¹▹ i'm keeping my distance

65 7 0
                                    

Sadrah saja. Ada genang di pelupuk matanya, pun kesan mencekik di kerongkongan tak Skala indahkan. Air mata pertamanya di hari ini lolos pukul 1 dini hari, bak penyambut hari yang belum pasti sesuai ekspektasi.

BRAKK!

Ssshh ....” lirihan lolos dari belah bibir Skala, tepat setelah kaki kursi yang mengenai bahu kanannya menghantam lantai. Skala menghampiri Ladis, sang mama, yang masih berpeluk histeris, sklera wanita itu lebih memerah dari Skala.

“Laa! Suruh Ayahmu pulang! Sekarang!” bentak Mama.

Skala meraup tubuh bergetar mama ke dalam rengkuhan, sembari menepuk-nepuk halus punggung mama yang sedikit lembab karena keringat. “Sstt ... hush ... Skala tadi dapet nilai kecil, Ma. Jelek, Skala gak suka. Geografi ada ulangan harian super dadakan, Skala dapet nilai berapa, tebak?”

Suara parau Skala mengalun tenang, membelai telinga sang mama yang sedari pukul 12 teng terasa riuh. Tenaga Ladis terkuras dini hari ini.

Merupakan hal biasa yang Skala lakukan kala Ladis tak terkendali adalah bercerita apa saja, mengalihkan topik, yang penting dengan intonasi dan laju bicara tanpa menyentak.

Ladis perlahan tenang. Pandangan yang awalnya semi kosong itu menatap Skala penuh luka. “20?” tebaknya pelan.

Skala memaksakan segurat senyum. Apa pun keadaannya, Skala hanya ingin Ladis melihatnya sebagai raga tanpa kenal luka. Skala ingin menjadi tembok kokoh yang siap dijadikan sandaran bahkan pelampiasan Ladis saat skizofrenia wanita yang melahirkannya itu mulai merecoki untuk membuat luka kasat mata.

Hanya gelengan yang Skala beri, takut getar dalam suaranya terdengar dan menyakiti telinga wanita yang paling Skala cintai.

“Anak Mama ... nangis? Karena siapa ...?”

Skala menggeleng, kendati mata basahnya tak bisa diajak berkilah. “Mama mau Skala buatin susu? Yang anget mau, ya?”

Kedua lengan Ladis menekuk, tangannya mengepal. Skala sedikit tersentak kala sebelah tangan Ladis yang sedikit bergetar membelai rambut Skala. “Ayah ada di rumah?” Ladis bertanya lain.

Membantu Ladis bangkit, kemudian Skala papah paruh baya itu ke sofa biru laut yang dekat dengan posisi mereka bersimpuh. Tak ada penolakan untuk duduk dari Ladis, Skala mengembuskan napas sedikit lega. Karena nyatanya, Skala tak pernah merasa selega itu.

“Ayah kamu mana?” tanya Ladis lirih usai mendaratkan diri di sofa single, sengaja Skala mendudukkan Ladis di sana agar dirinya dapat bersimpuh di depan wanita yang telah melahirkannya itu tanpa takut punggungnya membentur sisi meja kecil yang dikelilingi dua sofa single dan satu sofa panjang.

Sebagai bentuk antisipasi saja, sebab luka memanjang karena digores pecahan gelas oleh Ladis kemarin masih basah. Pegal-pegal badan Skala ketika bangun dari tidur karena semalaman dalam posisi tengkurap.

“Hei, Nak. Ayah ... mana?” tanya Ladis.

Skala menggenggam kedua tangan yang kembali mengepal itu, guna menyalurkan hangat, dipandangnya Ladis dengan sorot teduh. “Skala telfon Teh Shana, Teh Gatha, Teh Mara, sama Teh Wila, ya? Umm ....”

Ladis tersenyum lembut. “Telfon aja mereka. Ayah juga, ya? Ayah mana, Nak? Ayah kamu mana?”

Tidak. Skala harus hindari topik tentang Adit, sang ayah. Jika membicarakan tentang pria itu, bisa-bisa emosi Ladis lebih memburuk.

Skala bangkit. Tangan dinginnya mengusap-usap rambut Ladis yang lepek nan awut-awutan sebab 15 hari tak terguyur air.  “Rambut Mama perlu dikeramas. Bentar, Skala siapin ai—”

Skala Bumi Putra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang