Sudah satu minggu, Adam, tinggal bersama ibu kandungnya. Dan selama itu juga, Bunga meliburkan diri dari mengasuh anak balita itu.
Menurut Andriawan sendiri, mantan istrinya itu mengajak Adam liburan ke luar kota. Sekaligus memperkenalkan calon ayah baru untuk putranya.
Sebagai orang tua, meski sudah berpisah, setidaknya Andriawan ingin Adam tetap merasakan kasih sayang utuh. Tidak menderita karena keadaan yang sukar untuk dijelaskan.
.
Angin malam ini begitu lain, terasa sangat dingin menyentuh permukaan kulit. Sehabis shalat isya, Bunga duduk sebentar di balkon kecil yang ada di luar kamarnya.Matanya menewarang menatap langit. Hamparan bintang dan potongan bulan seakan ersenyum padanya membuat Bunga turut menyunggingkan dua sudut bibirnya yang terbebas dari kain penutup wajah.
"Besok akan ada lagi yang datang ke rumah. Aku tidak berharap banyak, sudah lelah rasanya, jika hasilnya tetap sama saja." Bunga nampak bermonolog sendiri.
Atau mungkin wanita itu sedang menceritakan pada embusan angin malam yang mengabur bersama udara. Tentang nasib diri yang ditinggal tanpa penjelasan dari para laki-laki yang sempat datang dengan niat meminang.
Saking seringnya mendapat perlakuan demikian, Bunga sepertinya tak lagi harus mempersiapkan hati tentang kabar yang bisa saja sama pada akhir pertemuan nanti. Ia sudah berbesar hati akan kemungkinan terburuk yang terjadi.
.
Sedang ia fokus menatap langit, tanpa ia sadari, lagi-lagi ada sang ibu tengah berdiri di antara pintu yang sedikit terbuka."Bunga." Ibu memanggil.
Perempuan itu menoleh ke arah ibunya yang kini melangkah masuk ke dalam kamar.
"Eh, Bu," sahutnya.
"Ngapain kamu di situ?" tanya Ibu.
"Hanya mencari angin," jawabnya singkat.
Ibu tersenyum kecil, lalu turut mendaratkan bantalan pinggulnya ke atas kursi kayu tepat di sebelah Bunga.
"Tadi Bu Esih menelepon ibu," ucap wanita paruh baya itu. "Beliau menitip pesan untuk disampaikan pada kamu, besok ingin dibawakan apa?" sambungnya.
Bunga nampak langsung mengernyitkan kening. Bingung akan apa yang baru saja ibunya katakan.
"Maksudnya, Bu?" Bunga butuh penjelasan.
"Rombongan Bu Esih pingin tahu, kamu besok mau oleh-oleh apa?"
"Oleh-oleh!" Bunga mengulang kata.
Diam sejenak, seperti sedang berpikir. Hingga dimenit berikutnya, ia malah bergidik disertai gelengan.
"Ketemu aja belum," lanjutnya.
"Ya, ibu mengerti. Lagi pula ibu hanya menyampaikan pesan dari Bu Esih, kan." Ibu berujar tenang.
Ia cukup tahu, bahwa putrinya bukanlah gadis yang suka menerima tawaran dari orang tak dikenalnya.
"Nerima Bunga aja belum tentu," lirihnya kemudian.
"Hush! Ngomong apa, kamu?" tegur ibu.
"Bunga nggak mau menaruh harapan lagi kali ini, Bu. Hasilnya akan tetap sama saja, pria yang datang akan segera berlari pergi." Bibirnya mengeluhkan hal serupa.
Ibu menggeleng pelan, tangannya lalu mengusap bahu putrinya penuh kasih.
"Bunga, tidak semua laki-laki seperti itu. Allah pasti sudah mentakdirkan seseorang untuk kamu. Jangan sekali-kali berputus asa seperti ini," pesannya.
Bunga menunduk, ia meraba pipinya yang terluka dan meninggalkan jejak di sana. Di mana cantik fisiknya seorang wanita memudar atau bahkan hilang dari dirinya. Membuat Bunga tak lagi merasa percaya diri.
***
Tak terasa hari kembali berganti. Meski sudah kerap menghadapi situasi ini. Tetap saja, pada akhirnya Bunga benar-benar pasrah saat rombongan yang dimaksud semalam itu sudah datang ke rumah. Tepat seperti jam yang sudah dijanjikan oleh Bu Esih.
Di sana, di ruangan yang tak terlalu besar. Ada pasangan suami istri, usianya terlihat tak jauh dari ayah dan ibu Bunga. Anak perempuan sekitar umur dua belas tahun, Bu Esih, dan laki-laki berusia muda duduk di sofa.
Mengobrol atau mengutarakan niat datang ke sini.
Bunga hanya duduk menunduk di seberang sofa, di antara kursi kayu bersisian bersama ibunya. Dengan raut wajah dan pikiran yang entah, Bunga sesekali menghela napas.
Bersiap menerima hal serupa yang mengikis harapannya untuk bisa melepas masa lajang.
.
"Bunga." Ibu menepuk halus pundak putrinya yang tenggelam dalam lamunan.Membuat Bunga menoleh cepat pada ibunya.
"Buka cadar kamu, Nak," pinta Ibu.
Bunga tidak langsung menuruti apa yang dikatakan ibu. Ia merasa begitu berat melepas potongan kain yang setia menutupi sesuatu di wajahnya itu.
Kendati begitu, tetap, mau tidak mau, tangan Bunga mulai menarik pelan cadar itu sehingga wajahnya benar-benar terlihat.
Bunga sedikit menaikkan kepala, untuk ia tunjukkan segaris rupa miliknya pada sosok laki-laki yang nampak terkejut tatkala mendapati wajahnya.
Merasa percuma, dengan segera Bunga langsung menutupi wajah itu lagi.
"Bunga permisi dulu, Bu," pamitnya kemudian.
Ia merasa itu cukup, tak perlu berlama-lama jika akhirnya akan mengundang patahan luka.
Walau sudah menegarkan hati dan tak berharap, sebagai manusia jauh dalam benak, Bunga tetap menitipkan asa itu.
.
Tamu yang tadi datang, tanpa diketahui Bunga, mereka sudah pun pulang. Bunga merasa lega, ia tak lagi berdiam diri di kamar. Dengan langkah tenang dan raut muka tak lagi semenyedihkan tadi.Bahkan ada alunan merdu bersenandung dari mulutnya saat ia membelokkan kaki ke arah dapur. Perutnya merasakan lapar. Namun, bukan nasi yang ia cari, melainkan mie rebus campur cabai rawit menjadi pilihan.
Sedang asyik memasak, ayahnya datang dari pintu belakang.
"Loh, Ayah dari mana?"
"Habis dari mushola."
"Oh!"
"Baru makan kamu?"
"Iya, Yah."
"Hmmm, omong-omong, apa ibu sudah bilang ke kamu?"
"Bilang apa, Yah?"
"Nak Satria, yang datang tadi ke sini, dia ingin serius meminang kamu."
Bak mendapat jeratan listrik bervolt-volt. Bunga yang kebetulan menuangkan mie dari panci ke mangkuk, air panas dari wadah itu secara refleks mengenai kakinya.
Wanita itu mengaduh beberapa saat. Tangannya langsung menyimpan panci tersebut. Dan langsung menayangkan wajah tak percaya, seakan rasa pedih di kaki itu tak terasa sama sekali.
"Apa, Yah?"
"Kamu itu hati-hati, Bunga." Ayah mendekati Bunga, melihat kaki putrinya yang tersiram air panas. Disertai gelengan, ada sedikit bekas kemerahan di sana.
.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga untuk Bunga
RomanceBunga Alisha Kirana tak pernah mengira dalam hidupnya, jika jodoh yang dinanti ternyata akan datang sesulit ini. Sudah empat kali gagal menjalani ta'aruf bersama para pria yang datang silih berganti. Ia cukup sadar jika laki-laki dengan niat mulia i...