Halo Kamila
•
•
•
Siapa nih yang kangen sama ceritanya Alan?
•
•
•
Tinggalkan jejak sebelum membaca!🥀🥀
^^
Pagi yang dingin dan lumayan gelap tidak mengurungkan niat pemuda ini untuk pergi joging disekitaran Malioboro.
Dengan stelan santai dan sepatu olahraga yang melekat pada tubuhnya, ia berlari kecil mengikuti jalan setapak.
Udara sejuk menyapa, dan jalan yang diterangi oleh cahaya lampu, menambahkan kesan istimewa dari kota tua tersebut.
Mesti terlihat sunyi dan mencekam, Jogja memiliki kesan istimewa didalamnya. Kota dengan berbagai tradisi dan kuliner itu menjadi saksi bisu terjalinnya asmara antara kedua insan.
Bertolak belakang dengan pemuda yang satu ini, dia, memang percaya akan adanya cinta tapi dia tidak percaya kalau dirinya pernah dicintai.
Kejadian belasan tahun yang lalu telah berhasil menutup rapat pintu hati kecilnya.
Suasana sudah menghangatkan tubuhnya. Mentari sudah mulai akan muncul untuk menampakkan sinarnya. Lelaki itu berhenti sejenak untuk menyaksikan Sunrise atau terbitnya matahari. Matanya tampak terkagum-kagum melihat keindahan itu, campuran warna yang terlihat sangat serasi.
Setelah puas ia berhenti untuk meyaksikan Sunrise, ia memilih untuk melanjutkan lari paginya.
*****
Alan memasuki rumah joglo tradisional yang terlihat indah dan klasik.
“sudah selesai Den, jalan paginya?” tanya Mbok Asri. Mbok Asri adalah pembantu yang sudah bekerja sejak dahulu, ia menjadi pembantu kepercayaan keluarga Mahardika.
“sudah, Mbok” Alan mengelap keringat yang bercucuran dari dahinya.
“biar saya buatkan minum,” Mbok Asri beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.
Alan menarik napas panjangnya, ia melihat sekeliling rumah yang masih sama seperti dulu. Rumah ini adalah rumah yang menjadi saksi kebahagiannya dulu.
Sembari menunggu mbok Asri membuatkan dia minum Alan pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Tubuh yang atletis dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya, menjadi pemandangan ketika Alan selesai mandi.
Alan pun keluar dari kamarnya. Setelah itu ia langsung menuju teras depan rumah dan beristirahat sejenak di sebuah kursi bambu yang sudah tersedia. Tidak lama kemudian Mbok Asri pun datang dengan membawa secangkir teh hangat untuknya.
"Ini teh hangatnya den" sembari memberikan teh hangat tersebut.
"Iya mbok terimakasih"
"Mbok pamit kebelakang dulu ya den"
Alan hanya membalas dengan anggukan kecil. Ia mulai menyeruput teh hangat buatan Mbok Asri sembari melihat sudut demi sudut rumah tersebut. Kesederhanaan rumah joglo tradisional mampu membuatnya nyaman. Semua masih sama seperti dulu. Semuanya kecuali-
*****
Luasnya halaman belakang rumah, Alan manfaatkan untuk menuangkan ide-idenya disebuah kanvas. Melukis memanglah hobi seorang Erlangga Alan Mahardika, dia sudah dia sudah jatuh dalam hobi ini sejak umurnya masih 5 tahun, jangan salah dirumah joglo yang sangat megah ini sudah terdapat ruangan khusus untuknya melukis. Namun, mau sebesar apapun ruang itu, Alan lebih suka melukis dihalaman belakang."Cantik" gumamnya pada lukisan yang baru saja ia buat.
"El"
Alan menoleh kearah sumber suara yang memanggilnya, dan tersenyum sekilas, saat mendapati neneknya lah yang memanggil dengan nama masa kecilnya.
Wanita tua tersebut membalas senyuman Alan, wajahnya yang keriput sudah nampak terlihat jelas.
“cucu eyang taseh nopo? (cucu eyang lagi apa?)” Eyang Puspa mengelus pucuk kepala Alan seraya tersenyum kearahnya.
“Melukis, Eyang,” balas Alan dengan senyum tipisnya.
“hobinya masih sama ya dari kecil” Eyang Puspa tertawa kecil. Hobi cucunya tidak akan hilang rupanya.
“Alan tetaplah jadi Alan, dan melukis tetaplah hobi Alan” ujar Alan. Alan memang memiliki kepribadian yang berpegang teguh pada hal apapun, dan juga keras kepala, apapun yang sudah ia dapatkan tak akan pernah ia lepaskan, itulah definisinya. Apa yang telah dirinya miliki tak boleh diambil oleh orang lain.
Eyang Puspa tersenyum, “Eyang mplebet rien (Eyang masuk dulu)” Eyang Puspa segera beranjak dan mulai melangkahkan kakinya.
“nggeh Eyang, (iya Eyang)”
Alan menatap hamparan luas taman belakang yang menjadi tempat favoritnya itu. Ia hirup udara segar dengan tenang. Ia memejamkan matanya seraya menikmati semilir angin kencang.
Dipandangnya lukisan yang baru saja dia buat, coretan indah dengan gradasi warna yang dibuat dengan sempurna, membuat lukisan itu tampak indah untuk dipandang.
“gue harap, kita bisa bertemu”
^^
Bersambung..........
Pake bahasa Jawa ygy,
iyalah kan ini temanya Jogja, jadi ya harus ada wkwk.Vote komen!!!!!!!!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Ada apa dengan Jogja?
Teen FictionJogja, kota itu akan selalu menjadi kota istimewa. Tempat yang menjadi saksi antara dua insan yang menjalin asmaraloka. Swastamita menjadi penghias diantara kisah cinta yang terjalin diantara keduanya. Sastra yang kau tulis dan kenangan yang ku luki...