Orang agik berpikir ni!!!"

"Macam orang tak tau jak, ceritelah..."

"Ron, kamu pernah jatuh cinta?"

"Cie-cie, emang agik jatuh cinte same siape kau ni?", Rona malah meledek. Menyebalkan sekali.

"Yeee bukannye dijawab malah di-olok. Dahlah tak jadi cerite."

"Ya pernahlah, Ra. Aku kan wanita normal. Masa' ndak pernah."

"Kapan target nikahmu, Ron?"

"Hmmm entahlah aku belum menemukan yang pas di hati."

"Ngape kau ngomong gini nih, tumben."

"Ndak, aku kepikiran jak. Aku kan mau lanjut di luar negeri, Insya Allah. Kayaknye akan lebih baik kalau aku nikah, supaya ada kawan nanti di sana."

"Ara, niatmu menikah cuma karena itu ya? Supaya ada yang menemani? Cuma itu?"

"Memang harusnya apa?"

"Ra, menikah kan tidak sekedar hidupmu ada yang menemani. Tapi lebih jauh dari itu. Menikah itu ibadah, Ra. Setiap detik waktu bersama suamimu akan bernilai ibadah. Kamu sudah siap? Kamu sudah siap kalau ternyata harapanmu soal menikah tidak sesuai ekspektasi?"

"Aaaaa.... Sepertinya aku belum siap, Ron."

"Saranku pikirkan dulu baik-baik, Ra. Menikah itu perlu kesiapan."

Rona benar. Apa aku sudah siap menikah? Ah, menambah pikiran saja. Memikirkan kenapa email-ku belum dibalas sama supervisor saja aku sudah pusing.

***

Singkat cerita, perjalananku untuk lanjut S2 bisa dibilang lancar. Dua bulan kemudian aku mendapat balasan email dari supervisorku dan pihak kampus segera mengeluarkan LoA. Aku diterima di Waterloo University, Kanada. Ibu saat kuberi tahu berita ini melompat kegirangan. Beliau menangis. Menangis karena haru. Ibu bangga pada Ara. Begitu ucapnya. Ucapan itu terasa hangat. Semua berkat doa-doa dari Ibu. Keberangkatanku ke Waterloo sekitar tiga bulan lagi. Banyak berkas-berkas yang harus aku urus. Belum lagi ada beberapa proyek penelitian yang harus kurampungkan. Insya Allah aku akan mulai kuliah di sana saat summer. Sebulan sebelumnya, Bu Dewi menghubungiku. Katanya beliau ingin menjodohkan aku dengan keponakannya yang juga akan lanjut S2 di Kanada. Ya Allah, serius? Hatiku haru tapi ada rasa malu. Malu karena untuk pertama kalinya aku akan bertemu dengan laki-laki yang disebut sebagai 'calon'.

"Ta'aruf dulu, Ra. Kalau ndak cocok, ndak apa-apa."

Aku mengiyakan. Apa salahnya kenalan dulu. Aku didampingi guru ngajiku saat bertemu dengan si 'calon'. Banyak pertanyaan yang kuajukan padanya. Dia menjawab dengan mantap. Eh, kok bisa senyambung ini ya? Begitu batinku berucap saat sesi diskusi terjadi. Setelah beberapa kali pertemuan, aku minta waktu seminggu untuk istikarah dan diskusi sama Ibu. Singkat cerita, aku menerima pinangan laki-laki baik itu. Namanya Pram. Alumni Arsitektur ITB. Orangnya tinggi, perawakan Jawa, kalau tertawa kelihatan lesung pipinya.

***

Apa yang aku dapatkan sampai hari ini, seperti sebuah mimpi. Aku tak menyangka akan melanjutkan studi hingga S2 dengan sudah berstatus sebagai istri di Kanada. Padahal bisa kuliah saja aku sudah bersyukur. Ini malah Allah kasi paket komplit. Alhamdulillah. Benarlah nasihat yang selalu Ibu berikan, kalau kita tidak berhenti berusaha dan berdoa, Allah akan mudahkan jalannya. Kalau rezeki itu punya kita, Allah akan mudahkan untuk meraihnya. Kalau keinginan kita tak terwujud, keinganan Allah-lah yang terjadi. Bukankah itu pasti lebih baik? Keinginan Ara, hanya satu, tapi Allah berikan banyak kejutan dalam perjalanannya. Keinginan Ara, hanya satu, tapi Allah berikan kebaikan berkali lipat yang tak pernah disangka.

TAMAT.

Asa AraWhere stories live. Discover now