Satu

344 57 9
                                    


Lorong salah satu rumah sakit milik swasta yang ada di tengah Kota Malang tampak lengang. Tidak ada lalu-lalang manusia di area bangsal yang ada di lantai tiga. Efek pandemi akibat virus Corona menyebabkan peraturan untuk jam besuk ditiadakan. Langkah tepat untuk membuat pasien dapat berisitirahat dalam perawatan lebih masimal.

Tepat di ruangan yang ada di depan lift, seorang perempuan paruh baya bertubuh sedikit gemuk berbicara dengan nada yang pelan. Di hadapannya, ada seorang pemuda bertubuh tinggi sedang berdiri bersandar pada dinding. Pandangannya menunduk dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.

"Mas, tolong sekali ini saja. Buat Bapak bahagia."

Bu Murni memohon dengan berurai air mata kepada Ranu Madharsa--putra sulungnya. Mereka sedang berdiri di depan ruang perawatan. Pak Joko—ayah Ranu—harus kembali masuk rumah sakit karena penyakit jantung.

Ranu tidak berani menatap wajah sang ibu. Pikirannya mulai berkecamuk. Kondisi Pak Joko tidak seperti biasanya saat kambuh. Kali ini lebih parah.

"Mas!" panggil Aruna—adik Ranu—dengan nada tinggi. Ia sedari tadi hanya diam mendengarkan obrolan ibu dan saudaranya dari balik pintu yang terbuka sedikit. Kali ini rasa kesalnya pada sang kakak sudah memuncak. Gadis yang mengenakan pashmina abu-abu itu berjalan mendekat ke arah Ranu dan Bu Murni.

Ranu terkejut, begitu juga dengan Bu Murni. Mereka sontak menatap wajah Aruna yang sudah memerah. Sepasang mata dibalik kacamata minus itu sudah berkaca-kaca.

Aruna menutup pintu, lalu berjalan mendekati Ranu. Kedua tangannya sudah mengepal. Sesak di dada sudah tidak tertahankan lagi.

"Sampai kondisi Bapak udah kayak gini, Mas masih saja egois?" Aruna menatap tajam mata Ranu. Ia pun kembali berkata dengan nada tertahan. "Kalau aku bisa gantiin kamu, mending aku aja, Mas. Kami nggak butuh anak pembantah seperti kamu!"

Aruna menekan dada Ranu dengan telunjuknya. Pemuda dengan kemeja kantor itu tersentak akan sikap emosional sang adik. Ia hanya sekejap menatap mata Aruna yang membara dikuasai amarah. Ranu pun menundukkan wajah.

Gadis berusia dua puluh dua tahun itu semakin terisak. Ia takut jika ayah kesayangannya tidak berumur panjang.

"Sudah, Adek. Ini di rumah sakit," ucap Bu Murni seraya menenangkan putri bungsunya. Wajah perempuan dengan gamis polos berwarna hitam itu juga terlihat basah oleh air mata.

"Ibu nggak usah belain Mas terus. Ibu itu udah terlalu sering disakiti Mas, Bu. Aku nggak tega ibuku satu-satunya diperlakukan seperti itu sama anaknya sendiri. Ibu masih punya anak yang lain. Ibu masih punya aku, Bu."

Aruna berkata dengan terisak. Ia memang tidak tahan lagi dengan kelakuan sang kakak yang terus membuat Bu Murni kerap menangis dalam kesunyian. "Semua emang gara-gara Friska! Kamu itu kena pelet, Mas!"

Ranu sontak mengangkat wajahnya begitu nama mantan pacarnya disebut. "Apa-apa-an bawa nama Friska? Dia nggak salah, dan nggak akan pernah salah."

"Cih, najis. Masih aja ngarepin cewek yang udah bikin kamu durhaka sama Bapak dan Ibu? Benar-benar, ya, Mas. Asli parah!" Aruna masih berusaha mengontrol tinggi nada dalam ucapannya. Ia tentu tidak ingin orang-orang di lantai tiga itu melihat pertengkaran keluarga tersebut.

Ranu mengepalkan tangannya. Ia berusaha menahan emosi. Ia tidak bisa berbuat gegabah. Dirinya sedang di tempat kerja. Ranu adalah salah satu tim IT rumah sakit tersebut.

"Adek, udah. Ini di rumah sakit. Jangan bikin keributan." Bu Murni mendekap sang putri. Beliau lalu mengusap punggung Aruna yang semakin tersedu.

Aruna tidak menjawab. Hanya isakan menyayat hati yang keluar dari bibirnya. Kekecewaan terhadap Ranu sudah memuncak saat ini.

Ranu menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya. Ia lalu berjalan keluar menuju taman rumah sakit. Dirinya membutuhkan udara segar di tengah keruwetan masalah yang menimpanya. Permintaan Pak Joko adalah memintanya untuk segera menikah. Hal itu tentu sulit diwujudkan dalam waktu dekat karena satu-satunya perempuan yang ingin dinikahinya, sekarang sudah putus komunikasi dengannya.

Hubungannya dengan Friska terjalin saat mereka masih duduk di bangku kuliah, tepatnya di tingkat akhir. Ranu dan Friska berbeda fakultas. Mereka bertemu saat sama-sama menjadi anggota BEM universitas.

Di mata teman-teman kuliah, Friska dan Ranu adalah pasangan serasi. Selain fisik yang sama-sama menarik. Mereka juga terkenal akan kecerdasannya. Friska rajin mendapatkan beasiswa bergengsi dari kampus. Pun demikian dengan Ranu yang beberapa kali membawa kampus juara dalam ajang perlombaan tingkat wilayah dan nasional.

Namun, restu untuk mereka berdua tidak turun dari Pak Joko hingga Ranu sudah wisuda. Padahal, kedua orang tua Friska sangat menyukai Ranu. Hal itu membuat Friska terluka. Ia pun memilih untuk menunda kelulusannya dan mengajukan beasiswa pertukaran pelajar ke Spanyol. Sejak itu, Friska dan Ranu tidak berkomunikasi lagi.

Ranu mengalami patah hati yang hebat. Hal itu membuatnya enggan mengirimkan lamaran pekerjaan. Enam bulan setelah lulus, baru Ranu memutuskan bekerja. Ia pun pernah mengancam Bu Murni karena kegagalan cinta yang dialami. Jika dirinya tidak diperbolehkan menikah dengan Friska, maka ia tidak akan menikah selamanya. Dan, Ranu terus memegang prinsip yang melukai perasaan kedua orang tuanya itu hingga detik ini.

"Mas." Tangan Bu Murni memegang bahu Ranu. Pemuda yang sudah setengah jam berada di taman itu pun terkesiap. Namun, ia tidak mengucapkan sepatah kata. "Ibu paham kalau Mas begitu cinta sama Friska. Bapak pasti punya alasan kenapa tidak merestui kalian."

Bu Murni mencoba menahan air mata kembali keluar. "Sehari sebelum Bapak dilarikan ke rumah sakit, Bapak sempat cerita kalau masih mikirin ucapan Mas yang tida akan menikah selamanya. Bapak nggak mau anaknya berprinsip seperti itu. Mas jangan egois gini." Bu Murni kembali tidak bisa membendung tangisannya. Beliau pun terisak di samping Ranu.

Ranu mencengkeram rambutnya dengan kuat. Permintaan papanya itu sangat sulit. Rasa sakit hati berpisah dari Friska masih membekas cukup besar.

"Dokter bilang, harapan hidup Bapak cuma sedikit, Mas. Ini sudah kesekian kalinya Bapak masuk rumah sakit dalam setahun ini."

Ranu sontak menoleh ke arah sang ibu. "Ibu jangan ngomong kayak gitu. Takdir itu Allah yang nentukan, bukan dokter."

Bu Murni manggut-manggut. Beliau menyusut air matanya. "Iya, paham, Mas. Sekarang ibu hanya mohon satu hal saja sama Mas. Bahagiakan Bapak di sisa usianya. Bapak pingin mantu, Mas. Ibu mohon, Mas."

Ranu terus berdecak. Ia juga menyayangi kedua orang tuanya. Namun, pilihan kali ini terlalu sulit baginya.

"Bu, aku bisa saja nikah dengan perempuan mana aja yang Ibu dan Bapak restui. Tapi, kalau itu sampai terjadi, aku nikahnya tanpa hati, Bu. Hatiku udah diambil sepenuhnya sama Friska. Aku bakal nyakitin istriku nanti. Ibu nggak mau, kan, punya anak berengsek gitu?"

"Astagfirullah anakku." Bu Murni hanya bisa mengusap dadanya sembari tersedu. Perempuan dengan dua anak itu seakan tidak sanggup berpikir lagi.

Ponsel Bu Murni berdering. Nama Aruna tertera di layar. "Kenapa, Dek?"

"Ibu di mana?" Aruna bertanya sembari menangis.

"Dek, Bapak kenapa?!" Bu Murni sontak berdiri. Aruna bergantian menjaga ayahnya saat beliau izin pergi ke musala rumah sakit untuk mendirikan salat Ashar.

Ranu terus memperhatikan Bu Murni. Ia ikut panik melihat reaksi ibunya.

"Ya Allah ...." Bu Murni merasakan tubuhnya lemas mendengar penjelasan Aruna. Ponselnya sampai jatuh ke tanah.

"Ibu!" Ranu memegang lengan Bu Murni.

"Bapak dibawa ke ICU," ucap Bu Murni dengan nada yang lemah.

Ranu sontak membeliak kaget. Mendengar kata 'ICU' disebut saja langsung memunculkan pikiran buruk di benaknya tentang sang ayah. Apalagi dirinya setiap hari bekerja dirumah sakit. Cerita tentnag ICU sering tidak membawa berita baik.

UNINTENDED WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang