Jaehyun termenung, tidak menanggapi ucapan sang sahabat mengenai rencana untuk mencari anak manisnya, Haechan. Sudah seminggu berlalu dan Jaehyun masih tidak menemukan tanda ataupun jejak yang ditinggalkan oleh seseorang, laki-laki pemilik cekungan di pipinya tersebut menghela napas panjangnya berhasil menarik perhatian yang lain"Jung, aku sejak tadi berbicara denganmu. Apa kau mendengarkanku?" tanya Doyoung, rekan Jaehyun semenjak perkuliahan
"Maaf."
Doyoung berdecak, dirinya tau bahwa Jaehyun sangat sedih atas kehilangan putranya tapi disini dia sudah membantu sebisa mungkin! namun tetap saja hal itu terasa sia-sia, Doyoung menerka kesalahan apa yang ayah satu anak itu lakukan sampai-sampai Haechan hilang tanpa jejak? jikapun perampokan sekaligus penculikan tapi kenapa rumah Jaehyun tampak baik-baik saja ketika mereka tiba dari perjalanan bisnis keluar kota?
Aneh. Ya ini tidak benar
"Aku akan mengumpulkan para pekerja untuk membantu mu mencari Haechan, dan jangan lupa makan Jung. Aku tidak mau mengurusi mayat yang memiliki banyak dosa sepertimu."
"Sialan." umpat Jaehyun
Manik sekelam malam itu menerawang, Haechan adalah putra satu-satunya. Tentu saja kehilangan nya memberikan dampak negatif bagi Jaehyun, sang istri bahkan harus rela merenggang nyawa demi buah hati yang sedang dikandungnya. Penantian mereka bertahun-tahun terbayar kala Jaehyun mendapati sang istri menghadiahi nya dengan sebuah alat tes kehamilan bergambar garis dua
Tepat saat Jaehyun merayakan hari ulang tahunnya, hadiah terindah dari Tuhan untuk keluarga kecil mereka. Jaehyun masih ingat disaat tangisan Haechan memenuhi benaknya, di dalam relung jiwanya laki-laki yang mempunyai cekung di pipinya itu berdoa semoga kebahagian yang mereka peroleh hari ini akan bertahan lama untuk hari ini, esok ataupun selama sisa hidupnya
"Maafkan ayah, Haechan. Namun ayah akan berusaha untuk mencarimu sesulit apapun itu." kepalan di tangan Jaehyun mulai menguat dan membiarkan tungkainya untuk berjalan tanpa arah
Jaemin tidak tau kalau Haechan adalah sosok terindah yang pernah dia temui ; penculikan yang dia lakukan semata-mata bukan karena balas dendam namun jauh di dalam dirinya laki-laki bermarga Na tersebut menginginkan lebih disaat manik hitam pekat itu menangkap pergerakan Haechan untuk pertama kali
Haechan yang manis dan lugu merupakan magnet terkuat untuk Jaemin semakin tertarik mendekatinya. Tidak ada yang salah dari caranya, mungkin itu menurut Jaemin
Beda dengan Haechan yang merasa jengah akan perilaku laki-laki tersebut, saat pagi dia akan bertingkah menghakimi dan malamnya Jaemin akan meminta maaf dibarengi dengan lumatan di bibirnya. Siklus yang sama selama seminggu
"Berhenti melihatku." Haechan berani membuka suara terlebih dahulu
"Saya tidak melihatmu Hae, saya hanya mengagumi anak dari seorang Jung Jaehyun." balasan itu membuat laki-laki manis yang tidak jauh dari Jaemin berdecak kesal, tidak menghiraukan bahwa reaksi tersebut membuat lawan bicaranya mengerutkan kening tanda tidak suka
Haechan beranjak, kakinya melangkah untuk mendekati yang lebih tua. Tepat setelah di hadapannya, Haechan dengan berani memulai. Lengannya dia larikan untuk menekan tubuh Jaemin agar sejajar dengan dirinya lalu bibirnya mulai menyesap rasa yang terdapat disana
Jaemin terkejut dengan aksi tiba-tiba tersebut, satu tangannya secara sigap meremas pinggang Haechan dengan kuat. Membiarkan laki-laki yang memiliki surai cokelat itu mengambil alih bibirnya untuk beberapa saat sebelum kemudian Haechan mengambil jarak, membuat saliva keduanya mengalir diantara dagu dan lehernya
"Aku sudah memberi yang kau inginkan sekarang pulangkan aku!" Haechan menaikkan nada suaranya, dia sudah membuang harga diri secara cuma-cuma
"Hm? saya tidak bilang kalau saya menginginkannya."
Haechan tau dia ceroboh dan gamblang dalam mengambil keputusan namun bukan ini yang dirinya maksud sesaat setelah mengesampingkan rasa malunya demi mencium yang lebih tua, Haechan hanya ingin pulang ke rumah. Tempat dimana dia bisa menuangkan segala keluh kesahnya di pundak sang Ayah. Bukan ini
"Pulang! Aku ingin pulang." pernyataan itu mendapatkan reaksi tidak suka dari yang lebih tua, tangan Jaemin terangkat untuk menjambak kuat surai cokelat tersebut berhasil membuat ringisan di belah bibirnya yang manis
"Saya tidak memintamu untuk melakukan apapun. Kau milikku. Akan selalu begitu, saya menahan diri selama ini untuk menghargaimu. Tetapi sampai mulut saya berbusa pun kau selalu susah di atur, apa orang tuamu tidak mengajarimu etika?" kuat sekali Jaemin menjambak Haechan, sampai-sampai kepalanya terasa berat
Haechan menangis dengan luka yang dalam. Tidak. Tidak boleh ada yang menghina keluarganya, bagaimana ayahnya yang selalu sedia disaat Haechan mengalam kesulitan dan ibunya yang rela mengorbankan seluruh hidupnya hanya demi Haechan. Hanya mereka alasan Haechan hidup, keluarganya.
Keluarga merupakan pelita bagi Haechan, ayahnya Jung Jaehyun selalu mengajarkan dia untuk rendah diri. Walaupun hidupnya sangat cukup tapi hari-hari yang mereka jalani sangat sederhana namun kenangan yang Haechan dan keluarganya buat sangat istimewa. Lebih istimewa daripada martabak spesial buatan Mang Ujang
Haechan memutuskan untuk melawan, "Bajingan." tepat setelah kata itu keluar dari belah bibirnya, Haechan mendapatkan pukulan telak dari Jaemin, darah mengalir deras dari hidung dan belah bibirnya
"Kau seharusnya bersyukur, saya tidak langsung menendangmu ke neraka dimana ibumu berada." perkataan sarkas itu berlipat-lipat sakitnya, menghantam tepat di ulu hati Haechan dan kembali membuat bekas baru yang dalam
Jaemin pergi dari sana meninggalkan laki-laki manis yang tergeletak dengan darah yang terus mengalir
"Ayah sakit, Tolong.. aku sakit disini." tangisan itu, Jaemin tentu dengar tapi dia berusaha biasa saja.
Haechan—nya yang malang.
Pesan ; Maaf, setelah aku mengecek beberapa bab ternyata penggunaan bahasa Jaemin sangat tidak jelas. Disana menggunakan kata saya dan aku di dalam dialognya, aneh memang karena aku membuat beberapa dialog menjadi kacau. Aku ingin meminta pendapatmu, lebih baik Saya atau Aku? terimakasih bantuannya, Kawan.