Flashback

10 0 0
                                    

"Gorengannya, Bu? 500 rupiah saja."

"Tidak, terima kasih."

Ughhh...

Langit semakin cerah, keringatku mulai mengucur. Menara masjid terlihat sangat indah. Burung-burung camar berlomba-lomba mengelilinginya. Sinar matahari terpantul sempurna. Di tangga masjid berwarna putih bersih aku duduk sambil menunggu pembeli. Daganganku masih banyak, pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng totalnya tadi baru laku 5. Hari Sabtu dan Minggu aku membantu Ibu berjualan di depan masjid, pasar, atau di tempat-tempat keramaian. Aku tidak pernah malu. Untuk apa malu kan? Wong aku tidak mencuri dan apa yang aku kerjakan halal.

***

Ibu sudah bangun sekitar jam 3 pagi. Itu beliau lakukan setiap hari. Ibu bilang rutinitas seperti itu sudah beliau lakukan sejak berumur 5 tahun. Ibu terbiasa bangun mengikuti ibunya yang selalu bangun pukul 3 pagi. Sebelum membuat gorengan ibu salat tahajud dulu lalu 15 menit kemudian mengaji. Kata Ibu, rasanya tenang sekali kalau kita memulai hari dengan tahajud dan mengaji. Rasanya berbeda dengan kalau kita tidak melakukan itu. Aku jadi penasaran apa betul demikian? Maka sejak umur 10 tahun aku mengikuti apa yang Ibu lakukan, meski hanya mengikuti gerakan-gerakan Ibu dan mengangkat tangan juga kalau Ibu berdoa. Ibu pekerja keras, kami hanya hidup berdua. Sepeninggalan mendiang bapak, kami memang harus bekerja keras. Kami hidup sangat sederhana, beruntung ada orang baik yang mengizinkan kami untuk mendiami pondoknya yang berada di tepian sawah. Pondok itu hanya cukup untuk menampung kami berdua. Tidur di lantai beralas tikar. Jika aku membuka pintu dapur untuk kencing, kakimu pasti akan dingin terkena angin. Tempat tidur, dapur, ruang makan letaknya menjadi satu. Bisa kalian bayangkan betapa sempitnya? Tapi Ibu tak pernah mengeluh. Kata Ibu kami harus selalu bersyukur. Setiap malam Ibu selalu bertanya.

"Besok kamu ada ulangan, Nong?"

"Ada, Bu."

"Ulangan apa?"

"Matematika sama Agama Islam."

"Besok Ibu bangunkan jam 3 pagi lagi ya. Sebelum belajar kita tahajud bersama dulu."

"Baik, Bu."

Sejak itu pula aku terbiasa belajar subuh. Kata Ibu belajar di pagi hari akan membuat otakku lebih encer. Pelajaran lebih cepat masuk ke otak. Petuah Ibu benar, setelah salat tahajud, aku mandi, lalu belajar, dan entah bagaimana pelajaran yang sebelumnya sulit kuhafal dengan mudah kuingat saat pagi.

"Bu, aku ke sekolah dulu ya."

"Iya, hati-hati. Jangan lupa baca doa keluar rumah."

Bismillahi tawakkaltu 'alallahi laa haula wa laa quwwata illa billaah...

Aku pergi ke sekolah jalan kaki. Tidak ada sepeda, apalagi sepeda motor. Keduanya hanya bisa dimiliki oleh orang berada. Sekolahku berjarak 2 kilometer dari rumah. Itulah kenapa aku sudah pergi sejak pukul 6 pagi dengan membawa gorengan untuk di jual.

"Ara, tahu gorengnya satu."

"Ara, aku mau tempe goreng 1, pisang goreng 1."

Jualanku kadang habis, kadang juga tidak. Kalau habis aku bisa mengantongi uang 20 ribu rupiah. Kalau tidak habis biasanya hanya 5 atau 10 ribu.

"Hei Ceking, mintak duit sini!!!"

Itu Apoi, anak nakal di sekolahku. Dia selalu saja memanggilku dengan sebutan Ceking. Dia tak pernah seharipun tidak menggangguku.

"Aku tak punya duit."

"Pakai bohong kau ye... Itu duit hasil jualan."

"Itu bukan duitku."

Asa AraWhere stories live. Discover now