Prolog

408 158 124
                                    

Hello my honey bunny sweety
(Apa masih kurang manis sapaan ku?)

Selamat datang dan selamat menikmati karya pertama saya. Tanpa jejak keburukan/kebencian satu pun, dan jangan macam-macam mencuri cerita ini.

Tinggalkan kesan terbaikmu disini 🌹
Jangan lupakan tombol bintangnya

.
.
.

Toskano, Italia

"Ya, memang seharusnya begitu. Aku tak heran melihat gadis-gadis bahkan wanita-wanita di luaran sana bertindak tanpa melihat kodrat mutlaknya. Itu didalangi oleh doktrin patriarki yang masih kental bahkan semakin meluas."

Aku tegang, berusaha mentutup-tutupi binar mata dari wanita di depanku. Diona Baldhetiva Jazima, klien tetap di redaksi penerbitanku. Rasanya memalukan sekali jika aku berbinar-binar di depan wajahnya, orang akan berpikir jika aku les-.. Ya lupakan.

"Karena itu, banyak kaum wanita berpikir bahwa Raja yang sesungguhnya adalah lelaki, sedangkan dirinya sendiri tak lebih dari pelayan yang harus mengejar dan mengejar. Sekalipun telah menikah akan tetap rela menjadi pelayan wajib sempurna tanpa imbalan setimpal. Benar kataku?" Diona menatap tegas ke mataku.

Benar, seratus persen benar katamu, Diona! Aku penggemarmu!

"Benar sekali, tak heran pria sekarang selalu memerintah istrinya siang-malam dan tak peduli kondisi. Aku setuju denganmu, apa ini alasan menerbitkan bukumu dengan skala luas?" Tanyaku tanpa melihatnya.

Aku membuka lockscreen iPad dan membaca ulang e-mail permintaan Diona teliti.

"Ya, tepat sasaran. Secara garis besar novel kali ini memang mengangkat topik pasal keadilan bagi wanita. Konfliknya pun terbilang ringan, dan berakhiran bahagia. Nuansa cintanya tak begitu ku bahas, aku hanya memfokuskan pembaca ke poin utamanya. Wanita bukan pelayan, pria pun bukan Raja, semuanya setara di hadapan Allah Azza Wa Jalla."Katanya kemudian.

Tak salah aku menerima Diona sebagai klien sekaligus teman. Senang menemukan teman yang berpola pikir sama, karena aku sendiri tak dapat mengutarakan pikiran-pikiranku. Argumenku dihalangi oleh kemungkinan respon negatif orang luas; yang bahkan belum terjadi, dan Diona membantu menjawab pola pikirku.

"Kuharap permintaanku tak memberatkanmu Signorine Marzia." Lanjutnya dengan senyum terluas. Aku menanggapinya dengan cengiran bebas.

"Kau memang sering memberatkanku Signorine Jazima." Sahutku blak-blakan, lantas kami pun tergelak bersama.

Memang permintaannya tak masuk akal, sering ia menerbitkan buku novelnya hambur-hamburan, tak takut sedikit pun bila mendapat kerugian. Sedangkan aku sendiri was-was memantau pembelian novel karyanya agar tetap stabil pun dicintai oleh masyarakat luas. Orang kaya dengan maunya memang tak pernah salah.

Terlepas dari itu semua, aku tetap mengasihinya layaknya teman serta saudari. Sulit menemukan wanita baik di tengah zaman yang semakin tak tau aturan. Diona bukan macam wanita yang hanya tau menangisi pria, ia paham dan mengerti bila diri serta air matanya bernilai. Dari sekian banyak wanita-wanita yang gencar mengulik ilmu standar keistimewaan wanita, Diona hanya perlu mengamalkan apa yang ada di dalam agamanya. Agama yang sama denganku.

Islam. Tak perlu bersusah-susah mencari tata cara agar anggun ataupun elegan, agar terlihat mahal ataupun berkualitas, agar tak dipermalukan ataupun memalukan. Islam bersama aturan-aturan pun batas-batasannya telah memberikan perlakuan selayaknya Ratu bagi kaum wanita.  Tak ada guna menanti perlakuan Ratu dari orang lain, terkhususnya dari pria, Allah telah meratukan wanita dengan amat baik nan indah.

SENZA LIMITITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang