Don't forget to vote and comment✨
***
Senandung memandang sendu selembar kertas dalam genggamannya. Tulisan yang tercetak bold mau tak mau membuat hati kecilnya teriris. Nominal lima juta rupiah untuk minggu ini pada hari selasa—tepatnya dua hari ke depan harus Senandung siapkan. Yang membuat ia kecewa adalah ketika ia tahu bahwa gajinya tak akan cukup untuk biaya Arkan menjalankan serangkaian check up rutin yang harus bocah itu jalani tiap bulan.
Gaji selama dua bulan ia bekerja menjaga toko buku telah ia minta terlebih dahulu untuk meng-cover biaya check up Arkan dua bulan sebelumnya. Senandung tak bisa lagi meminta gajinya terlebih dahulu. Tapi ia tak mungkin juga membiarkan bocah kecil kesayangannya itu sakit. Senandung teramat tak rela ketika raut yang biasanya memberinya senyum sumringah yang manis dan cerah terganti dengan raut pedih penuh kesakitan
"Kak Sendu, perut sama punggung Arkan sakit sekali. Rasanya kayak waktu ditusuk Bu dokter jarum. Tapi ini lebih sakit. Kak Sendu mau usap punggung Arkan?" Adu Arkan polos dalam gendongan koala Senandung.
Yang menggendong menitikan air mata. Bergerak mengusap punggung yang lebih mungil "Sakit sekali? Kak Sendu bantu usap punggung Arkan dulu ya. Sambil kakak mantrain 'Arkan anak pintar dan kuat cepet sembuh' gitu ya."
Yang diajak bicara menganggukan kepala kecilnya yang terbenam di ceruk leher Senandung. Nafasnya yang pendek memburu dan terputus-putus, tak mampu menutupi rasa sakit yang dirasakan sang empu.
Sungguh hati Senandung dibabat habis oleh rasa pedih, ia dekap semakin erat tubuh dalam gendongannya. Mengayun ke kiri dan ke kanan dengan doa yang terapal di dalam hati, berdoa dalam keterdiaman berharap duka dan rasa sakit yang dirasa oleh Arkan di limpakahan sepenuhnya padanya. Pada dirinya yang setidaknya lebih mampu menanggung rasa sakit daripada bocah yang bahkan masih berusia tujuh tahun.
"Sabar sayang besok kakak janji bawa kedokter ya, maafin Kakak Sendu, maaf, Kakak mohon ampun pada Arkan." Tumpah sudah tangis Sendu saat ia merasa Arkan telah jatuh dalam lelapnya akibat sudah letih menahan rasa sakitnya.
"Jangan sakit kesayangan kakak, Arkan."
Senandung kembali menorehkan senyum di bibirnya, ia tak boleh kalah oleh keadaan ketika ia kini tak lagi sendirian di dunia ini. Ada Arkan bocah kecilnya, kesayangannya, teman hidupnya, pusat dunia, dan pengendalianya. Maka dengan segala konsekuensi dan segenggam harapannya demi kesehatan Arkan, Sendu meraih ponsel di saku mantelnya dan mendial nomor seseorang.
Persetan dengan luka basah Senandung yang tak kunjung sembuh. Biarlah entah itu semakin menganga atau membusuk sekalipun. Selama Arkannya sehat, biarlah Sendu yang menanggung sakitnya.
"Halo, aku bersedia."
"..."
"Kau bisa menjamin bahwa aku akan mendapatkannya?"
"..."
"Bisakah aku mendapatkanya dimuka?"
"..."
"Ya, aku pasti akan datang."
"..."
"Terima kasih banyak."
~,,~
Acara reuni seperti ini sebenarnya menyebalkan bagi Mave. Hanya diisi oleh kebisingan yang isinya tentang bagaimana caramu menujukkan seperti apa dirimu saat ini. Mereka yang telah sukses melempar senyum pongahnya dan yang sebaliknya hanya bisa tersenyum kecut, atau bahkan tak punya muka untuk sekedar datang.
Lantas bagi Mave tidak perlu membuat suatu validasi, ketika seluruh siswa di sekolahnya dulu tau seberapa tajirnya seorang Mave. Putra tunggal dari pengusaha Timah, yang kini sukses dibidang balap. Ya, seseorang yang namanya bahkan masuk dalam daftar peserta F1. Putra tunggal keluarga Anderson—Maverick Harvey Anderson
"Kejutan melihatmu ada di sini setelah sekian lama Mave. Semoga kau tidak melupakan diriku." Rome menyambut kedatangan Mave, ketua osis diangkatannya dulu.
Keduanya saling menghunuskan tatapan tajam, seolah ingin menguliti satu sama lain.
Romeo Russel, salah satu penjilat yang seringkali menggunakan kekuasaanya untuk mendekati Mave kala masa putih abu-abu dulu. Membantu menutupi segala kebusukan Mave dengan jabatannya untuk mendapatkan koneksi atas bantuannya terhadap Mave.
Bagi Mave orang seperti Rome hanya sebuah anakan tangga, dimana ia bebas menginjakkan kaki di atasnya karena dialah sang penguasa. Mave menyukai orang-orang seperti Rome, yang merasa dirinya dapat mendekati Mave untuk mencari keuntungan padahal sebenarnya dirinyalah yang di manfaatkan habis-habisan. Itulah kenyataan hidup, penguasa akan selalu menguasai. Sebanyak apapun kau mengeruk keuntungan dari mereka tanpa sadar kau lah yang dimanfaatkan tanpa sisa. Seolah kau hanyalah anjing dengan jeratan di leher. Itulah yang bisa kau sebut ironi.
"Bagaimana aku bisa melupakan dirimu, jeruji besi adalah bentuk pengabdianmu padaku, dan aku tak akan melupakan royalitasmu itu." Mave menjawab lengkap dengan seringainya. Nadanya mengalun rendah dan penuh dengan kuasa.
"Jika kau tak pernah melupakan diriku, ku artikan kau juga tak pernah melupakan dosa besarmu Mave. Menghancurkan hidup banyak orang dan bertingkah seolah kau tak pernah bersalah."
Mendengar kalimat itu Mave melangkah maju, tatapannya membidik tepat pada sosok yang kini mencoba mengusiknya. "Aku tak pernah menghancurkan hidup orang, kalianlah yang menghancurkan hidup kalian sendiri. Mengemis atas suatu hal, menggadaikan harga diri dan ketika aku meminta harga atas apa yang kalian minta kau menunjukku sebagai orang yang bersalah? Lelucon macam apa itu."
"Jika kau sedikit saja tahu sehancur apa orang itu karena mu. Aku bersumpah pada langit bahwa kau layak mendapat balasan yang lebih berat lagi. Aku berharap ketika kelak tiba masanya, kau juga akan membayar atas apa yang telah kau lakukan, dan harta, kekuasan, atau semua yang kau sombongkan tak akan pernah bisa menyelamatkan dirimu Mave." Rome berlalu meninggalkan Mave dalam keheningan yang nyata.
Ramainya suasana di ballroom hotel tempat dimana acara itu diselenggarakan seolah senyap bagi Mave. Egonya teramat tergores dengan rentetan kalimat dari mantan ketua osisnya dulu.
Bagi Mave, siapa orang itu hingga berani mengarahkan telunjuk kepadanya. Mengutuk hidup Mave yang bahkan telah tertata dengan rapih.
Akhirnya Mave memilih beranjak disana dan menghampiri dua orang yang sejak tadi memang sudah memperhatikan Mave yang berseteru dengan Rome.
Julian dan Bastian—pria yang bertemu dengan Mave di être fleur bleue bar.
"Setelah sekian lama kau bertemu kembali dengan mantan Ketua Osis itu Mave." Sapaan dari Julian saat Mave sudah duduk di sofa khusus yang disediakan untuk mereka yang memang memiliki status sosial yang tinggi, sedang yang lebih rendah memilih sadar diri dengan berdiri disudut ruangan. Enggan menarik atensi.
"Dia membuatku marah." Mave mengambil segelas minuman yang berada diatas meja. Memutar cairan yang ada didalamnya dengan mata yang terfokus kedepan.
"Makhluk rendahan itu dengan berani menyumpahi diriku."
"Kau harus bersabar dude. Setidaknya tunjukan rasa terima kasih mu padanya karena dia telah bersedia mejadi kambing hitam untukmu selama belasan tahun."
"Dia hanya membayar harga atas apa yang ia dapatkan. Tak perlu berterima kasih."
"Jadi?" Bastian yang sedari tadi diam akhirnya bersuara."
Mave mengangkat alisnya seolah bertanya pada Bastian maksud dari ucapannya.
"Bagaimana? Bukankah kau lihat dirinya tidak ada dalam acara ini.
Mave menyetujui ucapan Bastian. Padahal dia ingin bertemu dengan perempuan itu lagi.
Apakah mungkin, bermaksud menyelesaikan apa yang belum selesai diantaranya keduanya?
***
Don't forget to vote and comment✨
23 Juni 2024
Regards,
QueenDarkest
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEVIL HAUNTS ME
RomansaMaverick terobsesi dengan Senandung. Tangis, tawa, serta lembut suaranya. Tahun pertama masa SMA, Maverick merenggut hal yang ia sukai dari Senandung. Tawa milik Senandung ia rampas. Katanya, "Senandung's smile is mine. if I can't have it, then no...