"Bu, boleh minjem Rian ga?"
Ibu nya Rian hanya tertawa sembari mengangguk, tangan nya masih sibuk mencabut rumput rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun tomat dan cabe miliknya. Sesekali Lino berpikir, mungkin menyenangkan jika berkebun seperti itu.
"Kemana sih? Orang ngantuk juga"
"Cepetan ah, nanti keburu siang"
"Kemana? Gamau naik ah nanti diculik"
"Ga ada selera mau nyulik kamu, cepetan ah jangan kayak perempuan"
Rian memakai helm dengan ogah-ogahan. Entah kemana nanti nya Lino membawa diri nya ia sudah tidak peduli sama sekali, ia hanya mengantuk lantaran semalaman suntuk membetulkan radio miliknya yang tidak sengaja tersenggol dan jatuh.
Kurang lebih satu jam, kedua nya kini memasuki kawasan bebatuan yang tidak ada aspal sama sekali. Rian semakin yakin, ia akan diculik Lino.
"Kak Linoo"
Rian menatap ke depan, beberapa anak kecil menyambut mereka—menyambut Lino lebih tepat nya. Sebuah bangunan yang sudah dimakan usia penuh dengan anak-anak kecil yang tadi nya berlarian sekarang berkumpul menemui mereka.
"Nih, bagi ya kaya biasa"
"Yeeeeyyy, Makasih Kak"
"Siapa, No?"
"Ini anak-anak panti, tapi karena kurang dana jadi seada nya mereka aja. Ayo masuk, aku kenalin sama Ical"
Rian diam sejenak, berapa dalam palung yang disimpan Lino sendirian. Ia sendiri tidak pernah sekali pun membayangkan Lino tumbuh menjadi orang sebaik ini. Dulu, Lino hanya anak kecil yang nakal tukang rusuh.
Langkah Rian menuju sebuah kamar sempit, seorang anak mungkin lebih muda dari mereka sedikit tengah terbaring dan tersenyum pada Lino. Wajahnya pucat, kurus, tapi pancaran mata nya menandakan kegembiraan.
"Udah makan?"
"Udah, kapan kesini?"
"Barusan banget, aku bawain telur balado. Mau makan sekarang ga?"
"Boleh"
Lino beranjak entah kemana, Lelaki kurus itu berusaha duduk. Dengan inisiatif, Rian membantu lelaki itu bersandar pada dinding dengan bantuan bantal yang ditumpuk.
"Ibu sama Ayah belum balik?"
"Sekarang Ibu sama Ayah jualan sampai sore, kata nya akhir-akhir ini laku banget jadi lumayan"
"Syukur deh. Oh iya, ini Rian yang sering ku ceritain. Anak tukang roti yang sering kubawain itu"
"Aku Ical, roti buatan orang tua kamu enak banget. Aku sama anak-anak yang lain suka banget"
"Oh iya? Kalau ku bawain banyak mau ga?"
"Bangkrut si Yanto"
"Diem aja kamu, No"
Rian tenggelam dalam obrolan mereka yang mengalir dengan lancar. Seperti nya, Rian cocok dengan Ical. Dari situ, Rian tau kalau ternyata Ical cacat sedari lahir, kaki nya tidak berfungsi pun dengan tangan nya yang kurang berfungsi. Penyakit hati yang kini menggerogoti tubuh nya pelan-pelan juga mulai membuat pertahanan nya sering tumbang. Dari situ juga, Rian tau kalau Lino dengan rutin menyisihkan sedikit gaji nya untuk terapi rumahan agar setidaknya mengurangi sakit yang sesekali Ical rasakan.
"Kenapa kamu ga pernah cerita kalau kenal mereka?"
Ical dan Lino menoleh pada Rian yang kini menatap anak-anak kecil bermain di lapangan besar. Ical duduk dengan nyaman disandaran Lino.
"Udah lama mau ngenalin, tapi kamu tidur terus tiap di ajak kesini"
"Kan bikin roti sampe larut malem, No"
"Mereka maaf yatim piatu semua?"
"Engga semua, beberapa ada yang sengaja dibuang entah kenapa"
Rian meringis, selama ini ia sering sekali mengeluh kalau Ibu nya cerewet, Bapak nya galak dan banyak hal. Padahal, jauh dari jangkauan nya banyak anak yang mendamba kasih semacam itu. Diam-diam air mata Rian tertumpuk di pelupuk mata nya.
"Kalau sudah punya, syukurin. Jangan terus-terusan nyari celah buat ngeluh"
Seolah mengerti apa yang dipikirkan Rian, Lino berucap tanpa menoleh. Ia sendiri sering kali mengeluhkan tentang banyak hal, tapi sekuat mungkin ia mencoba berjalan dengan perlahan.
★★★
"Kata Pak RT beberapa waktu ini sungai mulai meluap. Jadi jangan lengah, banjir bisa aja datang kapan pun"
Lino hanya menyimak pembicaraan bapak-bapak di teras surau, memang pemukiman mereka dekat dengan sungai dari pegunungan, tidak jauh dari air terjun yang belakangan ini memang sedikit buas lantaran hujan yang terus menerus tiap malam datang.
"Disini pernah banjir, Pak?"
Sesekali Lino menimpali dengan pertanyaan yang tidak ian tau sekedar menghangatkan suasana yang memang sudah terasa dingin. Seperti nya akan hujan lagi, tadi siang saja Lino mendapati Lukman yang penuh lumpur sepertinya habis bertarung. Pun, ia hampir terpeleset saat bekerja.
"Pernah, tapi dulu sekali mungkin sekitaran tahun delapan puluhan menuju sembilan puluh. Bukan banjir biasa, banjir bandang yang bikin banyak orang jadi korban bahkan ada yang hilang sampai sekarang ga tau dimana"
Lino sedikit merinding, membayangkan hal mengerikan semacam itu. Sedikit khawatir kalau-kalau banjir yang dimaksud bapak-bapak itu akan benar-benar terjadi.
"Tapi, berdoa aja semoga ga terjadi apa-apa"
★★★
"Malam, cantik"
"Kok nelpon nya telat?"
"Iya, tadi abis sholat isya sempet gabung bapak-bapak sebentar di luar"
"Udah cocok jadi bapak-bapak kamu"
"Udah jadi bapak nya Lukman kok ini"
"Ibu nya siapa? Kamu selingkuh?? No!? Sumpah ya"
"Enggaa, ada ada aja. Lukman anak pungut kan"
"Selingkuhan mu siapa?"
"Ga ada astaga"
"Sehari aja ga bohong bisa ga?"
Lukman hanya memandang jengah pada Lino yang kini terlihat gerah sendiri, Lukman berpikir kenapa Lino mau mau saja di ajak Lia bertengkar setiap saat. Pikiran nya melayang pada tadi siang, ia lebih mendamba pada Mei kucing cantik dengan bulu putih bersih itu sangat perhatian tanpa sekalipun mau bertengkar dengan nya. Tapi, entah bagian mana yang salah. Ia mendapati Mei tengah bermanja dengan Sahrul; kucing hitam legam milik pak RT.
Dibanding Sahrul, Lukman sendiri mengakui ia kalah telak. Peliharaan pak RT itu memiliki perawakan tegap dengan otot di sekitaran bahu nya.
Demi Mei, ia bertarung habis-habisan sampai tercebur ke kubangan penuh lumpur berujung ia lari terbirit-birit menyelamatkan diri dari amukan Sahrul. Malang memang, bukan nya dibela ia malah di marahi habis habisan oleh Lino. Lalu di mandikan dengan tidak manusiawi.
"Miaw miaw miaw"
"Manusia emang aneh"❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandang [Lee Know] • 1998 ✓
Teen FictionEfemeral [ks, yunani]: tidak kekal, hanya bersifat sesaat Mungkin iya, jutaan bahkan milyaran tahun yang lalu kehidupan yang kita kira kekal pada akhirnya lenyap dibawah permukaan bumi. Mungkin kah sebuah daun bermimpi untuk tetap abadi meski ia tau...