Haloo, ini akan lebih bagus kalau Saya perkenalkan diri dulu, alright?
Perkenalkan, Saya Author baru disini dan nama Saya Ave. Selamat membaca.
**
"Casent, besok Bapak ada rapat. Saya minta tolong Kamu untuk gantikan Saya sementara, ya." ujar si guru pada murid pintar itu. Harsa dan Casent sekelas. Kepintaran mereka hanya selisih beberapa saja tetapi sang guru lebih care kepada Casent dibanding dirinya.
Casent. Si murid pintar yang selalu mendapatkan ranking pertama. Selalu memenangkan olimpiade dan berbagai macam persaingan lainnya. Dan juga, dirinya lah kesayangan para guru. Bahkan para murid pun sangat memaklumi jika Casent berbuat kesalahan seperti pada tahun lalu. Casent tak sengaja menabrak seseorang sehingga orang itu jatuh dari tangga dan mengalami luka ringan tetapi ia sama sekali tidak diberi hukuman. Dirinya malah diberikan kemakluman.
Sementara Harsa. Si ranking tengah alias ranking kedua yang selalu mendapat ketidakadilan. Harsa membenci kala dirinya harus ditakdirkan untuk menetap di ranking kedua, bahkan sampai membenci angka dua. Padahal, jika dilihat lihat Harsa lebih mempunyai rasa sopan santun dibanding Casent. Lebih juga, apa yang kurang darinya.
-Harsa. Pemuda lelaki berusia enam belas tahun yang berstatus pelajar itu sedang berjalan kaki menuju tempat tinggalnya. Rumah Harsa tidak terlalu mewah hanya saja nyaman untuk ditempati. Dirinya berjalan dengan membawa sertifikat berupa kemenangan Olimpiade Matematika dengan juara pertama. Ia akan lakukan apapun demi diberikan ucapan, "Selamat anakku, Harsa. Mama bangga". Meskipun sepertinya mustahil terjadi. Ia sudah terlalu banyak memendam luka hingga lupa caranya bercerita.
Cklek...
Suara pintu masuk rumah menyambut kedatangan Harsa. Dan juga sambutan yang sudah seperti sarapan setiap pulang sekolah untuknya, yaitu berdebatan antara Mama dan Papa-Nya. Ia mulai melangkahkan kakinya menuju tangga yang akan mengantarkannya ke arah kamarnya. Namun, tarikan dari sang Papa membuat fokusnya teralihkan. Demi Tuhan, Harsa tidak ingin terlibat lagi. Harsa benci.
"Kamu tanya Harsa! Siapa yang selalu ada untuk Harsa? Tanya! Siapa yang mengurus semua kebutuhan Harsa? SAYA. Saya yang mengurus semuanya. Sedangkan kamu, kamu sibuk selingkuh!" Suara yang terdengar keras berdentum di telinga Harsa. Sel otaknya memberikan sinyal kepada tubuhnya hingga reaksi yang akan Harsa keluarkan.
Suara teriakan itu benar benar mengganggu pendengaran dirinya, terlebih lagi perdebatan yang menyangkut Harsa."Hasa mau ke kamar." Ucapnya telak, tak bisa diganggu gugat. Ia segera berlari kecil menuju tangga dan membawa adik kecilnya yang masih belum mengerti apa yang kedua orang tuanya bicarakan. Dirinya menggendong si adik ke dalam dekapannya lalu membawa ke kamarnya. Saat hendak membuka pintu kamar, ia mendengar sesuatu,
"Harsa itu, bukan anak aku! Anakku cuma Ranjadara."
Sakit. Hatinya sakit. Tanpa permisi, bulir bening itu keluar dengan mandirinya dari obsidian milik Harsa.
"Kak, kenapa nangis?" Tanya adik yang ia gendong, Ranjadara. Ranjadara Agaskar namanya. Balita berusia tiga tahun lebih empat bulan yang sudah fasih berbicara itu bertanya pada seseorang yang ia anggap kakak kandungnya. Harsa segera menghapus jejak bulir bening yang sudah menetapkan jejak di kedua pipinya. Dan, juga ia segera mengunci pintu kamarnya dari arah dalam.
Harsa menaruh Ranjadara ke atas kasur empuk miliknya. Sertifikat itu entah ditaruh di mana, yang ada hanyalah uang hasil memenangkan lomba tersebut dan uang itu masih bersemayam didalam tas-nya.
Ia mengambil satu dus yang berisikan mainan yang pernah dibelikan oleh Papa-Nya untuk Harsa saat masih balita, dan mainan itu masih tersimpan rapi didalam lemari baju bagian bawah."Dara, ayo kita main mobil mobilan ini sambil dengerin lagu!" seru Harsa, lalu membongkar dus yang berisi beberapa mainan dan menyetel lagu kanak kanak dari handphone miliknya. Mereka bermain diatas kasur dengan tawa keduanya.
"Kak, Dara haus ..." Saat sedang asyik bermain disertai lelucon yang dibuat oleh Harsa tiba-tiba saja adiknya itu merengek bahwa dirinya ingin meminum susu.
"Dara minum teh aja, ya?"
"nyah.. Hihi,"
"Pinter.. Kakak buatin dulu, ya.." ucapnya, lalu ia pergi meninggalkan Ranjadara sendirian di kasur kamarnya. Dirinya berjalan melewati ruang keluarga yang tadi sempat terjadi keributan. Setelah beberapa menit berjalan untuk sampai ke dapur, dirinya segera mencari keberadaan di mana botol yang biasa digunakan untuk minum adiknya; Ranjadara. Botol minum bayi, Harsa menemukannya.
Sekantong teh tanpa gula yang sudah ada digenggaman Harsa. Dan, satu teko air hangat. Ia menuangkan air hangat itu ke dalam botol minumnya lalu mencelupkan satu kantong teh tanpa gula yang sudah disediakannya. Sedikit memakan waktu karena harus menunggu sampai sari teh itu larut ke dalam airnya.
"Harsa?" Celetuk seseorang yang baru saja memasuki area dapur. Dia adalah Papa-Nya; Jonnath Garezha. Dengan suara yang tak terlalu keras, Jonnath memanggil anaknya yang sedang menyiapkan teh untuk sang adik tercinta. Siapa lagi jika bukan Ranjadara.
"Oh, ya. Nanti Papa ada project kantor di Shanghai. Kamu ikut, ya. Sekalian siapin barang barang kamu, Papa ada rumah kok disana."
Jonnath memberitahu kabar tersebut sambil mengambil sebungkus mi instan yang berada didalam laci bagian atas. Dirinya membuat sarapan sore dengan semangkok mi.
"Terserah Papa mau ke mana. Asal Dara boleh ikut, aku ikut." Jawabnya, Harsa segera berlalu begitu saja dari hadapan Papa-Nya.
Malam tiba, orang rumah sudah tidur pastinya. Sedangkan Harsa, melamun sendirian ditengah tengah indahnya pemandangan malam hari. Ia menempelkan dagu nya pada kedua lengannya, bersandar didekat jendela. Aura malam itu tenang, indah, dan sejuk. Cocok sekali bagi Harsa Agaspatha yang menyukai suasana damai.
"Kalo gue jadi Casent, kayaknya mental gue bakalan sehat walafiat. Casent pinter, keluarganya harmonis, dikelilingi orang baik juga. Lah gue?"
"Capek banget. Rasanya kayak mau mati. Di sekolah bikin sakit hati, di rumah juga ga ada bedanya." Harsa ketika di malam hari, disanalah ia mengungkapkan segala kelelahannya. Curhat pada langit itu tak terlalu buruk. Karena langit hanya bisa berdiam tanpa harus bercerita ke yang lain alias; cepu, kalo bahasa gaulnya.
Langit tidak akan membeberkan suatu rahasia seseorang, langit malam itu setia. Datangnya pun dengan aura menenangkan.
"Harsa?" itu suara bibi nya, Bik Lisa. Bibinya itu pasti sudah tahu jika Harsa mempunyai kebiasaan buruk, yakni melamun hingga dinihari. Biasanya Bik Lisa akan membawakan segelas air putih untuk Harsa lalu menyuruhnya untuk tidur.
"Iya, Bik?" Ia menoleh ke sumber suara, terlihat di sana ada Bik Lisa yang membuka pintu kamar dirinya dengan segelas air putih. Bik Lisa berjalan mendekati anak tuannya itu yang seperti biasa sedang bersandar di tepian jendela kamarnya hanya untuk melihat dan memandangi langit malam.
"Minum gih, setelah ini Tuan Harsa tidur, ya. Besok harus berangkat ke Sekolah." titahnya, dan Harsa hanya menurut saja. Ia meminum segelas air putih itu hingga habis dan segera kembali ke kasur untuk tidur.
"Selamat malam Tuan Harsa." Ucapan selamat malam itu, hanya Bik Lisa yang selalu mengucapkannya.
To Be Continued
Harsa Agaspatha.
-> Pemuda lelaki berusia 16 tahun.
-> kelas 2 SMA.
->Wakil ketua kelas.[ HARSA AGASPATHA as LEE DONGHYUCK]

Jonnath Garezha.
-> Pemegang perusahaan dengan 87 cabang.
-> Papa dari anak bernama Harsa Agaspatha.
-> Punya beberapa rahasia yang anaknya ga tahu menahu.[ JONNATH GAREZHA as JOHNNY SUH]

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Kenangan
FanfictionKenangan itu kembali mengukir di pikiran Harsa. Dirinya sama sekali tak ingin jika ingatan itu kembali karena hal itu hanya dapat merusak semuanya. Semua rangkaian alur yang sudah di siapkannya. Harsa benci itu. "Harsa. Jangan tinggalin gue." permoh...