Rabu, 13 Juli 2022
Diniyah Al-Hikam, 14.30 WIBSesi mukhafadhoh berakhir lima belas menit yang lalu, para santri Al-Hikmah banat segera berkutat bersama kitab-kitab dengan khidmat, sejalan dengan itu para asatidz yang bersuara lantang tampak bersemangat membacakan makna dari setiap huruf di setiap kitab, terdengar begitu indah bagi setiap pasang telinga yang menyimak bagaimana ratusan santri berjihad dengan mempelajari ilmu-ilmu agama sampai pada akar-akarnya.
Sudah seharusnya kelas-kelas disibukan dalam kegiatan belajar-mengajar semenjak bel selesai mukhafadhoh berbunyi, kendati demikian kelas akhir tingkat awaliyah 6-c takpak masih menanti ustadz Rosyid mengisi kelasnya atau lebih tepatnya berharap agar ustadz Rosyid tidak mengisi kelas hari ini.
Terlihat sebagian santri tidak lagi menempati masing-masing kursi, sebagian dari mereka sudah membentuk sebuah grombolan dengan melingkari satu meja pun wajah-wajah mereka yang tampak serius manakala menanggapi kalimat temannya, toh sebenarnya mereka hanya membicarakan santri putra.
Sementara sisanya hanya berbincang dengan teman satu meja atau menyenderkan kepalanya pada meja untuk kemudian menutup mata dan tertidur sampai bel jam istirahat membangunkannya, seperti gadis yang duduk pada kursi paling belakang.
Laila namanya, gadis itu sedari tadi hanya menyenderan dan mengangkat kembali kepalanya usai usahanya untuk tidur di jam kosong ini gagal. Wajahnya tampak kesal saat suara bising teman sekelasnya menerobos telinga, tidak hanya itu kipas angin di kelas yang mogok beroprasi minggu lalu juga menambah suasana semakin tidak kondusif untuk tidur siang sebentar.
''Panas...'' keluhnya usai merebut potongan kardus milik teman satu bangkunya, meskipun itu tidak begitu meminimalisir udara panas dan pengap kelas ini setidaknya keringat Laila tidak begitu berkucuran di dahi.
''Kaya nggak biasa aja La, orang udah dari minggu lalu kita terpanggang di kelas panas an pengap ini,'' sahut si Andini, teman sebangku Laila yang sudah merasa terbiasa dengan segala macam kondisi di dalam kelasnya.
Tiada sorot semangat pada wajah Laila, bel istirahat berbunyi tiga puluh menit lagi
Tangan kiri Laila mengipaskan potongan kardus ke depan wajahnya, sebuah alat wajib untuk meminimalisir rasa gerah selama di sekolah, sementara tangan kanannya masih tersibukan dengan kitab I'anatin Nisa' yang ia beri catatan kecil di setiap pinggirnya. Bukannya mau sok pintar, tapi pak Ustadz Gait adalah guru paling killer saat muridnya kesulitan menjawab pertanyaan yang dia ajukan.Minggu lalu, Laila kapok berdiri hingga akhir pelajaran rasanya kaki kebas tak karuan. Sialnya, Laila kesulitan berpikir, kepalanya nge-lag, bukan cuma gara-gara kipas angin di kelasnya tidak berfungsi dan menimbukan gerah yang seolah abadi, telinganya juga hampir bengkak mendengar teman-temannya kompak menyanyikan dangdut koplo dengan suara yang menimbulkan pekak.
"Birunya cintaaaa... Kita berduaaaa..."
"Udah kampret, jamet lagi!" Keluh nya dalam hati.
Merasa lelah dan tak kunjung mendapat pencerah atas kebingungannya, ia menyerah. Pulpen ia jatuhkan, kepalanya diletakan di meja sambil terus mengipasi wajahnya, hati meraung-raung memikirkan kapan istirahatnya.
Jam dinding ia lirik, sesi muhafadhoh bersama sudah berakhir sepuluh menit yang lalu namun pak ustadz Gait tak kunjung sampai di kelas. Laila tentu saja menyeringai lebar. "Ya Allah, semoga motor pak ustadz Gait mogok di pertigaan."
Sepuluh menit berlalu, nyanyian dangdut koplo tadi telah berganti gerde menjadi musik DJ Jedag-dedug remix, Laila yang masih kepanasan makin panas. Pak ustadz Gait sepertinya memang tidak rawuh hari ini, seharusnya ia bisa memanfaatkan momen ini untuk mengistirahatkan mata tapi teman-temannya ini sungguh tidak peka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAM DAN MIMPINYA
Teen FictionLaila, dia jauh dari kata sempurna untuk mendapatkan yang dia suka, tau akan itu ia pergi untuk menenangkan diri sekaligus sadar diri meski kenyataannya berulang kali ia jatuh cinta kembali, sampai akhirnya dia mengetahui sadar diri tidak diperlukan...