Pikiran Konyol

0 1 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Teh Sdiah memanggilku agar lekas menyusulnya ke kebun. Gegas aku gulung semua kertas tadi, kemudian memasukannya ke tas kecil yang kubawa. Biarlah dulu aku menyimpannya, toh, siapa tahu ini milik salah seorang tetangga Te Sdiah.

Mataku menatap takjub perkebunan semangka yang menghampar luas, benar-benar memanjakan mata. Kakiku tak sabar menyusuri tiap-tiap pohon yang tengah berbuah. Ada pasangan renta juga yang tengah duduk di saung dekat kebun ini.

"Neng, rencangan Teh Sdiah, sanses?¹” tanya ibu itu begitu melihatku.

Aku tersenyum sembari mengangguk penuh semangat. Ah, lebih baik aku melanjutkan menyusuri kebun ini. Daripada ditanyai lebih jauh lagi.

"Jangan jauh-jauh. Aku akan memetik semangka sebelah sini," teriak Teh Sdiah mengingatkanku. Kuacungi jempol sebagai jawaban.

Kenapa di sini bisa nanem semangka? Kenapa dekat rumahku tidak ada? Hmm, kenapa juga semua orang di sini terlihat ramah, apa kerena wajahku asing buat mereka?. Pertanyaa-pertanyaan tak berfaidah terus saja berputar-putar di kepalaku, mengiringi langkah kaki yang semakin jauh dari tempat Teh Sdiah dan pasangan tadi.

Saat melihat sebuah batu, gegas aku duduk di atasnya. Terik matahari tak menyurutkan niatku untuk berbaring dan menatap langit yang cerah tanpa cela. Hufft, setidaknya lelah perjalanan kemari terbayar sudah. Entah sedang apa teman-temanku yang lainnya.

Mataku masih betah menatap langit, sambil sesekali pikiranku lagi-lagi mengajak bermolog ria. Merangkai satu persatu cerita yang membuat sikap serta pemikiranku menjadi sedemikian rupa. Kadang, aku harap waktu bisa terulang sebentar saja. Agar aku bisa memperbaiki hal-hal yang rusak saat ini.

Ah, aku tiba-tiba teringat gulungan kertas yang kumasukan dalam tas. Aku mengambil posisi duduk lalu membuka tas, mengeluarkan lemaran-lembaran misterius yang masih acak. Ku tatatap lekat-lekat tiap hurufnya, dan baru aku sadari kalau tulisan ini menggunakan mangsi².

Di zaman sekarang ini sangat jarang orang menulis menggunakan mangsi, maksudku buat apa repot-repot jika sudah ada bolpoin dan pulpen yang lebih praktis. Mungkinkah pemilik kertas ini adalah seorang yang sangat kolot? Atau mungkin juga pecinta estetika? Hais. Ruwet sekali menebak-nebaknya.

“Hoy! Apa kamu akan terus seperti itu sepanjang hari?!” The Sdiah berteriak lantang dari tempatnya berdiri. Aku tertawa sekenanya, berdiri sambil memasukan kertas-kertas itu lagi. Lalu, mempercepat langkah menyusul The Sdiah yang juga mulai melangkah.

•••

“Apa yang ada di keranjang kuning itu, Teh?” Raida bertanya dengan sorot penasaran yang sangat kentara. Aku membuang pandangan, memilih langsung masuk dan duduk meluruskan kaki.

“Mau berbaring? Masuklah ke kamar itu,” saran Rere begitu melihatku memijat pelan kedua lutut sambil menatap langit-langit.

“Kamar yang kita tempati?”

“Tidak, itu hanya buatmu. Kami bertiga sepakat akan tidur bersama The Sdiah.”

Aku tertawa kecil, pasti mereka tak ingin menggangguku. Terlebih, aku akan sulit tidur di tempat baru. Mungkin juga mereka takut kalau aku menceritakan kisah mengerikan sebelum tidur, atau juga tanganku yang sering kali tiba-tiba terasa seperti tengah demam tinggi. Ah, lupakan.

“Tas bajuku di mana?”

“Sudah rapi di dalam. Hehe, aku yang menata-nya.”

“Bukan masalah. Terima kasih.”

Rere tersenyum kemudian bergabung bersama yang lainnya di teras, sementara aku memilih masuk ke kamar yang akan kupakai tidur malam ini. Ah, kamar mungil yang nyaman. Ada sebuah lemari, ranjang single serta meja kecil yang kelihatannya hasil buatan sendiri.

Sepertinya kamar ini kosong, terbukti saat aku buka lemari yang menggantung hanya pakaian milikku saja. Tak ada benda lain lagi. Mungkin memang ini khusus kamar untuk menginap, atau bisa saja milik salah satu saudara The Sdiah. Apapun itu, terserah.

Ranjang kecil ini berderit saat tubuhku berbaring di atasnya. Perasaan nyaman langsung memeluk diriku. Sempurna sekali, sudah waktunya terlelap.
 
“Woy, ada pesan!” nada dering dari ponselku mengalihkan kantuk yang datang. Sialan, aku lupa mematikan data seluler. Dengan malas aku meraih benda pipih tersebut, lantas melihat pesan yang masuk.

“Nanti malam kau harus lanjutkan tulisan tadi. Aku sangat menantikannya.” Cih, orang meyebalkan itu lagi. Padahal aku sudah memberi tahunya kalau aku tengah menginap di rumah teman.

“Biarkan aku liburan dengan tenang. Setuju atau cerita ini takan pernah berlanjut.” Aku mempertegas dengan menambahkan emotikon iblis di akhir kalimat. Masa bodo kalau dia nanti mengamuk. Setelah terkirim dan centang biru, gegas kumatikan ponsel.

Huft, kantukku hilang. Tapi rasa lelah ini belum juga beranjak. Saat kulihat meja kecil di samping ranjang, mataku menyipit. Kertas-kertas itu menyembul dari dalam tasku. Kertas-kertas yang masih menjadi misteri siapa pemiliknya. Sebetulnya aku mengira kalau kertas itu tak sengaja jatuh saat pemiliknya tengah melintasi jalan tadi.

Kuraih tas, lalu mengeluarkan kertas tadi. Sepertinya ini bukan buku harian, mungkin saja sebuah cerita. Di tiap lembarnya ada nomer urut, jadilah aku merapikan semuanya terlebih dahulu. Jumlahnya ada delapan lembar, yang berarti enam belas halaman. Ditambah satu kertas kosong yang kuperkiraan adalh sampulnya, sebab di situ huruf-hurufnya ditulis dengan ukuran lebih besar dan tebal.
 
“Mimpi muluk-muluk dan hal buruk lainnya.” Sekali lagi aku membaca judul dari keseluruhan tulisan ini. Menimbang-nimbang sebaiknya aku apakan kertas ini, mungkinkah mencari pemiliknya? Atau kubaca saja tanpa meminta izin terlebih dahulu?.

“Apa kamu sudah tidur?” pertanyaan itu dibarengi ketukan pada pintu, aku sedikit kaget. Kemudian menjawab, “belum”.
 
“Ini.” Teh Sdiah menyodorkan satu kertas padaku. Aku tak faham. Kemudian dia bilang kalau itu kertas tadi terjatuh dari dalam tasku. Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, The Sdiah keluar dan bilang bahwa yang lain mengajak keluar untuk membeli mie instant–persiapan tengah malam–karena selepas pukul tujuh malam, semua warung di sini sudah tutup.

Aku memilih tidak ikut. Kembali fokus pada kertas-kertas yang kini berjumlah sepuluh lembar. Sepertinya, kertas yang tadi Teh Sdiah berikan adalah halaman terkahir dari kisah ini. Tapi, tunggu dulu. Hal lain menyita perhatianku, pada lembar ini tertulis:

cerita ini adalah bagian dari hidupku. Suratan tak kasat mata buat mereka yang nantinya akan mencari di mana keberadaan makamku–kelak–jika seandainya cacing-cacing pekuburan tak lebih dulu menghabiskan seluruh lembarnya, atau juga dirusak tangan tak bermoral dari mereka yang tak mengerti apa itu sastra, boleh jadi juga keberadaanku yang fana ini yang takan terlacak oleh petinggi-petinggi negri ini,

cerita iu adalah sebagian dari pemikiranku, ibarat kotoran yang tadinya melekat dalam tubuh, sisa-sisa dari cernaan otak terhadap hal-hal mendasar yang tak disadari oleh manusia, atau boleh jadi jawaban atas dosa dan doa yang kuperbuat selama ini,

cerita ini erat kaitannya dengan hidupku, barang siapa yang menemukannya–jika seorang baik hati–tolong kembalikan padaku, jalan rumahku tersimpan pada tiap lembar cerita, tapi jangan pernah berani membaca lebih dari halaman tujuh, itu adalah perintah mutlak

jika seseorang menemukan cerita ini, masih dalam keadaan utuh, tak seberantakan narator ceritanya, tolong kembalikan padaku, carilah aku, di kaki gunung, di antara bumi dan lahat,

aku, narator dari kisah yang kini ada dalam genggamanmu, SANTA

Hah, hah, hah. Rasanya dadaku sesak sekali, kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Entah kenapa, saat membaca tiap kata-nya nafasku seolah tertahan–tercekik–tanpa alasan yang jelas. J-jadi, aku harus mengembalikan kertas-kertas ini? Dan alamatnya ada pada tiap lembar cerita? Ini menarik, sangat memantik jiwa petualangku agar segera bangkit. Baiklah, sudah kupuskan. Kalau … besok aku akan mencarinya. Harus!.

Mencari SantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang