"Nggak apa-apa ya, Nduk." Lagi, suara parau milik sang ibu menguatkan patahan hati yang menimpa anaknya.
Ini sudah yang kesekian kalinya, pria yang awalnya datang meminang gadis berusia tiga puluh tiga tahun itu membatalkan niatnya.
Sudah berbagai alasan Bunga dengar, katanya, ingin melanjutkan pendidikan dahulu, atau ada pula yang mendadak mencari pekerjaan lebih mapan dan kalimat-kalimat lainnya supaya lebih enak didengar oleh wanita itu.
Bunga hanya bisa tersenyum tipis, lalu tangannya meraba sisi wajahnya yang berbeda dengan kebanyakan orang. Lalu tak lama kemudian terdengar helaan napas.
Gadis itu cukup tahu dan menyadari bahwa bukan itu alasan sebenarnya. Pasti karena luka yang ada dipipinya mereka yang datang akhirnya memilih kembali pulang. Bukan untuk mencari pekerjaan supaya bisa lebih mapan, melainkan mencari perempuan yang lebih mendekati kesempurnaan. Di mana tak ada cacat cela di dalamnya, tidak seperti dirinya.
Terkadang Bunga merasa iri, mengapa harus dirinya yang bernasib begini? Di usia yang tak lagi muda, semakin tak ada yang menginginkan Bunga untuk menjadikannya seorang istri.
.
"Bu, apa gara-gara luka ini mereka berundur pergi?" tanya Bunga akhirnya.Sang ibu tersentak akan pertanyaan barusan. Sejauh ini, putrinya tak pernah membuka suara ketika mendengar keputusan dari pihak laki-laki yang memilih membatalkan rencana ta'arufnya.
"Jangan bilang seperti itu, Nduk," ucap ibu sembari mengelus punggung sang putri.
"Memang faktanya begitu, Bu. Setiap kali ada yang datang, keesokan harinya mereka malah pergi begitu saja. Memberikan alasan-alasan aneh penuh kebohongan. Padahal jujur saja, apa salahnya. Toh Bunga juga sadar kok, Bu. Kalau wajah Bunga berbeda dari para perempuan kebanyakan," papar Bunga meluapkan kekesalan hati.
"Nduk, cah ayu, kamu sudah dewasa, sudah pernah mengaji di pondok juga, kan. Kamu pun setidaknya pasti paham kan ilmu-ilmu agama yang sudah Gus dan Nyai-mu ajarkan. Kalau yang namanya rejeki, jodoh dan maut itu sudah ditentukan Allah jauh sebelum kamu lahir ke dunia. Anggap saja, mereka itu bukan jodoh kamu. Do'akan yang terbaik supaya mereka yang pernah datang dengan niat baik, bisa mendapatkan pendamping yang baik juga. Kamu tidak perlu berkecil hati begini." Tutur ibu menasehati.
Bunga memejamkan mata, ia lantas mengusap dadanya, hingga bibirnya mengucap kalimat istighfar secara berulang-ulang.
.
Bunga Alisha Kirana, anak sulung dari pasangan Bu Dewi dan Pak Murodh. Gadis yang usianya sudah menginjak ke angka tiga puluhan itu hanya memiliki aktifitas sebagai pengajar. Bukan guru, yang mengajar secara formal di gedung-gedung sekolahan. Melainkan hanya guru les anak-anak kecil.Setiap sore, sekitar pukul tiga di rumah kedua orang tua Bunga. Sering kali ada sekitar enam sampai tujuh anak dari usia lima sampai sepuluh tahun datang untuk berkumpul. Dan selama kurang lebih sembilan puluh menit Bunga begitu apik dan sabar memberi materi, juga memberi bimbingan dengan begitu sabar.
Meski kadang ada tetangga yang menawarkan pekerjaan untuk Bunga. Entah itu untuk menjadi penjaga toko, kasir dan tukang masak di warteg yang ada di dekat rumah. Sayangnya, wanita itu sering kali menolak dengan alasan malu karena memiliki noda bekas luka bakar di sekitar wajahnya.
Bunga sendiri, tidak bisa mengingat luka itu disebabkan oleh kebakaran apa? Ibunya tak pernah mau menceritakan hal buruk itu padanya. Kata ibu, mau seperti apa pun rupa Bunga, ia tetap yang tercantik dimata kedua orang tuanya.
.
Petang tadi setelah anak-anak bubar, Bu Warti datang tergesa-gesa meminta bicara pada Bunga. Dari gelagatnya, Bu Warti nampak begitu serius dan penuh pengharapan sekali."Mau ya, Bunga."
"Tapi, Bu."
"Ayolah, bantu ibu."
"Kalau anaknya dibawa ke sini sih, Bunga oke-oke aja, cuma kalau Bunga harus sengaja datang ke rumah orang. Bunga ... takut, Bu."
"Takut apa?"
"Wajah Bunga, kan ... " Bunga menjeda kalimat.
Bu Warti mengeri arah pembicaraan Bunga. Dengan senyum dan sorot mata penuh keteduhan. Bu Warti kembali memujuk Bunga yang bersikukuh menolak tawaran pekerjaan.
"Kamu bisa pakai cadar, kan? Lagi pun ini hanya jaga anak umur empat tahun. Bapaknya baru pindah, dia kalau ninggalin anaknya sendiri ya nggak mungkin, kan. Kasihan!" Papar Bu Warti.
Bunga tak langsung menjawab, ia malah terlihat kebingungan. Diterima, dia merasa waswas, kalau ditolak, Bunga mendadak merasa bersalah.
"Nanti Bunga kabari lagi, deh Bu," balas wanita itu akhirnya.
Bu Warti tersenyum kembali, sedikit lega rasanya karena setidaknya Bunga tak lagi keras kepala.
"Yowes, kalau gitu ibu pamit dulu. Jangan lupa, ibu tunggu kabar baik secepatnya ya, Bunga." Bu Warti kembali berpesan sebelum tungkai kakinya membawa siluet badannya sendiri, menjauh dari tangkapan mata Bunga.
.
Bersambung ....Noted: Cerita ini ada dan diikutsertakan dalam sebuah event di salah satu grup facebook Lovrinz & Friends. Saya mohon support dan dukungannya untuk cerita mini ini yang hanya berkisar 20rb kata aja.
Terima kasih🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga untuk Bunga
RomanceBunga Alisha Kirana tak pernah mengira dalam hidupnya, jika jodoh yang dinanti ternyata akan datang sesulit ini. Sudah empat kali gagal menjalani ta'aruf bersama para pria yang datang silih berganti. Ia cukup sadar jika laki-laki dengan niat mulia i...