Tak Sadar

8 0 0
                                    

Lima belas menit bus berjalan, perutku terasa sakit sekali. Mules. Rasanya ingin nyetor, tapi sekuat tenaga kutahan. Bus sudah meninggalkan Masjid Jami dan Istana Kadriah. Perjalanan menuju Tugu Khatulistiwa masih sekitar 20 menit tanpa macet. Kalau ditambah macet kira-kira bisa dua kali lipatnya. Mengunjungi Kota Pontianak belum lengkap memang kalau belum mengunjungi Tugu Khatulistiwa. Wisata wajib yang harus didatangi, begitu kata orang-orang. Sebagai pendatang, aku juga baru berkunjung sekali. Menurut sejarah, Tugu Khatulistiwa ini dibangun pada masa kepemimpinan Hindia-Belanda pada 1928. Tujuannya sebagai penanda titik nol derajat khatulistiwa. Orang zaman dulu lebih sering menyebutnya sebagai Tugu Ekuator yang awalnya dibangun sangat sederhana. Di dalam ruangan tugu tersebut kita akan melihat foto-foto era 1930an hingga saat ini. Terdapat pula foto kunjungan orang-orang penting yang ditempel di dinding, serta dijelaskan pula pengetahuan dunia astronomi seperti tata surya, bumi, bintang, dan galaksi. Hal yang menarik, kalau kita berkunjung pada 21-23 Maret atau 3 September itu bertepatan dengan peristiwa kulminasi. Kulminasi merupakan fenomena saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa. Akibatnya, benda-benda tegak yang berada di sekitar Tugu Khatulistiwa tidak berbayang. Ah, ingin sekali aku menjelaskan banyak hal tentang Tugu Khatulistiwa kepada dosen-dosen UI itu. Tapi kenapa perutku seperti tidak bisa dikompromi? Duh, rasanya sudah diujung ingin keluar. Aku sampai berkeringat dingin. Ya Allah... sepertinya aku tidak kuat. Sedari tadi kupandang kiri dan kanan jalanan. Barangkali ada minimarket atau supermarket di kiri atau kanan jalan yang bisa kutumpangi buang hajat. Dengan ragu aku memberanikan diri bilang ke Pak Supir.

"Pak, maaf, saya kebelet Pak. Tolong cari tempat yang ade toiletnye dulu, Pak."

Pintaku kepada Pak Sopir dengan raut wajah memelas dan tangganku memegang perut.

"Ngapelah tadi ndak keluarkan di WC masjid atau istana?" Jawab Pak Supir ketus.

"Soalnye pas dijalan baru mau keluar, Pak."

"Tidak apa-apa Pak Supir, kita mampir sekalian saya mau beli air minum."

Alhamdulillah. Bapak yang memintaku menjelaskan sejarah Masjid Jami tadi ternyata yang berbicara. Setelah lima menit permohonanku, Pak Supir akhirnya berhenti. Kulihat ada satu minimarket kecil di bagian kanan jalan. Itu artinya aku harus menyeberang. Dengan tergesa-gesa aku turun dari mobil tanpa melihat kiri dan kanan. Aku berlari kecil, namun ternyata tanpa kusadari dari arah kiri jalan, melaju sepeda motor dengan sangat kencang. Aku tak sempat menghindar dan braggggghhhh.......... Aku terpental. Kurasakan aspal yang sanagt panas. Kakiku seperti menghantap sesuatu, tapi aku tak tahu apa. Sakit. Badanku seperti remuk. Kepalaku seperti hancur. Semua sakit. Gelap. Aku seperti tak mampu lagi bernapas. Tiba-tiba rasanya aku seperti berada di suatu masa.

***

Aku sudah berjanji kepada Ibu (meski hanya diriku yang tahu). Aku tak akan membuat ibu menangis karena kenakalanku. Maka, sejak saat itu aku giat belajar meski belum juga pergi ke sekolah. Aku memungut koran-koran bekas untuk kubaca. Aku menonton berita kalau kebetulan sedang melewati warung makan yang menyetel televisi. Aku berusaha mencari ilmu dimanapun: di jalan, di tempat keramaian, di masjid, di gang-gang sempit. Mencari ilmu tidak harus membaca buku bukan? Kita bisa "membaca" alam semesta ini yang tentu saja tidak berbentuk buku. Mengambil hikmah dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Begitu yang sering Ibu bilang. Ibu seperti biasa, selalu bekerja keras. Gorengan Ibu makin laris, Alhamdulillah. Banyak orang pesan kalau sedang mengadakan acara. Akupun semakin semangat membantu Ibu.

"Nong, besok kita pergi ke sekolah i? Tapi bukan ke sekolah yang lama. Sekolah Ara sudah pindah di SD Negeri 4."

"Ngape tang ke siye, Bu?"

Dengan lembut Ibu menjelaskan.

"Ara, maafkan Ibu karena tidak jujur same Ara. Sebenarnya Ara dikeluarkan dari sekolah gara-gara kasus waktu itu."

"Hah, ngape Ibu daan ngomong?" Jawabku kesal.

"Ibu takut Ara sedih."

Ibu memelukku, mencium kepalaku dengan lembut. Aku membatalkan niatku merajuk.

"Di sekolah yang baru Insya Allah Ara akan bisa belajar dengan tenang."

***

Bayangan masa kecilku berkelebat di pikiran. Airmata Ibu. Peluh Ibu saat membuat gorengan. Senyum Ibu. Ah, aku rindu Ibu. Aku mau Ibu di sini sekarang. Batinku berteriak. Aku mendengar samar-samar langkah kaki ramai sekali. Tubuhku tergunjang. Bunyi lampu sirine ambulans. Tubuhku remuk redam. Sulit digerakkan. Sayup-sayup kudengar orang memanggil namaku.

"Ara!!! Ara!!! Bangun!!!"

Aku masih mendengar tapi tak mampu menjawab. Pikiranku kembali ke masa lalu. Lagi.

***

"Ibuuuuu....... Ara dapat juara 1!"

"Alhamdulillah. Ara hebat. Ibu bangga, Nong." Ibu memelukku dengan erat sekali. Ini kali pertama aku dapat peringkat satu. Senangnya. Aku semakin giat belajar. Saat menunggu gorengan ada yang beli, aku sempatkan untuk membaca. Saat menunggui Ibu datang dari pasar, aku mengisi soal-soal di buku LKS. Aku semakin yakin, dengan doa dan usaha Allah pasti akan bantu kita. SMP dan SMA kulalui dengan gemilang. Karena selalu peringkat 1, akupun mendapat bantuan dari pemerintah jalur prestasi. Jadilah Ibu tak perlu lagi membayar uang SPP setiap bulan.

"Nong, apa yang Ara dapatkan sekarang atas bantuan Allah. Ara jangan sombong i?"

"Iye, Bu. Insya Allah Ara daan jadi urang sombong."

Saat itu aku duduk di bangku SMA kelas 3. Beberapa bulan sebelum UN, ada sosialisasi terkait info perkuliahan. Pihak sekolah menawari siswa-siswi untuk mengikuti seleksi jalur undangan. Kalau aku menyebutnya jalur prestasi, karena memerlukan nilai rapot yang bagus supaya bisa ikut seleksi ini. Kalau lulus, aku tidak perlu ikut tes lagi untuk masuk universitas. Kesempatan itu tentu saja tidak aku sia-siakan. Semua kesempatan yang ada di depan mata saat itu, aku ambil. Alhamdulillah, nilai rapotku mumpuni, dan akupun lolos seleksi jalur undangan. Ibu senang sekali beliau berdoa agar aku bisa kuliah meski harus berpisah dengannya. Meski begitu, sesungguhnya ada yang mengganjal di hatiku? Uang kuliahnya nanti darimana?

***

"Ara, ada info beasiswa bidikmisi nih? Mau ikut ndak? Kalau mau hubungi Pak Hartono."

Yayang membangunkan lamunanku.

"Hah, ape katemu?"

"Ade beasiswa bidikmisi. Aku dah ambil formulir same Pak Hartono."

"Hah, inyan ke? Aku mau juga."

"Cepatlah ke ruang Pak Hartono sinun."

Dengan girang aku menuju ruang Pak Hartono.

"Assalamu'alaikum Pak. Boleh saye masuk?"

"Wa'alaikumussalam. Boleh, Ra. Ade ape tok?"

"Pak, katanya kalau mau ambil formulir untuk daftar bidikmisi sama Bapak, ya?"

"Betul. Ini. Berkas yang harus dikumpulkan lumayan banyak. Jadi harus dipersiapkan dengan baik. Jangan ditunda-tunda."

"Baik, Pak. Terima kasih. Ara pamit. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Mengurus berkas tidak jadi masalah. Sebanyak dan serumit apapun akan aku lakukan. Yang penting aku bisa kuliah tanpa harus merepotkan Ibu. kuurus semua berkas beasiswa dengan penuh semangat tanpa ada rasa keberatan sedikitpun. Ibu tidak tahu, aku berencana memberinya kejutan nanti, kalau lulus.

***

Aku masih mendengar suara kaki berlari-lari. Suara roda yang berjalan cepat. Suara orang-orang memanggil namaku.

"Araaaa!!!! Araaaa!!! Bangun!!!!"

"Ada pasien tabrak lari. Segera siapkan ruang operasi."

What? Operasi? Ya Allah apalagi ini?

Asa AraWhere stories live. Discover now