Ketika Ia Memutuskan

26 3 0
                                    

Zale tidak pernah menanggapi sinyal perempuan lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zale tidak pernah menanggapi sinyal perempuan lain. Ia selalu paham tentang ajakan, pertanyaan bahkan rayuan kepadanya dari para gadis, namun selalu ditolaknya halus atau sampai ia perlu menjauh.

Zale selalu mendatangi Narai secepat mungkin bila gadis itu tengah membutuhkannya. Adapun beberapa kali Narai dikejutkan atas perhatiannya, misal kebiasaannya melupakan ikat rambut yang nanti helaian rambutnya menyusahkan ketika tengah menyantap makanan dan akhirnya Zale sering membawa-bawa ikat rambut untuknya.

Zale selalu duduk di sebelahnya saat ia bercerita mengenai segala hal yang telah berlalu di suatu hari.

Narai terlalu larut dalam euforianya seorang diri, tanpa ingin memandang sekitar khususnya kepada pemuda yang selalu bersedia menjadi pendengarnya. Ia lenyap dalam angannya akan suatu perkiraan, dan meneropong bintang terjauh.

Dalam dunianya, ada sebuah bintang penunjuk adapula bintang penghias langitnya sampai malamnya semarak. Narai menjadi kesal terhadap dirinya sendiri yang melupakan para bintang penunjuk itu ketika kehilangan kerlip satu bintang.

Narai mengalihkan muka, sengaja menghindari mata Zale.

“Aku paham ini bukan waktu yang tepat,” ucap pemuda itu. “Masih perlu menyembuhkan...”

“Kamu tahu soal sakit hatiku?”

“Bukan hal yang sulit buat mengetahuinya.”

Narai enggan bertemu pandang, masih setia menyembunyikan ekspresinya.

“Kenapa kamu repot-repot menyukai orang yang sibuk dengan perasaannya sendiri?” katanya pelan, samar suaranya bergetar.

Karena Zale tidak menjawab, Narai malah menjadi lanjut dalam narasinya.

“Bodohnya aku. Melupakan segala perhatian itu, tidak cukup memberikan apapun kepadamu.”

Zale masuk ke air, berenang ke depan Narai. Ia mengambang di sana sambil memanggil Narai yang seketika diturutinya.

“Tidak sadar, ya.”

   Zale bergerak mundur, menyelam ke air lalu sebentar melompat di atas permukaan layaknya lumba-lumba. Itu membuat Narai membuka mulut takjub dan sedikit terkikik terkena cipratan air. Lantas Ia kembali ke posisi semula.

   “Sikapmu itu sudah lebih dari cukup untukku,” katanya. “Sedari awal kamu terbuka mengajak bicara, membagi pengalaman bersama dan melibatkanku ke dalam permasalahan -yang lucunya-menyenangkan.”

   Sebentar Narai malah terkikik.

   “Tetapi dari situ aku memahami kehangatan hidup bersama. Aku jadi tidak ingin kehilangan setiap momen. Lalu kamu justru menambah lebih banyak momen itu untuk kutumpuk. Aku sangat menghargainya”

   “Lalu, mengapa tatapanmu selalu merindukan lautan?”

   Pertanyaan spontan Narai dikembalikan dengan senyum tipis Zale.

   “Karena terkadang aku selalu bimbang yang mana diriku. Aku sebagai merman, atau sebagai manusia gadungan.”

   Zale kembali berenang, ia mendongak ke langit.

   “Apakah suatu hari nanti aku akan kehilangan semuanya setelah tanpa sengaja aku membocorkan identitasku. Atau aku tidak sanggup dengan segala topeng yang kukenakan. Yang mana sebenarnya aku. Apakah aku berhak dianggap manusia padahal bukan, apakah kalian menerimaku sebab tidak tahu tentangku,"

   "Pikiran-pikiran itu berlarut ke dalam segala skenario yang tidak jelas bakal bagaimana akhirnya. Rasa inginku berada di sini berkebalikan dengan naluriku yang seharusnya di lautan,” katanya penjang.

   Angin di luar menggesek permukaan langit-langit, suara gemeresak atap melanjutkan pengungkapan Zale. Ketika mereka telah berlalu, pemuda itu mengalihkan pandang pada Narai.

   “Orang yang kucintai menerima wujudku ini, dan itu telah memberikan kepastian. Aku merasa sangat bersyukur.”

   Narai termenung, kemudian pertanyaan melintas begitu saja meluncur dari lidahnya.

   “Lagu yang waktu itu... perasaanmu padaku?”

   Lagu yang dinyanyikan pemuda itu di panggung. Lantunan melodi yang didengarnya di sini pada malam pengungkapan identitasnya. Narai menemukan benang merah emosi dalam nada-nada yang ditekankannya.

   Zale mengangguk sambil tersipu. Narai menjadi berani dan meraih ujung kepalanya, mengusap gemas.

   “Terima kasih.” Narai kembali tersenyum. “Tapi tidak adil buatmu bila menungguku membalasnya.”

   Pemuda itu meraih pergelangan tangannya, menatap kedua matanya tegas.

   “Perasaanku tetap milikku, aku yang memutuskan, dan perasaanmu tetap milikmu.”

   “Apa kamu akan terus di sini. Seperti katamu?”

   “Sudah kutentukan.”

   Narai menunduk sebentar, sebelum berkata lantang.

   “Kalau begitu aku pun berhak tetap di sini, dan ingin lebih mengenalmu.” Ia ganti menggenggam tangan pemuda di depannya. “Mungkin terkesan bimbang atau malah menjadikanmu pelarian. Tetapi, aku sungguh-sungguh kali ini, aku tidak ingin jadi pengecut yang lari dari patah hati. Dan kamu sudah menunjukan semua hal yang kulupakan belakangan ini; Aku sangat berterima kasih.”

Agak lama keduanya saling tatap, sampai seketika tawa mereka pecah bersamaan.

Narai mengalami sakit hati, namun hal itu menggiringnya pada peristiwa yang lebih bermakna. Ia jadi semakin menyayangi semua orang di sekitarnya, dan sekarang bukan waktu yang tepat meninggalkan mereka demi perasaannya seorang.

 Ia jadi semakin menyayangi semua orang di sekitarnya, dan sekarang bukan waktu yang tepat meninggalkan mereka demi perasaannya seorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
He's A MermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang