[8] Amukan Bumi

15 10 0
                                    

Lino menatap tiap sudut rumah milik ibu nya yang kini, ia sekarang mengerti, ibu nya sudah menemukan bahagia nya sendiri dan ia tidak berhak mengusik itu. Tadi nya malam ini mungkin Lino akan menginap semalam pagi-pagi besok ia akan kembali. Entah dari mana datang nya pemikiran tiba-tiba ia ingin ke panti menemui semua orang. Lino menitipkan Lukman pada Aji dan Ali yang dengan senang hati disambut kedua nya. Berbeda dengan Lino, Lukman merasa kan kekhawatiran yang teramat entah pada apa. Sejak Lino mencium nya setelah akhirnya berlalu, ia seolah gelisah. Duduk termagu sendirian di bangku depan menatap jalanan kota yang ramai ketimbang rumah mereka.

Lino menghapus jejak air mata nya yang entah kenapa menetes kala mendekap Ical, tubuh Ical perlahan membaik, tidak sekurus terakhir kali ia menemui lelaki itu.

"Baik-baik disini, kamu pasti bisa sembuh"

"Kamu kenapa, No?"

"Gatau, kangen aja sama panti"

"Sering-seringlah kesini, aku kesepian kalau yang lain lagi bantu Ibu sama Ayah jualan"

"Insya Allah ya, aku ke ibu sebentar. Kamu makan kue nya, bukan dari toko Rian sih aku nemu toko roti di jalan tadi"

"Enak, makasih ya"

Entah perasaan asing apa yang membuat Lino seolah merindu dengan teramat pada tempat ini. Tidak lama, ia memutuskan untuk pulang tanpa menjemput Lukman. Mungkin besok ia akan kembali kerumah ibu nya untuk menjemput Lukman.

★★★

Lino menganga menatap air yang sudah semata kaki di seluruh pemukiman. Listrik padam, beberapa warga berjaga di pos terdekat menyalakan obor di setiap ruas jalan. Banyak orang berkumpul sekedar bercerita dan tertawa bersama.

"Kapan naik?"

"Sore, ngantuk aku, No"

"Tidur"

"Nyamuk"

Lino menggeleng, kenapa Rian seolah mengantuk setiap saat tapi tidak tidur-tidur. Air terus naik meskipun lambat. Sesekali surut beberapa jam naik lagi begitu seterus nya sampai pagi. Semua orang sudah terbiasa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.

Toko roti milik Rian buka sekitar pukul 3 sore, pagi-pagi sekali Lino memboyong Rian yang masih mengantuk untuk menemani nya menjemput Lukman.

Serius, Lino tidak tidur dengan nyenyak memikirkan Lukman disana. Entah bagaiamana bisa, ia ditaklukkan dengan mudah oleh seonggok makhluk berbulu itu.

"Assalamualaikum, Lukman!!"

Tepat, setelah salam yang Lino dan Rian ucapkan Lukman berlari ke arah Lino lalu mengeong keras.

"Nyenyak tidur, Man?"

"Nda mau tidul"

"Lukman gamau tidur? Kenapa?"

"Nda tau, selalu duduk ke kulsi kelual kamal"

"Dia ga terbiasa sama rumah baru kayaknya, No. Ini Ayah tadi belikan sarden sama beras buat kamu"

"Eh repot-repot, Lino gapapa, cuman jemput Lukman aja"

"Gapapa, kamu anak saya juga. Jangan sungkan minta sesuatu, No. Saya ayah kamu"

Baik Lino maupun Rian, keduanya terenyuh menatap binar mata bahagia pada Ayah tiri Lino. Sekarang, Lino yakin seyakin-yakinnya ia menitipkan ibu nya pada orang yang tepat.

"Lino sama Rian pulang ya, titip ibu. Aji Ali, Abang pulang dulu ya"

"Ati-ati"

Lino berlalu, meninggalkan rumah besar yang menjadi tempat bahagia ibu nya saat ini. Jauh dalam diri nya, ia iri. Ibu nya menemukan bahagia nya, lalu ia kapan?

"Gimana sama Lia?"

"Gatau, Yan. Gapernah ketemu lagi, ga ada ku telpon juga. Kemarin nelpon yang angkat mama nya, marah-marah"

"Sabar, No"

★★★

Hujan lebat dan angin deras sedari ba'da zuhur hingga menjelang Ashar belum berhenti, toko roti dibatalkan buka. Hingga kini, Lino dan Lukman hanya menikmati radio dan derai hujan di jendela kamar.

"Air nya naik terus, Man. Dikit lagi masuk rumah. Kamu tinggal sama Ibu atau ke Ical dulu mau ga? Takut kamu kenapa-napa"

Lukman sedikit kesal, ia ingin membersamai Lino dalam keadaan apapun bukan nya di ungsikan kalau ada sesuatu. Rasa nya Lukman harus kabur jika hujan sudah reda nanti.

Pukul sembilan malam, hujan reda menyisakan rintik-rintik dan angin yang berhembus. Kesempatan itu dimanfaatkan Lukman untuk kabur ketempat kawan nya. Padahal, Lino sudah menyiapkan beberapa perlengkapan Lukman.

★★★

Pukul tiga dini hari, lagi, suara gaduh dari arah air terjun kembali terdengar. Kali ini lebih gaduh dari yang pertama kali terdengar, semua orang berkumpul keluar. Air mulai surut bahkan sudah kering di beberapa titik dengan cepat seolah dihisap kuat oleh bumi.

Lagi, malam itu seluruh warga sholat malam berjamaah hingga pagi.

Riuh suara di hutan tidak berhenti bahkan semakin gaduh, beberapa orang ada yang menuju kesana sekedar memastikan apa yang terjadi di dalam hutan belantara sana.

Langit gelap, mendung tebal. Lukman sudah kembali sejak subuh tadi, tapi sejak tadi ia seolah gelisah berlarian kesana kemari seolah ketakutan.

Menjelang Zuhur, samar-samar Lino mendengar teriakan beberapa orang bersamaan dengan bunyi kentongan dipukul riuh.

"LARII!!! AIRR!! AIR NAIKK!! LARI!!"

Lino menggendong Lukman berlari keluar, sekilas ia melihat di ujung sana gelombang air tinggi sekali diikuti dengan burung-burung yang beterbangan berpencar seolah sama panik nya.

Gemuruh terdengar keras menulikan pendengaran nya. Lino melepaskan Lukman, menyuruh kucing itu berlari sejauh mungkin. Lukman menurut, Lino ikut berlari saat tiba-tiba sebuah dorongan kuat menumbangkan diri nya, ia tersedak, tidak sempat mencerna apa yang terjadi.

"AIIIRR!! YA ALLAH!! ALLAHU AKHBAR!! TOLOOONG"

Teriakan masih ia dengar, bersahut-sahutan meminta pertolongan. Lino berusaha, menggapai gapai sesuatu yang bisa ia gapai. Nafas nya sudah tercekat, ia seolah ditindih sesuatu yang berat entah apa.

Badan nya ringan, terombang-ambing mengikuti arus yang membawa nya bersama tumpukan benda lain nya.

"AYAAAAHHH!!!"

❤️

Bandang [Lee Know] • 1998 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang