Muncul

110 12 2
                                        

Happy reading guys

Typo tandai yaa.

Jangan lupa vote dan komen juga, oke! Ehehe
Aku butuh dukungan kalian:)

🐱🐯

“Apa belum ada kemajuan, Om?”

“Belum, Psikolog Rendra malah mewanti-wanti dia mengalami kemunduran sikap.”

Pemuda berseragam sekolah itu menghela napas, meletakkan minuman soda yang baru ia tenggak di atas meja. “Kalau dilihat, bahkan dia sudah jarang kambuh. Lalu, apa yang ditakutkan?”

Yang lebih tua menggeleng lemah. “Om juga tak tau pasti, hanya saja kondisinya terakhir kali benar-benar jauh dari dugaan.”

Pemuda yang kembali menenggak sodanya menatap sang paman dengan alis menyatu, bermaksud meminta penjelasan. “Maksudnya? Bahkan aku nggak tau kalau Rendra kambuh baru-baru ini.”

“Seminggu yang lalu, Om sengaja nggak kasih tau kamu. Rendra juga lagi rewel banget, nggak bisa ditinggal dan bahkan Om aja sampai nggak bisa hubungi orang kantor.”

Angkasa menarik napas dalam, menatap lekat pemandangan di depannya. Suasana taman belakang kali ini sungguh menyejukkan, membawa angin berserta ketenangan untuknya.

Sekali lagi ia menatap wajah tegas pamannya. “Om bisa bilang sama Angkasa kalau Rendra lagi kambuh. Angkasa pasti bakal bantu Om buat jaga Rendra, Om.”

Tiger tersenyum, membalas pandangan keponakannya itu, lalu kembali menatap hamparan bunga cantik di sana. “Om bisa kok, Sa. Kamu tenang aja. Lagi pula, kamu tau sendiri kan. Rendra nggak bakal mau ditinggal sama Om kalau lagi kambuh.”

Yang lebih muda mengangguk paham,  ia paham betul bagaimana sikap Rendra saat mengalami little-nya. Sungguh, akan berubah, bahkan sangat berbeda dari Rendra yang biasanya.

Di lain tempat, di kamar nuansa abu yang penuh dengan figura berbagai gambar. Mulai dari lukisan pemandangan, hingga goresan abstrak tak terbaca. Rendra menatap satu figur wanita cantik dengan gigi kelinci kecil sedang tersenyum di dalam bingkai. Wajah bulat, rambut pendek dengan mata bak kucing paling indah.

Ia tersenyum tipis. “Bunda ... ini Rendra. Bunda masih ingat kan sama Rendra?” tangannya bergerak mengusap figur tersebut.

Hatinya sakit, relungnya remuk, jiwanya seakan hendak terbang saat di mana ia dengan sengaja menghukum dirinya dengan melihat figur sang ibu. Bukan sekedar kebahagiaan. Namun, begitu menumpuknya rasa sakit yang telah wanita itu perbuatan. Rasanya, jika saja Rendra sanggup menghitung, itu tak akan habis dalam satu atau dua hari.

Rendra menyeka air mata yang turun dengan tak sengaja. Masih setia menatap hukumannya dengan lekat. “Rendra tau, Bunda pasti sayang sama Rendra kan? Bunda bohong kan? Kalau Rendra bukan anak Bunda. Bunda ... Rendra selalu lihat foto Bunda untuk mengingatkan sakit yang Bunda tusukkan ke hati Rendra. Bukan Rendra bodoh, Bun. Rendra cuma mau selalu ingat sama kenangan kita, meskipun itu sakit untuk Rendra.” Bulir bening terus berjatuhan, membawa rasa sakit yang terus mendorong hatinya untuk berhenti.

Jujur saja, Rendra tak akan berhenti sampai ia menemukan kebenarannya. Meskipun nantinya, ia harus tidur untuk selamanya.

Remaja kecil itu terduduk, bersandar pada tembok seraya memeluk kakinya. Ia menangis, mengingat kejadian lampau yang begitu menyakitkan. Semuanya terus berputar di kepala, seakan kaset baru yang amat lancar memutar perfilman.

Anak idiot! Kau kira aku sudi menjadi ibumu!”

Kau bukan anakku! Kau hanya hukuman bagiku!”

Jangan harap kau bisa memelukku! Dasar anak tidak berguna!”

Lebih baik kau mati, daripada harus membuatku malu begini!”

Aku bukan ibumu! Kau hanya hukuman! Cam kan itu!”

Kepingan demi kepingan kata tersusun dengan apik di sela memori yang kosong, memenuhi, melengkapi tempat yang seharusnya tak ditempati. Kala suara itu terus melayang bersamaan dengan perlakuan kasar ibunya dulu, saat itu pula kepalanya berdenyut sakit. Rendra menjambak rambutnya dengan tak karuan, berharap besar agar suara-suara barusan segera hilang. Namun, sia-sia pula semua hal itu. Suara hinaan juga kasar dari sang ibu masih terus terngiang di telinga.

“AYAH! AYAH, RENDRA TAKUT, AYAH!”

“Ayah! Sakit, ampun! Ampun, Ayah!”

Setelah aduan itu, pintu kamar remaja itu terbuka dengan kasar, menampakkan kehadiran Tiger bersama dengan Angkasa dengan wajah tak kasuran panik.

Keduanya dengan cepat mendekat ke arah Rendra yang kini meringkuk ketakutan. Tiger dengan sigap mengambil tubuh itu untuk ia bawa ke dalam pelukan.

“Hei, kenapa, hm? Ini Ayah, sayang. Rendra kenapa, nak?”

Ada jeda bersama isak tangis Rendra, kemudian ia mendongak untuk menatap wajah sang ayah. “Ampun, Yah ... sakit, Rendra sakit,” ujarnya sesenggukan.

Tiger kembali menelusupkan kepala sang putra pada dada bidangnya. Mengusap kepala hingga tengkuk itu dengan teratur. “Sst ... nggak akan ada yang sakiti Rendra, sayang. Tenang yaa ... Ayah di sini.”

Setelahnya, Rendra tak menjawab apapun. Ia membalas pelukan Tiger dengan erat, tangan-tangan kecilnya bermain di belakang punggung pria itu.

“Ayah ... Bunda, Lendla mau Bunda.” Baru saja selesai kata itu, air mata Tiger jatuh begitu saja.

Ia menatap Angkasa yang sedari tadi terdiam, pemuda itu semakin bungkam. Semoga saja, yang mereka takutkan tak terjadi begitu cepat.

“Ayah, Lendla mau Bunda, tapi Bunda tusuk-tusuk Lendla, Bunda jahat, Yah.”

Tiger memejamkan matanya, besar harapan dalam hatinya agar anaknya baik-baik saja.

Tuhan, tolong ... hanya little ini yang seperti ini. Jangan beri kan hal buruk padanya.”

Ya ... Tiger harap, little Rendra tak semakin memburuk, tapi semua hanya harapan. Semua hasil ada di tangan Tuhan. Tiger hanya bisa berbuat semampunya, atau bahkan jika saja ia tak mampu, ia akan berusaha untuk menanggung itu.

Demi apa? Demi si sindrom little space Rendra agar tak semakin mengalami kemunduran.

🐱🐯

Tbc

Makasih dukungannya. Makasih udah mau vote dan komen yaa:')

Aku lama banget ga up, karena aku kira ceritanya emang kurang bagus dan ga ada yang baca. Jadi aku berhenti ಥ⁠╭⁠╮⁠ಥ

Maaf ಥ⁠_⁠ಥ

🐱🐯

Lendla ucingg!

Lendla ucingg!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Don't Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang