Narai menyukai acara kota, khususnya ketika waktu panen tiba dan ada sebuah perayaan di satu malam. Lora tentu ikut serta dalam aktivitas persiapannya, begitu pun Narai senang hati membantu.
Di momen seperti ini, Narai akan menarik tangan Zale, meminta tolong untuk mengangkat sesuatu. Zale tadinya sungkan berpartisipasi dalam acara persiapan, namun Narai dan Lora yang sedikit jahil malah menyodorkannya pada sekerumunan orang. Berkoar bahwa mereka adalah teman.
Sambutan Narai dan Lora perlahan menggerakan Zale dalam berbagai aktivitas kota. Begitu pula penduduk kota semakin terbuka kepadanya, hingga melupakan rasa penasaran mereka mengenai Zale sebelum datang ke kota itu.
“Narai.”
Saat itu hanya ada Narai dan Zale, duduk bersama sambil memandangi bintang-bintang pada langit malam. Mereka sengaja menjauh dari acara makan bersama sebentar, meninggalkan Lora mengambil alih.
“Rumah itu apa?”
Narai sejenak kaget sebab itu pertama kalinya Zale bicara sesuatu yang emosional. Barangkali karena mereka tengah melihat bintang Polaris yang membantu arah pulang bagi pelaut di jaman dulu.
“Rumah tentu saja tempat dimana ada seseorang menunggumu.”
Zale kelihatan merenenung dan membalas, “sepertinya aku tidak memilikinya.”
Perasaan sedihnya tersampaikan secara jelas pada Narai. Gadis itu tiba-tiba terdorong untuk meyakinkan pada Zale bahwa ia tidak boleh bilang begitu, ia bangkit duduk.
“Kamu bilang apa. Kamu punya di sini,” ucap Narai semangat. “Kalau masih tidak percaya. Aku yang bakal pertama bilang; aku selalu menunggumu bila nanti kamu pergi.”
Mata Zale melebar cepat, ia terkejut sampai tidak mampu mengucapkan kata-kata.
“Ingat, ya. Di sini, aku akan menantikan kedatanganmu, jadi kamu bisa sebut kota ini rumahmu sekarang.”
Ucapan Narai tidak disadari dirinya sendiri mampu menggerakan hati Zale sampai ia sendiri melupakan petualangan yang telah direncanakannya. Pemuda itu sangat bahagia mendengar perkataan hangat seseorang kepadanya; lantaran ia jarang mendengarnya. Tetapi sekarang ini ia cukup tersenyum tipis, lalu bangkit.
“Hey. Kenapa tiba-tiba pergi.” Narai menyusulnya.
×
Banyak yang mengatakan ada hubungan spesial antara Narai dan Zale, apalagi melihat perlakuan Zale yang sangat hangat pada gadis itu. Meskipun demikian, kenyataannya Narai terlalu sibuk dengan rasa kagumnya pada orang lain.
Pemuda itu adalah seorang kakak kelas di sekolah menengah, seumuran dengan Zale. Pemuda ramah yang menyenangkan, bisa jadi rupanya tidak terlalu tampan namun ada kharismanya yang membuat banyak perempuan menyukainya. Narai dekat dengannya setiap ada acara kota. Mereka sama-sama mudah mendekati orang lain, pantas keduanya begitu dekat meski tidak sampai menjadi sahabat seperti kepada Lora.
“Dia ramah sekali. Aku pernah dibantu.”
Saat itu Zale, Narai dan Lora tengah duduk sehabis membawa kursi lipat untuk acara persiapan kedatangan pejabat ke daerah mereka. Narai memandangi pemuda itu lama sekali, sampai Zale mencoba memulai pembicaraan mengenainya.
“Sedari dulu memang begitu. Semua orang seakan temannya,” balas Lora asal-asalan lantaran ia kepanasan.
“Sewaktu masih sekolah, ia ikut banyak kegiatan relawan dan kepanitiaan. Bahkan ia mampu mengurangi kenakalan anak sekolah di sekolahnya ketika menjadi anggota penertiban. Cerdas dan rendah hati, benar-benar mampu menarik banyak hati. Ah. orang-orang juga bilang dia bakal jadi pemimpin mengingat ayahnya bekerja di pemerintahan. Pasti bakal hebat,” cerocos Narai semangat.
Lora sudah biasa mendengar ocehan Narai mengenainya, jadi ia hanya mengangguk-angguk saja. Berbeda dengan Zale, ia semakin yakin kekaguman Narai mengarah pada rasa suka.
“Wah. Hebat sekali.”
Zale menjawab sewajar mungkin, dan dibalas senyum lebar Narai yang seolah bangga atas pencapaian pemuda itu.
“Narai,” panggil pemuda itu setelah selesai bicara dengan anggota lain.
“Sudah harus gladi. Semoga aku tidak keselip lidah, ya.”
×××
Melihat Zale berenang santai dari ujung ke ujung menyadarkan Narai mengenai percakapan mereka sebelumnya. Ia merasa bodoh baru merasakan perasaan Zale kepadanya. Di saat yang sama, ia juga takut itu sebuah salah paham.
Bagaimana bisa aku memikirkannya ketika patah hati begini. Aku benar-benar tidak pantas,
Narai tidak paham mengapa jadi memikirkan pandangan pemuda itu kepadanya saat ini. Dalam benaknya itu tidak pantas, seakan ia memerlukan Zale sebagai pelarian. Ia menutup wajah sambil membuat suara-suara frustrasi.
Zale melihat kegundahannya, segera berenang menepi. Bersebelahan dengan Narai yang sibuk menata perasaannya.
“Ada apa? Kamu sakit kepala?” tanyanya cepat.
Narai menggeleng, tidak ada balasan dalam kata-kata.
“Apa kamu masih memikirkan perantauanmu.” Zale mendudukan diri. “Kupikir kamu tidak perlu khawatir sendirian. Karena kamu selalu memiliki orang yang menunggumu.”
Narai menurunkan tangan, menengok padanya.
“Termasuk kamu?”
“Tentu,” jawab Zale yakin.
“Mengapa?”
Zale berkedip bingung, sedangkan Narai tidak kelihatan hendak mengubah topik.
“Kamu pernah bilang kalau aku boleh menyebut kota ini sebagai rumahku karena kamu akan selalu menantikan,” tuturnya. “Aku melakukannya juga padamu.”
Narai rupanya masih menantang mata pemuda itu, meskipun ia diam, tatapannya meminta untuk bicara terus terang.
Lantaran ditatap serius, Zale terdorong.
“Aku suka padamu, Narai.”
KAMU SEDANG MEMBACA
He's A Merman
Short StoryNarai hidup di kota kecil pesisir laut. Memiliki kehidupan damai yang begitu menyenangkan, sampai ia merasakan sakit hati. Desakan perasaan membuatnya berniat merantau, tapi di jeda waktu memikirkan dan mempersiapkan, ia malah menemukan rahasia sa...