Main PS

283 26 6
                                        

Hallo, maaf ya chapter sebelumnya aku hapus. Mau ganti alur dikit, hehe. Maap bgt:)

Kalian suka nggak sih? Aku takut kalian nggak suka, huaa

Btw, happy reading

Typo harap maklum:)

Enjoy!



*****



Sepasang kaki kecil itu mengayun pelan diri sendiri yang sedang duduk di ayunan. Melamun seraya menikmati semilir angin sore ini. Melihat matahari yang perlahan mulai terbenam.

Kenapa? Kenapa matahari harus terbenam? Rendra benci malam, Rendra takut. Malam gelap dan Rendra takut.

Tatapan sendu itu mengarah pada matahari semburat jingga, perlahan senyum miris ia perlihatkan. "Rendra benci malam, Rendra takut," lirihnya.

Angin sore itu berhembus cukup kencang, menyingkap rambut berwarna coklat sang empu. Sejenak, ia menikmati sapaan angin.

Ntah apa yang membuatnya kembali mengingat memori sakit yang mengutak kepalanya.

"Aku tidak mau anak itu ikut denganku!"

"Apapun yang akan terjadi, aku tidak perduli!"

"Apa kau sadar dengan ucapanmu, Irene?! Ucapanmu menyakiti putra kita!"

"Putra kita? Dia hanya anak pembawa sial! Kau harus sadar, mas!"

Rendra tersenyum miris, kepalanya sakit jika mengingat perkelahian orang tuanya lima tahun lalu. Yah ... Sudah cukup lama, tapi memori itu masih ada.

Remaja kecil itu sudah bersusah payah menyisihkan luka yang dulu ia dapat dari perkataan sang ibu. Namun, semakin ia kikis, semakin terasa sakit.

Ia menarik napas panjang, kemudian bergumam, "Rendra ... Sayang sama bunda." air mata luruh bersama perkataan itu.

Hanya untuk mengatakan ia menyayangi sang bunda saja rasanya begitu sakit. Bagai rasa sayang yang tak berbalas, tapi kenyataannya memang begitu.

Berawal saat suatu masalah yang tak pernah ia tau bermula dari mana, hingga menyebabkan kehancuran yang sedemikian rupa.

Remaja putih itu tersentak, kala merasakan tepukan di pundaknya.

Ia menoleh ke belakang, melihat siapa yang sudah mengagetkannya. "Ayah?" katanya yang dibalas senyuman manis oleh sang ayah.

Pria itu, Liam Tiger Arbadaka. Seorang duda beranak satu yang kini sedang sibuk-sibuknya mengurus pekerjaan. Jarang rasanya, jika sore begini ia sudah menginjakkan kaki di rumah dan bertemu menatap si putra sematawayang. Biasanya, ia akan pulang saat Rendra tertidur dan pergi lagi saat Rendra belum terbangun.

"Ayah, kok ... Tumben?" tanya Rendra saat melihat ayahnya hanya diam dan terus tersenyum.

Tiger mengayun sang anak dengan hati-hati, takut jika kesayangannya terjatuh. "Ayah ... Rindu putra kesayangan ayah," ujarnya membuat Rendra memekik geli.

"Memangnya, tuan memiliki putra?" tampaknya Rendra ingin menyindir sang ayah akibat terlalu sibuk dan menurutnya lupa pada dirinya.

Tiger tertawa kecil, kemudian menjawab, "Tentu saja. Aku memiliki putra yang terlampau tampan, sama seperti diriku."

Rendra berdecak sebal, pede sekali ayahnya itu. "Terlalu percaya diri itu tidak baik, tuan harimau." diakhiri dengan dengusan.

Tiger menghentikan ayunan itu, berjalan ke depan agar dapat berhadapan dengan anaknya. Ia sedikit berjongkok untuk mensejajarkan posisi mereka.

"Baik tuan muda Rendra," ujarnya, kemudian mengecup kening Rendra.

"Maafkan ayah ... Maaf karena selalu meninggalkanmu sendiri, maaf kar-" perkataan itu terhenti, kala Rendra menerjang tubuh sang ayah hingga hampir terjatuh.

Tiger terkekeh melihat kelakuan sang anak, lalu mengusap surai tebal itu. "Anak ayah tidak pernah berubah."

Rendra mengangguk. "Ayah juga tidak pernah berubah. Rendra sayang ayah, i love you," lirihnya, kemudian mengecup dagu ayahnya.

"I love u more, son. More and more."

🐱🐯

Suara decakan berkali-kali Rendra suarakan, ia kesal dengan sang ayah tidak mau mengalah saat bermain game.

Saat ini, keduanya berada pada ruang khusu bermain yang sengaja Tiger bangun dan desain untuk putranya. Tiger tidak mau meletakkan game apapun di kamar anak itu. Katanya, ia tidak mau menganggu Rendra belajar. Bisa saja saat belajar, Rendra malah terus menerus melirik PS di sana.

Rendra berdecak lagi, melempar stik PS di tangannya. Menggembungkan pipinya kemudian berkata, "Ayah gimana sih?! Ngalah dong sama anaknya."

Tiger hanya tertawa, mengambil stik yang dilemparkan sang anak, kemudian memberikannya lagi pada sang empu. "Sekali lagi, ayah janji akan mengalah," ujarnya diiringi tawa.

"Bener ya?" Tiger mengangguk mengiyakan.

"Awas aja kalau enggak, Rendra nggak mau temenan sama ayah!" lanjut anak itu dengan tatapan mengintimidasi.

"Ayah janji, tapi jika memang itu diluar kendali ayah," tawa pria itu semakin besar.

Rendra melempar stiknya kembali, berdiri seraya menghentakkan kakinya kesal. "Kan! Rendra nggak mau ah! Pokoknya ayah harus kalah, titik!"

Tawa Tiger terhenti, jujur saja ia ingin tertawa lebih keras saat melihat sang anak yang begitu menggemaskan saat sedang marah.

Perlahan, ia menarik tangan putranya agar kembali duduk. "Iya, sayang. Ayah janji,"

Remaja kecil itu tak menjawab, hanya menatap sebal ke arah duda kaya itu.

"Ayah janji, hm ... Janji," jelasnya seraya mengacungkan jari kelingking panjangnya.

Dengan terpaksa Rendra menautkan jarinya, kemudian bergumam kesal, "Awas aja kalau ayah menang, kita nggak temenan! Titik!"

Tiger mengangguk. Ia ingin tertawa lagi, tapi takut jika putranya akan semakin kesal.

Tiger melirik ke arah anaknya, bibirnya bergumam sangat lirih, "Persis seperti ibunya." diulasnya senyum manis bak gula.

🐱🐯

Tbc

Maaf sekali lagi, atas pergantian alurnya 🙏

I purple u

Selamat malam semua ...

Salam hangat dari Rendra, muahhaha

Mimpiin Rendra ya! Awas aja kalau engga, Rendra marah!

Don't Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang