School

130 20 3
                                        

Selamat membaca

Jangan lupa vote dan komen yaa



😼🐯

Kaki yang tak terlalu jenjang yang sudah terbalut sepatu berjalan menyusuri koridor sekolah. Pandangan lurus ke depan, sesekali ia tersenyum menyapa teman-temannya.

"Ren! Rendra, tungguin gue dong!"

Rendra mendengus kesal, ia sangat hapal siapa pemilik suara itu. Gadis manis yang selalu menganggu hari-hari tenangnya. Rendra tak menoleh, ia terus berjalan mengabaikan pekikan si gadis.

"Aelah! Tungguin ngapa sih, Ren."

Masih tak perduli, membuat gadis itu berlari sedikit cepat agar bisa mengejar pemuda yang jaraknya tak terlalu jauh.

Gadis itu, Ditya. Ia mulai berjalan santai mengikuti langkah Rendra saat sudah berada tepat di samping pemuda impian.

Ditya berdehem memecah keheningan, jujur saja ia merasa canggung dengan lelaki kutub itu. Berusaha sedikit merapikan rambutnya yang terurai. "Lo ... Kenapa nggak masuk kemaren? Lo sakit? Kok nggak ada kabar sih?"

Yah ... benar, beberapa hari belakangan Rendra tak masuk sekolah, hanya ada sepucuk surat yang ntah apa isinya telah Tiger layangkan ke sekolah.

Rendra menghentikan jalannya, melirik sekilas dengan kernyitan di dahi putihnya. "Penting buat lo?"

Ditya mengangguk pasti. "Penting banget, super banget," kata gadis itu mantap.

Pemuda tampan itu menghela napas jengah, ntah mengapa jika ia bertemu dengan Ditya selalu saja emosi, rasanya ia ingin membuang gadis itu ke tengah laut agar tak bisa menganggu hidupnya yang tenang ini.

"Kemaren minggu, libur." setelah berkata, Rendra melanjutkan jalanan menuju kelas yang sudah satu semester ia tempati.

Ditya sempat bengong, memang dasar anaknya lemot mencerna setiap omong irit Rendra. "Eh ... Bukan itu maksud gue, Ren. Maksud gue tuh hari sebelumnya, kan lo nggak masuk!" Ditya berteriak tak tau tempat seraya berlari mengejar Rendra.

Rendra tak perduli, apapun mengenai gadis itu ia tak ingin ikut terseret dalam kehidupannya. Hidup Rendra saja sudah cukup rumit, bagaimana nanti jika bertambah milik si gadis?!

Pemuda bertubuh kecil itu mendudukkan diri di tempat ia duduk, kursi paling belakang barisan keempat dekat dengan dinding, sisi kesukaannya.
Ia menelungkupkan kepalanya di atas meja, mendadak kepalanya pusing. Lebih tepatnya, pusing karena menahan kantuk lantaran bergadang bermain PS kemarin malam.

Hari ini, tepat hari senin ia mulai masuk sekolah setelah beberapa hari diwajibkan libur bagi dirinya. Menjalani hal yang sangat suka datang dengan tiba-tiba dan tidak tau waktu.

Tak lama Rendra terpejam, ia merasakan pucuk surainya dielus oleh seseorang, ia tidak terlalu menanggapi, hingga suara yang sangat ia rindukan menyapa rungu. “Adek sakit, hm?”

Rendra mengangkat wajahnya, melihat sosok yang beberapa hari ini tidak ia temui. “Abang.”

Pemuda yang berdiri tersenyum, ia merentangkan tangannya tanda memintanya pelukan. Namun, Rendra tentu gengsi memeluk sosok itu di keramaian.

“Gedek gengsi lu!" Ujar pemuda itu, Angkasa.

Rendra sedikit merengut, menatap Angkasa dengan tatapan tajam miliknya. “Sana pergi! Rendra itu lagi marah sama abang!” katanya seraya mendorong tubuh ramping Angkasa.

Angkasa sedikit heran, marah? Memangnya ia berbuat salah? Ia hanya bisa menghela napas heran melihat tingkah adik sepupunya.

Angkasa Layah, pemuda berusia delapan belas tahun yang kini sedang menjalani masa aktif belajarnya. Kini, Angkasa sudah kelas dua belas, mengharuskan ia untuk belajar lebih ekstra untuk bisa masuk ke perguruan tinggi yang ia inginkan. Memang, biasa Angkasa hanya bisa membandal dan membuat onar. Katanya, kalau ditanya Angkasa akan jawab begini, “Sekolah kalau jadi anak baik itu nggak ada lika-liku-nya. Bandel dong, baru seru.”

Angkasa semakin lekat menatap adik sepupunya itu, menyugar sekali rambut tipis Rendra. “Marah kenapa? Abang ada salah?”

Rendra tak menjawab, ia lebih memilih kembali tidur. Mengacuhkan sosok pemuda tampan di hadapannya.

“Kalau Rendra nggak ngomong, memangnya abang bakal tau kesalahan abang dimana?” masih tak bergeming, Rendra semakin dalam memasukkan wajahnya pada lipatan tangan.

Angkasa menghela napas jengah. “Pulang sekolah sama abang, ayah kamu nggak bisa jemput. Abang pergi dulu.” setelahnya, Angkasa berlalu dari sana.

Rendra sama sekali tak menjawab, ia hanya mengintip punggung Angkasa yang semakin jauh.

Yah ... Rendra memang seperti itu. Ia sering marah-marah tidak jelas. Apalagi, saat emosinya sedang tidak stabil, tapi kata bunda, jika emosi Rendra tidak stabil Rendra akan menjadi orang idiot.

Perkataan menyakitkan yang masih Rendra ingat.

Rendra kembali menyusupkan wajahnya, saat melihat Angkasa kembali ke arahnya.

Angkasa tersenyum tipis, adiknya memang tidak pernah berubah. Ia merogoh tasnya, mengambil kotak bekal berwarna biru muda, kemudian ia letakkan dengan baik di meja Rendra. “Dari Bunda, kata Bunda harus dihabiskan.”

“Rendra nggak punya Bunda,” balas Rendra cepat.

Angkasa tampak memejamkan matanya seraya menarik napas dalam. Ia tidak suka jika sudah membahas masalah ini. Mengatur napas, kemudian kembali berujar, “Bundanya abang. Harus habis ... inget, pulang sekolah sama abang.”

Rendra hanya mengangguk, enggan mengangkat kepalanya. Sejujurnya, ia tak terlalu marah dengan pemuda itu. Ia hanya kesal lantaran tak pernah lagi diperhatikan.

Wajar saja, Rendra dan Angkasa sudah seperti permen karet, sangat menempel. Sedari kecil, Rendra tak pernah terlepas dari Angkasa, bahkan sebagian hal baru yang Rendra pelajari ia tangkap dari sosok itu.

Angkasa adalah panutan untuknya, walaupun Angkasa tak sebaik itu, tapi yang Rendra tau, Angkasa akan selalu menjaganya, baik saat ia baik-baik saja atau dalam keadaan little.

Angkasa sangat suka little Rendra.

😼🐯

Tbc

Minta pendapat dong, hehe

Bagus ga sih ceritanya?

Don't Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang