Malam itu juga aku dioperasi. Tulang kaki kiriku retak. Segmen tulang yang retak itu bergeser jauh. Jika tidak dioperasi bila pun nanti tulang kakiku menyatu, bisa jadi penyatuan tulangnya tidak terjadi secara sempurna, melainkan bisa terjadi malunion (penyatuan tulang yang tidak lurus) bahkan non-union (tidak terjadi penyatuan tulang sama sekali). Begitu penjelasan dokter. Beruntung ada Bu Dewi, Dosen Matematikaku yang bertanggungjawab menandatangani persetujuan operasi. Selain kaki, bibirkupun robek. Terdapat beberapa jahitan, sehingga sulit sekali untukku berbicara. Sakit, tapi juga seperti kebas. Entahlah sulit mendeskripsikan bagaimana rasanya. Hal yang paling kusyukuri kepalaku masih utuh, tidak pecah. Meski rasanya mau meledak karena pusing yang menjadi-jadi. Selain kaki, bibir, kepala, tanganku juga lecet. Ah, sungguh mengenaskan sekali kurasa keadaanku ini. Alhamdulillah masih hidup. Batinku. Kudapat cerita tersebut dari Rona keesokan harinya yang panik sejak pertama kali melihatku terkapar.
"Kami semua panik, Ra. Aku berteriak-teriak." Ujarnya dengan mata melolot.
"Beruntung saat itu ade ambulans tanpa pasien yang melintas, sehingga kau langsung bise di bawa."
Bu Dewi yang mengurus semuanya. Beliau bilang tenang saja. Tidak perlu khawatir. Insya Allah Rona selamat.
"Aku heran Ra, bagaimana Bu Dewi masih bisa tenang dalam situasi panik." Tambahnya lagi.
Bu Dewi memang orang yang tenang namun tegas. Itu salah satu alasan mengapa aku mengaguminya. Beliau selalu ceria dan ramah kepada kami, mahasiswa-mahasiswanya. Wajahnya yang teduh, tutur bahasanya yang lembut semakin menambah kekaguman.
"Ara, bagaimana keadaan kamu hari ini?"
"Alhamdulillah sudah jauh lebih baik, Bu."
"Ibu tidak mengajar hari ini?"
"Sudah selesai. Ibu ada jadwal mengajar tadi jam 8 sampai jam 10. Ada lagi jam 1 siang. Selesai ngajar Ibu langsung ke sini."
"Makasih banyak, Bu, karena sudah bantu Ara. Ara merasa sudah sangat merepotkan Ibu."
"Tidak apa-apa, Ra. Ibu tidak merasa direpotkan. Sudah jadi tanggungjawab Ibu sebagai dosen kamu."
"Sekali lagi terima kasih, Bu."
"Sama-sama, Ra. Oh iya, Ibu sudah mengabari orangtuamu di kampung. Besok semoga Ibu kamu sudah di sini ya."
"Iya, Bu. Terima kasih."
Ibu, bagaimana reaksinya saat mendapat kabar tentangku? Apakah Ibu menangis lagi? Apakah selain karena nakal, aku membuat Ibu menangis lagi karena ketidakhati-hatianku? Bagaimana suasana hati Ibu sekarang? Aku tahu pasti saat itu juga Ibu ingin pergi ke sini, melihatku, menemaniku. Tapi kalau sudah malam tidak ada kelotok yang melintas. Ibu harus menunggu esok untuk bisa pergi ke Pontianak. Ibu, maafkan Ara karena sudah membuat Ibu menangis lagi. Air matakupun mengalir, yang kusembunyikan dibalik bantal khawatir kalau Bu Dewi melihatku menangis.
"Ara, setelah mendengar penjelasan dokter. Sepertinya Ara perlu cuti kuliah dulu."
"Apa?!!! Cuti, Bu?", jawabku dengan sedikit kaget.
"Iya, kamu ndak mungkin pulih dalam seminggu duaminggu. Kamu perlu istirahat mungkin selama 2 atau 3 bulan?"
"2 atau 3 bulan, Bu?", tanya kulagi. Kali ini dengan suara parau menahan tangis.
Bu Dewi mengangguk.
"Ibu akan urus semua berkasnya. Kamu tenang saja."
Aku tak bisa menahan tangis lagi. Perlahan air matakupun menetes. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar untuk cuti kuliah. Itu berarti aku harus mengulang kembali. Ketinggalan satu semester sedangkan aku punya target lulus 3,5 tahun. Ya Allah. Apalagi ini? Hatiku dipenuhi rasa tak karuan. Bagaimana dengan mimpi-mimpiku? Tiba-tiba aku teringat dengan sebuah nasihat, "Allah tidak akan membebani seorang hamba di luar batas kesanggupannya." Air mataku jatuh lagi.
***
Keesokan harinya Ibu datang dengan raut wajah cemas. Ibu datang sendiri, ya, karena kami memang tak punya siapa-siapa di desa. Maksudku kami tak punya keluarga dekat. Ibu membawa satu tas jinjing berwana coklat pemberian salah satu tetangga di kampung. Baju gamis hitam yang Ibu kenakan masih sangat kukenal.
"Bagaimana keadaanmu, Nong?"
"Alhamdulillah Ara sudah baikkan, Bu. Ibu jangan khawatir."
Bu Dewi lalu menjelaskan semuanya kepada Ibu. Bu Dewi bilang Ibu tidak perlu khawatir masalah biaya rumah sakit, karena semuanya sudah ditanggung. Ya, sebagai mahasiswa kami mempunyai keistimewaan bila menjadi pasien rumah sakit universitas. Semua biaya gratis. Alhamdulilah. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, akupun diperbolehkan pulang.
"Kita pulang ke kampung ye, Nong? Ibu akan merawat Ara."
"Iye, Bu." Jawabku dengan mata nanar.
"Ara, apa ada yang dipikirkan?"
"Hmmm, Ara takut ndak bise lulus sesuai target yang Ara buat, Bu?"
"Ara, sebagai manusia kita tidak pernah tahu masa depan. Percayakan sama Allah ye, Nong. Ibu yakin apapun yang direncanakan oleh-Nya, itulah yang terbaik buat, Ara."
"Bu, maafkan Ara. Maafkan Ara udah buat Ibu menangis lagi." Kupeluk Ibu erat-erat.
"Ara... Ara ndak pernah salah same Ibu. Ara anak yang baik. Ibu percaya Ara bisa meraih ape yang Ara inginkan."
***
Aku menyaksikan Ibu merawatku dengan sangat baik. Ibu memandikan, menyuapi, menyisir rambutku. Mengganti perban, mengganti pakaianku. Aku kembali seperti anak kecil lagi. Tak pernah sekalipun keluar keluhan dari mulut Ibu. Wajahnya tulus. Senyumnya ikhlas. Bagiku Ibu adalah sesosok malaikat yang Allah kirim dalam kehidupanku. Perlahan-lahan aku mulai pulih. Ibu rajin sekali membuatkanku ramuan obat tradisional. Membaluri kakiku dengan minyak tradisional buat Ibu, resep dari orang kampung. Selama tidak kuliah, tentu saja aku selalu menyempatkan untuk membaca buku. Mengulangi materi-materi kuliah yang pernah kudapatkan. Aku memang tidak belajar di kelas, tapi bukan berarti aku akan ketinggalan semuanya kan? Maka setiap selesai salat subuh aku tak pernah absen belajar. Ibu masih menjual gorengan dan orang-orang di kampung masih setia menjadi pelanggan Ibu. Pondok kami sudah bertambah besar. Setidaknya tidak lagi sempit. Dapur sudah punya bagiannya sendiri. Ibu cerita, kalau dari tabungan menjual gorengan uangnya digunakan untuk merehab pondok. Aku tersenyum. Masya Allah, luar biasa sekali Ibuku ini. Ara janji akan membuat Ibu bangga.
***
Agustus 2012, semester baru dimulai. Alhamdulillah, aku sudah bisa kembali berlari. Berlari mengejar semua ketertinggalanku. Meski aku harus mengulang beberapa mata kuliah. Itu tak jadi masalah. Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Juga ikut organisasi ini-itu tanpa mengabaikan kuliahku. Tentu saja, mana mungkin aku lupa dengan janjiku kepada Ibu. Membuat Ibu Bangga. Setiap pergantian semester aku bisa mengambil total maksimal yang boleh diambil, 24 SKS. Meski harus kurang tidur, hari demi hari, bulan demi bulan kujalani. Tahun demi tahunpun beranjak pergi. Aku sudah hampir menyelesaikan skripsi. Kalau lancar 3 bulan lagi aku akan sidang akhir. Oh iya, dosen pembimbingku adalah Bu Dewi. Beliau ahli di bidang Matematika Keuangan Syariah, bidang keilmuan yang juga ingin kudalami.
"Ara, kalau kamu ingin lanjut S2 Ibu punya rekomendasi kampus buat kamu memperdalami keilmuan ini."
"Apa saja bisa, Bu? Saya tidak punya biaya untuk sekolah S2, Bu."
"Sekarang banyak beasiswa kok, Ra. Kamu ndak perlu khawatir."
"Saya pikir-pikir dulu ya, Bu."
"Kalau kamu berminat kabari saya."
Sebenarnya aku ingin kerja dulu, baru kemudian lanjut S2. Aku ingin bisa menghasilkan uang supaya bisa membelikan baju, kerudung, mukenah baru untuk Ibu. Meski setengah hatiku lagi ingin langsung lanjut saja. Ah, entahlah. Aku perlu istikarah dulu. Bertanya pada Allah, sebaik-baik tempat bertanya.
***
YOU ARE READING
Asa Ara
General FictionCerita ini mengisahkan perjalanan seorang gadis bernama Ara menggapai apa yang dia inginkan.