Bulu-bulu lebat nan halus yang menghiasi tubuh gemuk Juk memang selalu menjadi sasaran uyel-uyel favorit Putra. Bagaimana bulu putih itu begitu terasa pas untuk ia jambak dengan penuh kegemasan, wangi sampo kucing yang menguar menelusup ke sepenjuru ruang sempit yang ada di lobang hidung Putra, dan yang paling penting adalah suaranya.
Meong, meng, ueok, wYeOaaowrrw!
Juk memang bersuara merdu. Entah berapa kali Putra mengajarinya olah vokal—padahal Putra sendiri angkat tangan dengan dirinya yang tak bisa bernyanyi. Lupakan tentang itu, karena Putra ingin Juk bisa benar-benar menjadikan merdu suaranya sebagai sebuah hal keren yang bisa dibanggakan. Rasanya gemas sekali jika Juk terkenal lalu melakukan worldtour dengan Putra yang senantiasa mendampingi dengan gelar barunya; asisten Juk.
Woah! keren sih ini.
Meski turun jabatan, Putra rela. Untuk Juk, kucing gembul kesayangannya.
Bagi Putra, pesona Juk memang menyilaukan. Cantik, bohay, manis, atletis, kekar, juga menggemaskan. Mata bulatnya yang selalu memancarkan sorot minta disayang, membuat Putra selalu lupa waktu dibuatnya. Persetan dengan tugas sekolah, Juk lebih penting untuk dirawat dan diberi kasih sayang.
Seperti halnya hidup; tak lepas dari pilihan. Dan jika Putra diberi pilihan antara gebetan dan Juk, maka Juk tentu pemenangnya. Punya hak apa seorang gebetan atas Putra? Juk tentu lebih berhak untuk mengajaknya dinner, malming, BBQ-an, shopping, atau semacamnya. Bagi Putra, Juk sudah termasuk paket komplit.
Dari segi mana pun, Juk lebih unggul di mata seorang Adithiaputra. Bahasa kerennya, Juk adalah dunianya. Jika Juk sakit, maka Putra seperti ikut terkena sengatan kesakitan Juk.
Dan Juk pagi ini loncat dari jendela halaman belakang yang terhubung dengan dapur, kucing putih itu kemudian meloncat indah ke arah Putra yang sedang mencuci piring. Bulu putihnya basah, kenakalan Juk tentu menjadi penampar Putra bahwa kucing gempal itu tak sempurna.
Di luar hujan lumayan lebat, suatu kebiasaan Juk ketika hujan datang adalah sok cantik di tengah rintik air yang berjatuhan. Entah itu lari-lari, rebahan, atau menduselkan kepala di antara pot-pot tanaman hias mama.
Setelah kuyup, barulah ia lari heboh masuk rumah dan melap bulu tebalnya yang basah ke baju Putra. Biadab, tapi Putra sayang luar biasa. Perlu ditegaskan lagi, Juk itu paket komplit pokoknya.
Mungkin karena Putra yang tengah sibuk dengan sesi mengguyur alat-alat makan dengan sabun juga air, Juk jadi berjingkat dan duduk di tembok sebelah kanan wastafel yang kering.
"Juk, mau dimandiin pake ini, gak? Rasa stroberi, lho, ini." Putra menyodorkan tangan penuh busanya ke hidung Juk. Kucing itu menampilkan ekspresi gue-gak-nanya. Putra menghirup aroma sabun cuci piring dengan dramatis. "Wangi. Gak kayak Juk."
"Meow!" Juk mengeringkan bulunya. Cipratannya sukses mengenai wajah Putra.
Cowok manis itu mendelik tajam pada buntalan putih kesayangannya itu. "Juk, gak boleh gitu, ya? Entar kalo jadi kucing durhaka, Juk akan menyesal," peringat Putra sok serius.
"Meow, wrawrr ...."
"Idih, kok gitu. Baperan. Pantesan gak ada kucing jantan yang ngejar-ngejar." Sedetik kemudian, Putra meralat, "Eh, Juk nolep, sih. Jadi, gak ada kucing jantan yang tau kalo ada kucing secantik dan seanggun Juk."
"Meow!" Juk menjilat tangan menggemaskan berbulu putihnya, nampak tak peduli.
Putra yang tengah melumuri gelas teh dengan busa-busa yang muncul dari spons di tangan kanannya sontak meletakkan gelas kaca itu pelan, takut-takut tergelincir karena tangannya yang licin kala teriakan mama terdengar nyaring dari arah pintu utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Bumi Putra
Teen FictionMenusuk bulatan takdir sakit yang menerjang tak kenal ruang merupakan satu dari sekian misi hidup yang ingin Skala rampungkan. Berbeda dengan Bumi, isi kepalanya menuntun supaya cepat mati saja. Ada persamaan dengan dunia Putra yang terkadang meras...