Prologue

201 124 69
                                    

Suara tembakan begitu membabi buta memenuhi ruangan itu. Berukuran 4×3 meter, ruangan dengan dinding berwarna hitam keabuan menjadi saksi, atas pembalasan dendam yang telah lama mengikat jiwa, oleh gadis dengan rambut tergerai itu.

Berjalan pelan menyusuri lantai marmer putih ternodai gelombang darah hasil perbuatannya sendiri, ia tersenyum lebar melihat sosok manusia tanpa busana yang menjadi target akhir dirinya.

Tentu saja, penampilan gadis itu tak jauh berbeda dengan manusia dihadapannya. Gaun yang ia kenakan sudah lusuh, bercak darah ada dimana-mana. Pun dengan manusia dihadapannya. Kulit yang koyak hasil karya kekasih dan juga sahabat-sahabatnya. Namun, sepertinya dia masih mending, bukankah dirinya yang memimpin permainan seru kali ini?

Ia bukan psikopat, ia juga bukan pembunuh kejam. Gadis itu hanya manusia biasa. Hanya sebisa mungkin menghargai mereka yang kehilangan nyawa akibat perbuatan tak masuk akal dari keluarga-keluarga haus akan darah.

Bodoh sekali mereka tidak ada yang membawa senjata. Benar-benar membuat ekspetasi gadis itu menurun.

“HAHAHA ...! JAVAS! IT’S AMAZING ...!” Gadis itu tertawa girang, menyebut nama sang kekasih. Di tangan kanan, terdapat sebuah senjata yang ia lemparkan ke atas, kemudian segera ia tangkap dan diarahkan kepada pria yang akan menerjang dirinya.

Duar ...

Darah bersimbah seiring letusan peluru terus menyergap dan menghunus target yang ada disana. Memutar-mutar tubuh seolah tengah menari, gadis itu terkekeh melihat raut ketakutan dari manusia paling pojok.

“Ini giliran lo, Keittha!” serunya kegirangan. Tak sabar melihat aksi apakah yang akan dilakukan oleh sahabatnya ini.

Seorang gadis dengan topeng diwajahnya susah payah menembakkan pelurunya sembari menahan tangis mengingat kondisi orang yang ia sayangi harus meregang nyawa karena orang dihadapannya.

Dengan lihai kemampuan menembak yang dimilikinya, ia berhasil melumpuhkan tujuh orang. Mereka adalah dalang dari masalah yang selama ini terus-menerus berdatangan.

“PSIKOPAT KALIAN!”

Netra Praya menatap tajam kearah seseorang yang duduk di kursi dengan kondisi kedua tangan yang diikat ke belakang dan mulut yang mengeluarkan darah. Orang tersebut memang tidak berdaya lagi, akan tetapi kedua mata orang itu memandang tajam ke arah dirinya. “Wah? Javas, kenapa masih bisa ngomong?”

Javas terkekeh geli. “Bunuh nggak, Sayang?”

Mengangguk antusias. “Yeah. Why not?” Praya mengacungkan tangan kanannya yang terdapat pistol jenis Glock-17 tepat pada dada manusia itu. Mengabaikan pupil mata dihadapannya yang membesar, Praya tersenyum sumringah.

“Ada kata-kata terakhir?” Senyum lebar itu tergantikan oleh seringai menyeramkan, membuat nyali orang itu menciut.

“Lo, psikopat sialan, Praya!” maki orang itu.

It’s me.” Praya tersenyum miring.

Duar ...

Gadis itu terkekeh geli. “Bukannya, nyawa harus dibayar nyawa, teman-teman?”

SIDE THE OTHER SIDE PRAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang