Slice of Trust

40 9 0
                                    

Don't forget to vote and comment✨


***

Senja di sore ini terasa lebih hangat daripada yang kemarin bagi Senandung. Bukan karena seberkas cahaya yang menyorot dari celah atap rooftop, namun karena kehadiran dari pria yang kini bersimpuh dihadapannya dan tengah mengaplikasikan obat merah pada luka basah dilututnya. Bukan hanya keberadaannya yang memberi kehangatan, sikapnya yang membuat hati Senandung jauh lebih hangat.

Manis, dan penuh kasih.

Biarpun banyak yang mengatakan bahwa pria di hadapannya hanya main-main semata dengan dirinya, biarlah Senandung sendiri yang menilai.

"Aku tak suka jika milikku terluka."

Kata pertama yang terucap sejak dua puluh menit yang lalu.

"Aku tidak dapat menjamin bahwa aku tak akan pernah terluka Mave." Ujar Senandung dengan senyum lembutnya.

Dirinya cukup sering terluka, sebagian besar orang di sekolah ini tidak menyukai Senandung. Bagaimana bisa gadis miskin berkesempatan merasakan keberuntungan menjadi kekasih dari pria idaman di sekolahnya.

Seperti, banyak yang lebih layak. Mengapa harus Senandung?

Jika Senandung mencari jawaban atas itu dengan segala logika, maka ia tak akan pernah menemukan jawbabannya. Keraguan yang sempat menghampiri dirinya, lambat laun ditepiskan oleh baiknya Mave memperlakukannya.

"Lihat, akan aku hajar dia yang menyakitimu. Katakan, kali ini siapa?"

Perlakuan yang seperti ini. Senandung menyukainya.

Senandung menggelengkan kepalanya cepat, siswa kemarin yang menamparnya saja berhasil Mave keluarkan. Maka Senandung tak bisa membayangkan bagaimana nasib orang yang kali ini melukai dirinya.

"Aku bertanya siapa namanya, jawabannya adalah nama. Bukan gelengan kepalamu, Sendu." Mave menatap tajam mata bambi milik Senandung.

"Jadi selagi aku sabar katakan siapa dia?"

"Jangan Mave." Lirih Senandung.

"Sialan! Kamu membuatku muak. Sudah kubilang bukan, satu-satunya di dunia ini yang boleh menyentuhmu hanya diriku. Tangan kotor siapa kutanya yang dengan lancang mengusik milikku?"

Senandung hanya menunduk dalam. Genggaman tangannya menguat seiring emosi Mave yang kian memuncak.

"Right, kau memilih bungkam. Biar aku yang mencari tahu sendiri. Lihat saja apa yang mampu aku lakukan kali ini Sendu." Sajaknya mengalun rendah dan teramat menusuk, sekalipun kedua telapak tangan Mave mengusap surainya lembut. Senandung hanya bisa meringis dalam hati.

"Berdiri, sebentar lagi kelas. Masuk dan belajar dengan baik, aku tidak ingin kelak anakku memiliki ibu yang bodoh, tak akan kubiarkan."

"Mave aku kan pintar, aku tidak akan melahirkan anak bodoh untukmu." Senandung tidak berbohong. Dia selalu juara satu pararel, itulah mengapa ia bisa mengenyam pendidikan di sekolah elit ini.

"Kau banyak menjawab. Sudah sana kamu pergi." Mave sedikit mendorong bahu Senandung agar gadis itu segera beranjak.

"Lantas kamu mau kemana Mave?"

"Aku akan pergi, ada urusan."

"Mave kamu menyuruhku untuk belajar dengan baik tapi kamu sendiri tidak mau mengikuti pelajaran."

"Genom kepintaran berasal dari Ibu. Di masa mendatang yang jadi ibu kan kau, sedangkan aku menjadi ayah jadi biar saja aku tidak belajar. Aku hanya akan mewariskan paras rupawan pada anak kita. Lagipula mengapa kau pusingkan hal itu, aku sudah pintar tanpa perlu belajar."

THE DEVIL HAUNTS METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang