Milik siapa?

6 3 2
                                    

HAPPY READING
.
.
.

"Assalamu'alaikum...."

Ah, sepertinya Raida dan yang lain sudah datang. Aku harus bergegas membukakan pintu. Dan benar saja, begitu pintu terbuka, Raida langsung memelukku dengan sangat erat. Kami memang sudah lumayan lama tak bertemu. Jadi kalian harus wajar karena sikapnya yang berlebihan ini.

"Kamu sehat kan? Ya ampun, aku kangen banget tau." Raida berujar sembari memukul pundakku. Huh, padahal sambil diam pun harusnya bisa. Menyebalkan sekali anak ini.

"Ia, aku sehat. Kamu sendiri gimana? Kalian juga?" aku bertanya dengan antusias. Pura-pura kalau aku juga merasakan hal serupa. Apa namanya? Rindu? Ah, ia, rindu.

"Kami sehat, bahagia juga." Balas Nora dan Rere sambil menepuk dadanya masing-masing. Jangan tanya kenapa aku betah dengan mereka, karena kenyataannya tidak seperti itu. Anggap saja ini hubungan simbiosis mutualisme, eh, apa aku salah? Lupakan.

"Syukur deh, kalau begitu. Jadi, kita langsung berangkat nih?" aku bertanya tanpa mempersilahkan mereka duduk terlebih dahulu. Terdengar sangat jahat, ya? Tapi tak apa. Toh perjalanan kami akan menyita waktu. Dan aku sudah bosan berada di rumah.

"Tentu, ayo. Kamu ingin diboceng siapa?" tanya Nora. Dia yang paling berbadan gempal diantara kami berempat. Sikapnya juga kadang menyebalkan, wajar saja dia anak juragan sayur di kampungnya.

"Terserah. Yang penting segera berangkat."

"Yasudah, kamu denganku, ya?" tawar Raida. Aku mengangguk untuk mempersingkat drama pertemuan ini. Akhirnya kami lekas berangkat dengan mengendarai motor.

Selama perjalanan, Raida terus berceloteh perihal kesibukannya membuat konten. Aku tertawa hambar, sebagai tanda kalau menikmati kisahnya. Huft, bosan juga terus-terusan memakai topeng seperti ini. Apa aku harus menunjukkan jati diri? Ah, tidak menguntungkan nantinya. Biarlah seperti ini dulu.

Jalan menuju rumah Teh Sdiah sangat indah, karena kami melewati banyak pantai. Anginnya pun tak main-main, peniti pada jilbabku bahkan hampir terlepas.

Sayangnya, aku memandang semua keindahan itu dengan luka. Bagaimana tidak? Laut seindah ini harus dikotori sampah tangan manusia, belum lagi nanti jika tsunami mendera. Ah, sial. Kenapa malah membahas lingkungan?.

Drrttt

Getaran di ponselku menyita pikiran runyam tadi. Gegas kuangkat, disana tertera nama "Nora".

"Ada apa?"

"Berhenti dulu...."

Ah, rupanya ban motor yang mereka tumpangi mengalami kebocoran. Untungnya kami tak jauh lagi dari bengkel. Mau tak mau aku meminta Raida untuk berhenti, sebagai bentuk kesolideritasan.

"Lama enggak, Pak?" Aku bertanya pada bapak-bapak pemilik bengkel dengan sedikit gusar. Perjalanan saja menyita waktu, belum lagi ada kendala macam ini, huh menyebalkan. Jangan tanya mereka bertiga sedang apa, karena wajah mereka sama sekali tak nampak kekesalan. Yang ada mereka memilih menikmati waktu dengan berfoto di pantai sebrang bengkel.

Aku memilih duduk diantara pelanggan yang lain. Bengkel ini memang kecil, tapi ramai. Ada empat orang karyawan yang membantu bapak tadi, sepertinya dia adalah pemiliknya.

"Mau kemana, Dek?" Bapak itu bertanya sambil terus bekerja, tangannya cekatan mencari lubang pada Ban motor Nora. Ditanya seperti itu membuatku memilih berjongkok mendekatinya, bukan lagi pada bangku kayu panjang tadi.

"Mau ke Panimbang, Pak."

Bapak itu lanjut bertanya, tentang namaku, darimana asalku, serta apakah kami semua bersaudara. Sebenarnya aku malas bercerita panjang lebar, tapi bagaimana lagi? Rasanya tidak sopan jika hanya diam.

Mencari SantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang