Gerimis yang tak kunjung usai sejak satu jam yang lalu menapak berembun pada jendela-jendela banyak rumah yang terembus napas dinginnya. Langit masih sama—atau mungkin sedikit mereda mendungnya.
Di tengah hening yang berkuasa di ruang keluarga, ada Skala yang sibuk berkutat dengan tugas Geografinya. Tipikal soal satu nomor, namun isinya beranak-pinak tak peduli tentang bagaimana lelah dan pegalnya seorang Skala.
TV yang mati, lantai dingin, suara rintik hujan yang beradu dengan jalanan juga genangan yang tercipta. Jam bulat yang menempel di dinding atas TV menunjukkan pukul 12 tepat. Skala sendirian di rumah berlantai dua ini.
Pusing berkelumit sebab soal Geografi beranak ini berhasil mengalihkan perhatian Skala dari sepinya realita yang tengah ia perankan saat ini. Fokusnya penuh, tertuju pada layar laptop yang menyala terang, yang saat ini tengah menampilkan video pergeseran lempeng bumi secara konvergen.
Kendati matanya yang mulai pedih nan memberat, Skala tetap bersikukuh untuk menyelesaikan tugasnya yang seperti memelototinya untuk segera dirampungkan sebelum pukul satu datang.
Merupakan sebuah kebiasaan seorang Skala, bersikap keras pada diri sendiri dengan dorongan ambis yang mengisi penuh semangat yang ia punya. Meski perlahan mengikis lelah, Skala tak peduli, ia tak mau dengar lenguhan lelah yang mendorongnya ke jurang ketertinggalan.
Skala Sadiga, lengkapnya. Anak tunggal dari pasangan Adit Raga dan Ladis. Mereka masih muda, bukan dalam konteks awet muda.
Skala ditakdirkan untuk memiliki empat kakak perempuan tak sebapak yang keelastisan mulutnya mengalahkan karet gelang. Entah kebobolan atau apa, kelimanya hanya berjarak satu tahun.
Di balik tampangnya yang menyuarakan bodo amat, Skala sebenarnya perasa. Meski tampangnya acuh tak acuh, bukan berarti pikiran dan hatinya begitu. Bukannya Skala manipulatif, karena tampangnya memang sudah begitu dari sananya.
Kata keluarga besarnya, bahkan kata orang-orang, Skala itu ambis. Awalnya, Skala tak terima dituduh seperti itu. Mereka berkata seolah-olah apa yang Skala lakukan itu berlebihan, tak wajar, buang-buang waktu, dan apalah itu cemoohan lainnya yang disertai tawa lelucon.
Skala suka berjuang, karena perjuangan adalah makna hidup.
Pintu berderit tanda dibuka. Disusul ketukan pantofel yang menghampiri tempatnya bersimpuh di samping meja rendah di tengah tiga sofa biru laut yang disusun melingkar.
Mati-matian Skala menjaga konsentrasi kendati kepalanya mulai terasa berat dan pusing, mungkin efek empat jam bergelut dengan tugas-tugas sekolah—padahal dari lima tugas, sebenarnya ada tiga tugas yang bisa dikumpul lain hari. Tapi ia harus bertahan, tinggal menjelaskan penyebab pergeseran lempeng bumi secara divergen, menulis contoh-contoh, lalu berlanjut mengedit ketikan, dan terakhir mengirim ke Bu Waryuna selaku pengajar Geografi di kelas Skala.
Skala tahu itu ayah, beliau duduk di kursi yang ada tepat di sebelah bahu kanan Skala. Terdengar embusan napas lelah. "La, udahlah. Santai aja ngerjainnya. Ini jam tidur. Kamu gini cuma nyiksa diri." Tangan kekarnya mengelus bahu Skala lembut. "Lihat, mata kamu udah merah," ucap ayah geram sambil menutup laptop yang otomatis LCD-nya mencium jemari Skala yang masih di atas keyboard.
Kontan Skala meringis sakit sebab jemarinya yang tercium LCD laptop. Fokusnya buyar, bergantikan erangan disertai mata memerahnya yang tergenang air mata. Ini memang bukan kali pertamanya ayah berlaku demikian, tapi Skala tetap sulit terbiasa. Biasanya, Skala berakhir dengan menangis sebab otak yang berbelit dan mata yang lama fokus pada sesuatu itu tiba-tiba mendapat perlakuan yang membuat suasana terasa berkali lipat runyam.
Namun kali ini, Skala ingin mencoba meredam gejolak emosinya. Ia lelah menangisi hal seperti ini. Dirinya laki-laki, masa iya cengeng? Skala tak mau identitasnya sebagai laki-laki terkikis karena sifat 'gampang nangis' yang menurut Skala cukup banci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Bumi Putra
Teen FictionMenusuk bulatan takdir sakit yang menerjang tak kenal ruang merupakan satu dari sekian misi hidup yang ingin Skala rampungkan. Berbeda dengan Bumi, isi kepalanya menuntun supaya cepat mati saja. Ada persamaan dengan dunia Putra yang terkadang meras...