Destiny (21+++)

760 62 35
                                    

Pagi ini Nunew dibuat panik setengah mati oleh Zee. Walau sudah dibangunkan berkali-kali, Zee tetap tidak memberikan respon. Tanpa sempat mandi bahkan mengganti bajunya, Nunew segera mengantar Zee ke rumah sakit terdekat. Untung saja sepi sehingga kekasihnya itu bisa mendapatkan penanganan segera. Seluruh isi kepalanya berdengung seolah saling berbicara satu sama lain, Nunew panik. Saking paniknya dia tidak tahu bahwa menghubungi Ran merupakan suatu pilihan juga. Ditanggungnya semua itu sendiri dengan tangan dan kaki yang bergetar hebat sampai-sampai seorang perawat harus membawakan secangkir teh manis hangat untuknya.

"Dok?" Nunew berlari menghampiri saat dokter yang menangani Zee juga terlihat mencari keberadaannya.

"Pasien kekurangan gula, rendah sekali sehingga tubuhnya tidak merespon saat dibutuhkan. Sudah saya suntikkan glukagon, dia akan baik-baik saja setelah ini."

"Apakah informasi bahwa pasien adalah penderita gagal ginjal kronik stadium empat bisa membantu, dok?"

"Apakah dia mengkonsumsi cukup nasi beberapa hari ini? Biasanya penderita gagal ginjal kronik, terlebih stadium menjelang akhir akan kehilangan nafsu makannya.

"Ah..." Nunew menepuk dahinya akhirnya paham, "Iya, belakangan ini gula yang masuk tidak banyak."

"It's okay, pasien akan baik-baik saja. Tapi selalu pastikan dia mendapat kadar gula yang cukup ya, jika tidak dari nasi, mungkin bisa dari makan manis lainnya. Kebetulan pasien sudah sadar, mungkin setelah beberapa saat sudah bisa pulang."

"Terima kasih dok," ucap Nunew tulus.

Setelah kejadian hari itu, mereka memutuskan untuk menetap lebih lama di Bengkulu hingga jadwal cuci darah Zee selanjutnya, besok siang. Siang yang harusnya menjadi awal perjalan mereka menuju ke kota berikutnya.

"Nu banyak melamun seharian ini..." tegur Zee pada Nunew yang sedang mencuci piring.

"Nu kepikiran mau sewa apartemen buat semalem aja."

"Buat apa?"

"Nu pengen masak sekali-kali buat Hia."

"Nu..." diputarnya tubuh itu menghadapnya, "Hia bikin kamu khawatir ya tadi?? Maaf ya..."

Tiba-tiba saja air mata yang ditahannya sejak tadi mengalir tanpa isakan, "Oh, God..." ditariknya pria mungil itu kedalam pelukan. Kenyamanan lewat usapan berusaha Zee berikan sebanyak mungkin untuk mengurangi rasa bersalahnya.

"Nu takut setengah mati, tadi...Nu pikir nggak bakal liat Hia lagi, Nu pikir habis ini Nu bakalan pulang Jakarta sendirian, Nu takut..." isaknya pelan sambil meremas erat jaket yang dikenakan Zee.

"I'm sorry, Nu. Sorry..."

Nunew menggeleng dalam pelukan itu, "Not your fault, Hia...Nu yang salah, Nu yang nggak perhatian sama Hia, Nu nggak mikir kalau Hia butuh gula banyak. Harusnya Nu lebih pinter, harusnya sebelum berangkat Nu belajar banyak dulu, Nu keselll!"

"Hei..." Zee mengangkat wajah penuh air mata itu untuk ditatapnya langsung, "Can we not having this kind of conversation? Can we switch to another topic? Let's only make happy memories, shall we?"

"Nu juga mau, Hia...tapi seharian ini muka Hia yang pucet tadi selalu kebayang-bayang..." sahutnya lirih berusaha menahan isakan yang mendesak keluar.

"Mending kamu bayangin muka Hia yang lain, how?" Zee tersenyum berusaha meleburkan semua emosi negatif Nunew, "Misalnya muka Hia waktu, ekhm..." Zee terbatuk kecil lalu menggigit bibirnya seolah sedang menahan gairah.

"HIA!!! Nggak lucu tau!!" Nunew berteriak kesal tapi mau tidak mau akhirnya tersenyum juga.

"Udah lama lho kita enggak..."

BEFORE THE LAST LILY BLOOMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang