Enam

96 32 5
                                    


Kurang dari sepuluh menit, Jelita sudah tiba di rumah Aruna.

"Ada apa, sih, Jel?" tanya Aruna penasaran. Apalagi saat mendapati wajah Jelita yang memperlihatkan ekspresi tegang.

Jelita menghela napas panjang. Ia harus segera mengutarakan maksudnya daripada mendapati penyesalan nantinya.

"Udah jadi cari calon istri di Geser Kanan Jodoh?" Jelita memulai tujuannya.

"Belum. Masih males aku, tuh. Mana ditanyain Ibu melulu. Kamu tahu kan, tadi waktu di rumah sakit?" Aruna memeluk bantal guling. Mereka berdua sedang berada di kamar Aruna.

Jelita manggut-manggut. "Jadi, belum ada calonnya?"

Aruna menggelengkan kepala. "Kenapa? Kamu punya calon buat jadi kakak iparku?"

Jelita terdiam. Ia meremas kedua tangannya yang mulai terasa dingin. Detak jantungnya pun terpacu lebih cepat.

Aruna menatap Jelita dengan pandangan menyelidik. "Kamu kenapa aneh gini, Jel?"

"Aku punya calon yang mau sama Mas Ranu."

"Hah?! Serius?" Aruna mengubah posisi duduknya. "Siapa?"

Jelita menarik napas panjang. Ia berharap keputusannya ini tepat. "Dia di sini, duduk di hadapanmu."

Aruna sontak melonjak kaget. Jemari telunjukknya mengarah ke wajah Jelita. Aruna lalu tertawa keras mendapati pernyataan sahabatnya itu yang bersedia menjadi kakak iparnya. Ia sampai menepuk paha Jelita berulang kali.

"Jeli, oh, Jeli. Kalau mau nge-prank tuh, agak keren dikitlah, Jel," ujar Aruna masih dengan gelak tawa. "Aku tuh, lagi stres, sumpah! Kalau abangku nggak nikah cepat, Ibu bakal mikir terus."

Jelita terdiam menatap reaksi sahabatnya. Tatapan mata gadis dengan kemeja lengan panjang motif garis itu tampak serius. Tidak ada senyuman, bahkan saat Aruna terbahak.

"Aku serius, Run. Memutuskan menikah itu bukan hal yang bisa dibuat bercanda," ungkap Jelita dengan tegas. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu menatap sang sahabat dengan lekat.

Aruna seketika menghentikan tawanya begitu mendengar nada bicara Jeita. Ia paham kapan sahabatnya itu sedang di posisi serius atau bercanda.

"Kamu ... suka sama Mas Ranu?" tanya Aruna hati-hati.

Jelita tidak langsung menjawab. Ia malah kembali menatap Aruna. Senyuman malu-malu disertai anggukan kepala menjadi jawabannya.

Aruna sontak merebahkan punggungnya dengan keras ke kasur. Pengakuan Jelita jauh lebih mengejutkan dari kabar Ranu yang ingin menikah.

"Aku syok, aku syok." Aruna membuka dan menutup matanya berulang kali.

Jelita menutup wajahnya. "Aduh, harga diriku turun ini, Run. Kenapa aku harus memberi pengakuan cinta?"

Aruna mengembuskan napas pendek. "Sejak kapan kamu ada rasa sama si kepala batu itu?"

Jelita senyum-senyum tersipu. "Sejak aku mengerti tentang cinta."

Aruna kembali dibuat tercengang oleh pengakuan sahabatnya tersebut. "Kapan? Kamu kan, nggak mau pacaran. Kerjaannya nolakin cowok melulu. Sampai ngiri aku."

Jelita kembali mengingat masa itu. Di saat dirinya untuk pertama kali merasakan debar jantung yang tidak biasa saat berkomunikasi dengan Ranu. Gadis dengan wajah berbentuk oval tersebut tidak pernah merasakan hal seperti itu terhadap laki-laki lain, bahkan kepada mereka yang berusaha mendekatinya.

"Jangan bilang pas kita bertiga liburan ke Bromo?" Aruna mengingat satu momen di mana komunikasi Jelita dan kakaknya itu cukup intens. "Jangan-jangan kejadian kamu jatuh dari tangga, terus ditangkap Mas Ranu dari bawah. Aku masih ingat persis! Yakin pasti mulai saat itu."

Jelita mengangguk dengan wajah memerah. Tebakan Aruna benar. Waktu yang tepat saat dirinya mulai jatuh cinta kepada Ranu adalah lima tahun yang lalu.

"Cie cie, jadi pengagum rahasia seorang Ranu ternyata," ujar Aruna menggoda sahabatnya.

"Ih, Aruna, nih. Aku jadi malu, deh." Jelita mengguncang tubuh Aruna.

Aruna dan Jelita pun terbahak bersama. Dua gadis itu jika bertemu akan menjadikan suasana begitu meriah. Beruntung, di rumah Aruna hanya ada mereka berdua.

"Serius, Jel? Yakin mau jadi kakak iparku?" Aruna ingin memastikan pernyataan Jelita tadi.

Jelita menganggukan kepala sembari tersenyum malu-malu. "Kamu nggak setuju, Run?"

Aruna mendesah pelan. "Bukannya gitu, Jel. Aku cuma nggak tega kamu tersakiti oleh Mas Ranu. Kamu sendiri paham, dia kayak gimana ke Friska."

Jelita menggerakkan kepalanya naik dan turun. "Aku berani ngomong seperti tadi karena tahu konsekuensinya, Run."

"Jel ...." Aruna menyentuh tangan Jelita. Ia terharu mendapati niatan tulus sahabatnya itu.

"Kamu tahu, Run? Aku sering kali merasa ketakutan jika aku sudah melewatkan jodohku dengan menolak niatan baik beberapa orang itu. Dalam pikiranku itu selalu menekankan bahwa Mas Ranu adalah suami impianku."

Aruna tersentak. Ia tidak menduga jika sahabatnya begitu mencintai kakaknya.

"Jujur, Run. Sejak tahu ada yang beda dengan perasaanku ke Mas Ranu, aku terus berdoa agar hatinya tergerak padaku. Sekalipun kondisinya dia masih bersama mantannya itu. Mungkin, aku udah gila, ya?" Jelita mendesah pelan.

Aruna menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia mengamati wajah Jelita hingga sahabatnya itu salah tingkah.

"Kayaknya kalian emang berjodoh. Kelakuannya sama persis."

"Hah? Sama apanya?" Jelita menautkan kedua alis melengkung miliknya.

"Mas Ranu nggak bisa move on dari Friska meskipun udah ditinggal entah ke mana. Nah, kamu, udah beberapa kali dilamar laki-laki dari yang udah mapan sampai masih ingusan, ditolak melulu. Hemm, baru sadar aku alasan kamu nolakin lamaran itu."

Jelita terkekeh menanggapi ucapan sahabatnya itu.

"Tapi, aku cuma lulusan SMA aja, Run. Mas Ranu kan, sarjana. Njomplang kali, ya, Run." Salah satu penyebab Jelita menyimpan rapat perasaannya adalah karena status pendidikan.

"Haduh, makan, tuh, gelar sarjana."

Aruna selalu marah jika Jelita membahas tentang pendidikan. Bukan karena kedua orang tua sahabatnya itu tidak mampu membiayai kuliah, tetapi Jelita sendiri yang memutuskan memperdalam bakatnya di bidang desain baju dan menjahit dengan mengikuti kursus. Impian teman terdekatnya itu adalah memiliki butik dengan brand namanya sendiri.

"Aku nggak masalahin riwayat pendidikan, Jel. Masalahnya sekarang cuma satu. Kamu sanggup menghabiskan sisa hidup dengan laki-laki yang dalam hati dan pikirannya masih menyimpan nama cewek lain? Istilah kerennya saat ini tuh, belum selesai dengan masa lalu."

Jelita hanya terdiam. Ia takut jawabannya akan malah memberikan kesan bahwa dirinya mengejar Ranu. Ia masih punya harga diri. Prinsip yang dipegangnya untuk masalah jodoh cukup sederhana. Jika memang Ranu yang tebaik pasti akan didekatkan dan dimudahkan jalan menuju pernikahan. Begitu pun sebaliknya.

Aruna menepuk lembut bahu Jelita. "Selama kita berteman, aku nggak pernah tahu kamu jatuh cinta sama cowok. Seringnya aku yang selalu curhat galau karena cinta. Akhirnya aku paham alasannya, Jeli. Karena Ranu adalah cinta pertamamu."

Jelita menarik napas panjang. Anggukan kepala menjadi tanggapan atas pernyataan Aruna.

"Maaf, ya, Run. Aku nggak berani cerita sama kamu."

Aruna memasang wajah manyun. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku nggak terima diperlakukan kayak gitu, Jel. Belasan tahun kita sahabatan kayak nggak ada artinya," ucap Aruna dengan raut tanpa senyuman.

Jelita tercengang mendapati ekspresi kekecewaan Aruna. Ia menjadi merasa bersalah. Dirinya sudah mempertaruhkan banyak hal malam ini. Harga diri dan persahabatan.

UNINTENDED WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang