With

393 42 1
                                    

"Nu???" tidak hanya Ran, Zee yang masih mengunyah buah di tangannya pun ikut terkejut.

"Kamu yang kasih tau dia?" Zee menatap temannya kesal.

"Sumpah demi mama aku yang udah dikubur aku nggak kasih tau kalau kamu di sini."

"Loh, itu om yang di yayasan tadi kan?" Deo, bocah laki-laki yang diikutinya tadi tiba-tiba angkat suara.

"Kamu ke yayasan?" tanya Zee bingung.

"Hia kenapa?" tidak bergetar suaranya, dia hanya bingung, pun tidak menjawab pertanyaan Zee.

Zee menatap Ran sebelum kemudian meminta dia dan Deo untuk keluar meninggalkan ruangan.

"Ini kenapa ya?" Nunew bertanya sekali lagi.

Zee berdehem singkat lalu melambaikan tangannya meminta Nunew untuk duduk di kursi samping tempat tidurnya, "Penyakitku nggak nular, tapi kalau kamu emang takut duduk di sebelah aku, nggak papa sih..."

"No, no...bukan gitu, Hia...Nu cuma kaget," bergegaslah kaki itu berjalan menghampiri seseorang yang dirindukannya. Ditatapnya Zee yang tampak biasa saja, hanya sedikit lebih kurus dari terakhir mereka bertemu.

"Kamu kayak ngeliat hantu."

"Hia memang kayak hantu, pucet."

"Sumpah jujur banget ya??"

"Hia..."

"Bingung ya harus ngomong apa? Masih kaget?"

"Hia sakit apa?"

"Pengen tahu bangetttt atau dikit aja?"

"Jangan becanda donk, Hia..." jantungnya berdegup kencang, seakan tidak mau apa yang sejak tadi bergerilya di otaknya menjadi kenyataan, "Demam aja? Flu? Sakit kepala? Malaria? Tipes? Demam berdarah? Aler-"

"Nu," Zee menyentuh punggung tangan Nunew pelan, "Kamu panik, jangan panik, kamu harus berisik kayak biasanya..."

"Hih!" Nunew memukul bahu Zee gemas, "Eh sorry Hia, sakit ya?"

"Hahahaha," Zee tertawa kencang. Tawa kencang pertamanya sejak terbaring dirumah sakit beberapa hari lalu, "Nu, Hia itu sakit, bukan tusuk gigi yang ditumpuk tumpuk trus runtuh kalau kesenggol. Nggak serapuh itu kali..."

"Ya kan Nu nggak tahu, kali aja dipegang trus sakit, kali aja dipegang trus bolong."

"Itu beri-beri..."

"Ya kan Hia nggak kasih tahu Nu Hia sakit apaaaa~"

"Hia yakin di kepala kamu pasti udah ada nama satu penyakit. Iya apa iya?"

"Enggak kok!"

"Kalau enggak kenapa kamu bisa sampai si-"

"Kanker?" potong Nunew sambil menutup matanya tidak siap mendapat sebuah anggukan persetujuan dari Zee.

"Karna aku sering ke yayasan kanker?"

"Mungkin..." sahutnya sambil mengintip satu mata.

Zee tertawa pelan sebelum kemudian menyerahkan sebuah kartu kecil yang selalu dikantonginya kepada Nunew, "Baca, Nu..."

"Hemodialisis..." ejanya dalam hati, "Cuci darah?" tanya Nunew.

Zee mengangguk, "Gagal ginjal kronis. Stadium empat..."

Nunew tidak paham, "Ada berapa stadium?"

"Lima..."

Nafasnya baru tercekat sekarang saat menyadari seberapa parahnya penyakit yang di derita Zee.

BEFORE THE LAST LILY BLOOMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang