1. TGM

50 9 1
                                    

Karya ini 101,99% hanya fiksi belaka. Di mohon tidak membawa alur dari cerita ini ke dunia nyata. Terimakasih 🙏

-


Dari sebuah gedung bertuliskan Blacklist University terlihat banyak manusia berlalu lalang masuk dan keluar secara bergantian. Mengabaikan suasana sekitar dan berfokus pada tujuannya masing-masing.

Tidak berbeda dengan pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang keluar dari loby dengan tas dan juga ponsel yang sedang di tempelkan pada daun telinganya. "Gue nyusul abis balik kerja aja. Yo," setelahnya ia menjauhkan benda pipih itu dan menatap sekitar.

"Cape' juga hidup begini," ucapnya pada diri sendiri.

Kakinya melangkah lagi, menuju tempat khusus parkiran sepeda motor. Menghampiri motor sport hitam dengan helm full face senada di bagian kemudi. Mengendarainya ke tempat ia harus pergi sekarang.

Sekitar tiga puluh menit perjalanan itu, kakinya kini menapak, menuju sebuah coffee shop dengan nuansa tanah yang merata.

Ganda Coffee

Tulisan besar memperkenalkan nama tempat singgah itu. Dengan tatapan lurus ia masuk ke dalam bangunan itu, memasuki bilik bertuliskan "hanya untuk karyawan" dan duduk di meja yang memang di khususkan untuknya.

"Wise, kemana aja njing. Gue tungguin dari tadi."

Pria dengan kacamata masuk ke ruangan dan langsung duduk di hadapan pria lain yang di panggil Wise itu.

"Kaya ga tau aja lo gue lagi nyiapin materi buat sidang skripsi," jawab Wise acuh sambil mulai fokus pada laptop nya.

"Kalo mendadak ada kerjaan ngomong dulu lah bro. Meeting tadi gue kelabakan, materinya di lo semua," kata Edward sedikit kesal.

"Anjing Ward, lupa gue cok. Terus gimana tadi?" Tanya Wise kini berpaling fokus.

"Ya gue kasih materi sebelum revisi lah. Dan lo pasti udah nebak, permintaan kita di tolak. Dia ngga berani tanem modal di sini kalo yang kita janjiin cuma segitu," Edward berkata seadanya.

Cafe mereka bukan cafe jelek yang hampir bangkrut. Mereka jelas punya uang untuk sekedar menanam lebih banyak modal untuk cafe yang mereka bangun bersama ini. Tapi Wise menyarankan mencoba peruntungan mencari investor dari perusahaan besar di daerah mereka. Tapi malah begini, dia sendiri yang menyarankan dia sendiri juga yang dengan meetingnya.

"Sorry banget Ward. Gue cariin perusahaan lain aja kali ya?" Wise merasa bersalah.

"Kayanya ngga perlu sih, mereka masih mau coba kita. Kita cuma di suruh ngasi tawaran lebih lagi dari proposal tadi. Kita kasih yang lo bawa mungkin mereka juga bakal mau," Edward berkata sambil menunjukan chat pendek dari investor tadi.

"Ya udah boleh. Mau kapan? Biar jadwalnya ga nabrak tolong boking hari dulu."

"Cih, sok sibuk lo," Cerca Edward melihat Wise yang hanya tersenyum menanggapinya.

Percakapan mereka berlangsung singkat setelahnya. Edward keluar mengurus bagian terdepan cafe dan Wise sebagai garda belakang yang hanya bertugas mengurus pembukuan bulanan.

Ngomong ngomong, apa kalian ingin mengenal lebih karakter seorang Wise di book ini? Mari saya beritahu.

Dia Danerie James, seorang anak dari pasangan artis ternama Filipina. Anak pertama dari dua bersaudara. Dia tinggal berpisah dengan orangtuanya. Memilih membeli sebuah kondominium untuk di tinggali nya seorang diri. Bukan tanpa sebab dia memilih hidup mandiri. Sedari dia kecil, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaan. Dia selalu merasa seperti di lupakan. Sampai suatu hari, adik perempuan nya lahir, menyita sedikit perhatian kedua orang tuanya yang harusnya menjadi miliknya kini sepenuhnya tertaruh pada sang adik. Saat itu usianya dua belas tahun. Dia tak protes tentang apapun. Dia hanya diam.

Di usia yang ke tujuh belas, dia memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Menyewa apartemen dengan uang yang masih di berikan kedua orang tuanya. Beralibi dengan berkata untuk belajar hidup mandiri, kedua orang tuanya memperbolehkan anak lelaki yang mereka anggap sudah dewasa itu pergi. Namun dengan masih memberi cukup banyak uang perbulan tentu saja.

Sekitar tiga bulan sebelum senior high school nya berakhir, dia sudah merencanakan membangun sebuah coffee shop di tengah ramainya kota itu. Mengajak Edward yang kebetulan juga tertarik di dunia bisnis.

Selang satu tahun, mereka merealisasikan rencana tersebut. Dengan dana dari kedua belah pihak orang tua mereka. Kini mereka resmi menjadi pebisnis.

Bukan mudah menjalankan bisnis saat kalian bahkan masih harus mengurus keperluan pendidikan kalian sebagai mahasiswa baru. Tapi mereka melakukan itu dengan sangat baik.

Cafe itu booming. Terkenal. Banyak peminatnya. Entah karna apa. Cafe yang semula hanya "angkringan" kini menjadi lahan besar sumber penghasilan mereka.

Tempatnya juga fleksibel. Kalian ingin ketenangan? Cafe ini siap menjamu. Ingin di jadikan restoran? Mereka punya chef yang menakjubkan-meski menu makanan beratnya tidak terlalu banyak-. Hanya ingin duduk dan menikmati malam? Coffee yang mereka tawarkan sangat beragam. Dari yang membangkitkan mood, sampai membuat kalian kesusahan untuk tidur.

Ah, saya rasa ini sudah lebih dari cukup bahkan untuk promosi cafenya. Kalian berminat singgah?

"Wise, ada cewe nyariin lo tu," suara itu memecah fokus Wise lagi. Kepalanya mendongak dengan tatapan kesal pada lelaki lawan bicaranya.

"Gue harus kelarin pembukuan hari ini Ward, tolong lah," jawabnya kesal.

"Gue ngga lagi bercanda, Wise. Dia berisik banget di depan. Pelanggan lain sampe pada komplain loh," mukanya serius.

Wise dengan berat hati beranjak dari duduknya. Wanita mana lagi ini, pikirnya. Dia bahkan enggan untuk sekedar menyimpan kontak wanita, lalu darimana wanita wanita itu berdatangan menghampirinya setiap hari?

"Gue ngga punya waktu banyak. Siapa lo?" Tanya pria dengan tubuh agak berisi itu pada sang wanita.

"Wise, c'mon. your mama udah kenalin I dari bulan lalu. Why you act like you don't know me?" Muka wanita itu di buat seakan sedih atas sikap Wise.

"Oh, jadi lo Willona? Bukannya gue udah contact lo kalo gue ngga tertarik sama lo?" Balasnya setelah berpikir beberapa saat, lalu menghempaskan tangan si gadis yang bergelantung manja di tangannya.

"You do. But just you who's not interested on me. Dan i ga terima itu. I'm pretty, why u don't wanna try with me?" Tanya nya kesal.

"Try what?"

"Try to have a relationship with me of course," jawabnya sambil tersenyum manis.

Wise memijat pangkal kepalanya. Pusing. Willona ini cantik, tentu saja. Mapan, jangan di ragukan. Tapi kenapa harus berisik sekali. Wise tidak suka sesuatu yang terlalu berisik. Kecuali game dan temannya, tentu saja.

"Go away, Lona.  Lo udah tau gue ga suka sama lo, kenapa maksa banget? Urusan gue soal kuliah udah cukup bikin pusing. Dan berhubungan sama lo yang berisik ini? Demi Tuhan mending gue ngehomo sekalian."

Edward menyenggolnya dari belakang. Ini gila, Wise dan seribu cara penolakannya terhadap menjalin hubungan benar benar di luar nalar.

"Alah alesan aja. I tau you ngga homo. Ngapain ngomong ngomong homo segala," wanita itu membantah.

Edward yang tak mau cafe-nya berantakan akhirnya memutuskan memanggil pegawai lain untuk membawa Wilona pergi. Kalau saja dia tau Wilona lebih barbar dari wanita biasanya yang mampir ke cafe, dia bersumpah tak mau memanggilkan Wise untuknya tadi.

"Omongan lo bro, di serempet malaikat kena lo," nyinyir Edward setelah wanita itu keluar.

"Masa bodo lah, cape' gue cok," katanya berbalik. "Lagian lo ngapain nanggepin cewe-cewe kaya gitu sih?" Sambungnya geram.

"Hehe peace bro," dan berakhir lah percakapan mereka. Yang satunya terus tersenyum garing, yang satunya lagi lelah frustasi.

Semangat Wise-kun!

.

.

.

Jangan pelit vote, okey!
See you!

To Getting Married Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang