Ketika Ia Melihat Laut

26 2 0
                                    

Setahun sebelum ini, Zale tiba di kotanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setahun sebelum ini, Zale tiba di kotanya. Pemuda tinggi yang menawan, tetapi karena itu pula banyak orang sungkan mengajaknya bicara. Apalagi pemuda itu sering bicara dengan aksen yang sulit diiikuti orang sekitar.

Narai pernah berkomentar mengenai aura yang berbeda dari Zale.

“Kamu sedikit berbeda, tapi bukan karena pendatang. Aku sulit menjelaskan. Singkatnya ada sesuatu yang lain darimu, tapi itu justru menarik.”

Lucunya Narai bilang begitu langsung pada Zale. Setelahnya mereka menjadi teman, yang berangsur semakin dekat.

Dari segala hal, Narai menyadari kejanggalan Zale setiap mereka berada di pantai. Tatapannya yang mengarah ke kejauhan laut, seakan mendambakan tenggelam di dalamnya. Tidak jarang ia melamun lama hingga perlu disadarkan.

Narai lalu mengerti arti tatapannya, karena itu merupakan rumahnya, dunia yang dikenalnya lama. Oleh sebab itu keesokan sorenya Narai mengajaknya ke pantai terdekat.

“Mengapa mengajakku kemari?” tanya Zale setibanya dirinya.

“Karena aku sudah tahu identitasmu, tidak apa kalau kamu ingin berenang. Aku akan menjaga di sini kalau kamu khawatir. Lagipun tempat ini sepi.”

Narai tersenyum lebar sembari mengatakannya.

“Kamu bisa menyimpulkan?”

“Yah... ada banyak gerak-gerik kecilmu yang membuatku berpikir demikian.” Narai berdiri. “Apakah salah?”

Kontan Zale ikut bangkit seraya menggeleng cepat.

“Bukan. Kamu benar,” ucapnya. “Terima kasih ya untuk perhatiannya.”

Lalu keduanya malah saling pandang, seolah mereka baru kenal, ada kecanggungan muncul dari percakapan serta gestur. Narai kembali buka suara,

“Rasanya mirip air yang dimasukkan ke dalam kulkas lagi. Kaku. Seperti baru mengenalmu.”

Tawa kecil Zale membarengi debur ombak yang tiba ke tepi pasir, beresonansi halus.

“Kuharap kamu bakal terbiasa, ya. Sebab kamu salah satu alasanku tetap ingin berada di kota ini.”

Zale beralih, menapaki pasir menuju laut. Ia melirik ke belakang, sejenak Narai tidak tahu harus apa sampai ia mulai membuka kemejanya.

“Astaga! Setidaknya katakan sesuatu,” seru Narai kesal.

Pemuda itu tertawa lebih keras kali ini. Kemudian sunyi agak lama. Narai berbalik memastikan dan hanya melihat pakaian Zale yang terlipat di batu. Buru-buru ia ikut menuju ujung daratan.

“Oy. Zale.”

Zale muncul agak jauh dari tempat Narai, tubuhnya telah berubah seperti saat ia di kolam kemarin malam. Bahkan kali ini setiap detailnya terlihat jelas dengan sinar matahari sore yang lembut.

Pemuda itu tersenyum lepas selagi berenang menepi ke arah Narai.

“Perkiraanmu benar. Aku sangat merindukan berenang di laut,” katanya seraya menepi.

“Kota ini dekat dengan laut, mengapa memilih berenang di kolam renang ayah?”

Zale ganti tersipu, ia menggaruk kepalanya. “Sebenarnya aku menghindari publikasi. Kamu pasti sudah dengar ada gosip yang beredar mengenai makhluk misterius di pantai.”

“Ah. benar. Lora pernah menceritakannya padaku. Ada sebuah rekaman yang memperlihatkan sesuatu berenang di air dangkal.” Narai nyengir. “Rupanya itu kamu.”

“Begitu adanya.” Zale mengangkat bahu. “Terlalu berisiko kalau aku berenang kemari.”

“Tunggu! apa aku membahayakanmu dengan membawamu kemari?”

Zale mengibaskan tangan santai. “Kalau ada kamu justru orang-orang tidak akan terpikirkan makhluk air muncul kan?”

Alasan itu cukup membuat Narai tenang kembali. Keduanya melanjutkan dalam diam. Sebentar terbesit rencana Narai untuk pindah kota, karena Zale ia jadi melupakan pikirannya itu.

“Narai. Kamu berniat merantau?” tanya Zale tiba-tiba

Saking tidak terduganya Narai sampai terlonjak, ia beradu pandang dengan Zale.

“Kamu tahu?” Narai kemudian mencoba terkekeh. “Pasti karena Lora.”

“Bukan karena Lora,” terangnya. “Aku tahu sendiri.”

Gadis itu sedikit kalut, mencari-cari penjelasan hingga Zale sendiri yang menghentikan.

“Tidak perlu merasa bersalah. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri.”

Sebentar ada raut kecewa dalam mata Zale, ia menunduk demi menghindari Narai terus melihatnya. “Hanya saja, kamu tidak bilang apa-apa padaku.”

“Tadinya aku berniat bilang kepadamu setelah aku memutuskan pilihan.”

Ungkapannya tidak menyenangkan Zale sedikit pun, pemuda itu masih menghindari tatapan darinya.

“Kalau begitu segera bertahu bila kamu sudah yakin,” ucapnya setelah kesunyian panjang.

“Zale. Sebenarnya aku sedikit berubah pikiran karena mengetahui identitas aslimu.”

Narai memperhatikan ekor Zale yang berada dalam air sekilas.

“Kamu mau kan setidaknya mengenalkan dirimu yang ini.”

Embusan napas pelan terdengar darinya, sebelum Zale berbalik lantas tersenyum tipis.

“Sesuka itukah dengan diriku yang ini?”

“Suka. Aku suka sekali denganmu,” kata Narai cepat tanpa mencerna ucapannya.

Tatapan Zale terpaku padanya, dan barulah Narai sadar. Ia mengibaskan tangan sembarang serta terkekeh.

“Suka sebagai sahabat. Benar. Kamu kan sahabatku.”

“Kalau begitu mari saling mengenal lagi.” Zale memajukan diri. “Setelah ini, kuharap kamu tidak menyimpan sesuatu dari sahabatmu.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
He's A MermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang