"Woah woah woah... Santai bro, lo gampang emosian!" Suara El terdengar setelah helaan nafas.
"Saya tidak menyukai manusia itu, sungguh tidak mempunyai sopan-santun sama sekali!"
Saat ini Alveeza sedang berada di kamarnya, setelah kejadian yang membuat moodnya buruk itu ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya diantar Felix.
Wajah Alveeza kini seakan-akan menahan diri untuk tidak menghancurkan apapun, tangannya mengepal erat dengan aliran listrik kuning muncul. Ia menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan, ia membuka kepalan tangannya dan melihat aliran listrik kuning masih muncul sesekali.
"Saya benar-benar tidak menyukai manusia seperti itu! Menjijikkan!" Sekali lagi Alveeza berusaha mengatur emosinya agar ia tidak merusak apapun.
Walaupun ia terkenal kaku, dingin dan sopan, saat ia emosi ia tidak akan bisa menahannya. Ia lebih memilih untuk menghancurkan apapun yang ada dihadapannya saat tidak ada orang lain, itulah Alveeza dimasa lalu.
"Yah sejujurnya gue juga ngerasain sih, itu bocah kaya sok kenal sok dekat gitu. Asli kalo gue yang ngendaliin ini tubuh bisa dipastikan dia tepar." El berbicara dengan diselingi helaan nafas, sungguh ia juga tidak habis pikir dengan bocah bernama Lucane itu.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu membuat atensi Alveeza beralih, "Masuk." Ia membuang muka tidak ingin melihat siapapun yang berada dibalik pintu tersebut.
'Cleck!'
"Al," Suara yang lembut itu khas seorang ibu terdengar di telinganya, "Al sudah ya marahnya, bunda ngga suka Al diam-diam seperti ini."
Alveeza menarik nafas lalu menghembuskannya dengan sedikit kasar, ia berbalik dan menemukan bundanya (Jessica), bersama dengan dua orang pemuda yang tidak lain adalah abang pertama dan keduanya.
Tidak ingin menatap wajah mereka, Alveeza memutuskan untuk melihat lukisan yang terpasang disebelah kanannya. "Ada apa." Emosi yang membuat suaranya terkesan dingin, kasar, dan tidak peduli itu membuat Jessica merasa sedih.
Alveeza bukanlah orang biasa, ia sensitif dengan emosi apalagi orang terdekatnya. "Tidak perlu sedih, saya baik-baik saja." Ia tetap tidak berani menatap wajah bundanya.
"Bunda sedang bicara sama lo Alveeza, tatap matanya jika sedang berbicara!" Suara yang sedikit tinggi itu keluar dari abang keduanya Arellio, yang saat ini menatap dirinya tajam.
"Itu bukan urusanmu, Arellio." Jawab Alveeza tak kalah tajam.
Saat ini mereka berdua mengeluarkan aura permusuhan yang kental, Jessica merasa sedih dengan hubungan anak-anaknya. Pemuda yang satunya, yang tidak lain adalah Axellius kini menghela nafas, ia menepuk bahu bundanya pelan.
"Bunda bawa Lio keluar, biarkan Lius yang mengurus Alveeza." Axellius memegang bahu Jessica seraya tersenyum, "Dan bunda tenang saja, Lius tidak akan membuat moodnya memburuk." Axellius tau jika bundanya ini ingin sekali berbicara langsung dengan Alveeza, tapi Arellio juga harus ditenangkan.
Axellius sebagai yang tertua dan selalu berada disisi adik pertamanya tau jika Arellio bukanlah orang yang mudah mengalah dan juga tenang saat sedang emosi, dan sekarang ia mempunyai Alveeza, adik keduanya yang sifatnya mungkin 11-12 dengan adik pertamanya.
Jessica tersenyum kecil, "Bunda serahkan padamu Lius, jangan buat adikmu tambah kesal ok?" Lalu ia menarik lembut tangan anak keduanya, "Lio, ayo, bunda perlu bicara denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVEEZA [On Going]
Teen Fiction[ SlowUp ] Elvaroth si jenius dari Magic Academy, diusianya yang ke-17 tahun ia sudah mencapai tingkat Silver King yang membuatnya mendapatkan banyak tatapan iri, kagum, dan sejenisnya. Sifatnya yang dingin, cuek/tidak peduli, dan pendiam kadang ser...