CHAPTER 1

128 29 2
                                    

Riuh tepuk tangan menggelora di lapangan sekolah, ketika pembina upacara mengumumkan Gemintang Utara sebagai juara di Olimpiade Sains Nasional tahun ini. Dari luar, yang menjadi pusat perhatian terlihat menikmati momen kebanggaan itu. Tetapi sebenarnya, ia merasa gugup karena meskipun telah terbiasa menghadapi momen seperti ini, tetap saja sisi introvert-nya akan bergejolak penuh kontra.

Gemintang selalu berpikir bahwa apa yang dia lakukan serta merta karena memang kegemarannya, dan bukan untuk dibangga-banggakan.

Tapi ya... tentu saja, realita berkata lain sebab sekolah tak ingin kehilangan kesempatan menambah koleksi piala di lemari kaca. Membangun citra baik di depan publik agar ketika penerimaan siswa-siswi baru, dapat menggaet murid-murid lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Membayangkan skenario itu, Gemintang menghela nafas. Batinnya sudah berteriak meminta kembali ke barisan. Tapi ternyata sang kepala sekolah belum mau membiarkan. Mereka hendak berfoto bersama dengan piala yang ditatapnya sedari tadi, terbujur di atas meja dengan tinggi lumayan mencolok.

Wajah Gemintang mulai berkeringat, kedua matanya semakin menyipit karena matahari mulai menuju masa kejayaan.

Sejenak, sebelum suara kamera mengudara, dua mata lelahnya mengedar ke arah barisan di hadapan.

Seorang murid lelaki mengacungkan jempol ke depan muka, lantas menyengir lebar, memberi semangat 45. Berdiri di baris ketiga dari depan, kehadirannya hampir luput dari visual yang dipandang Gemintang. Namun, ia sudah hafal sikap ketengilan itu milik siapa. Ditambah kedua mata berbinar takkan memandang hal lain, selain si pusat perhatian seantero sekolah.

Fajar Malam, seorang.

Asumsi awal, cengiran dan acungan jempol itu dikira akal-akalan saja. Hendak menggoda sang utara karena terpanggang di bawah mentari, sedangkan lelaki itu sendiri tertutup rimbun pohon yang sejuk. Namun, Gemintang Utara tertegun melihat sebuah senyuman hadir tak lama kemudian. Senyum yang bukan mengejek, melainkan serupa lengkung sabit walaupun langit saat itu masih teramat cerah.

"Keren banget," ucap Fajar tanpa suara dari kejauhan, memastikan yang diajak bicara bisa membaca bibirnya. "Gue bangga sama lo!"

Sang malam memperlihatkan kekuatannya, bahwa ia mampu membuat sang utara bersinar tanpa harus bertindak memuji penuh suara.

Meskipun hanya dua kalimat singkat, jelas, dan padat, tapi bagi Gemintang Utara perkataan itu jauh lebih berarti daripada keramaian yang mengitarinya saat ini. Bumi seakan berputar melambat, sebab di telinga si pusat perhatian hanya bergaung ucapan Fajar Malam yang berhasil menguasai alam bawah sadarnya.

CKREK! CKREK!

Gemintang Utara berhasil mengutas senyum di depan kamera.

Bapak kepala sekolah menganggap lengkung sabit itu diutarakan sebagai ekspresi kemenangan atas prestasinya begitu cemerlang. Para murid juga berpikir hal yang sama, bahwa tepat di kala itu, si pusat perhatian memang sedang berbahagia. Namun, sekali lagi, ada sosok yang menyadari makna lain di balik senyuman itu. Sang fotografer yang beberapa saat kemudian melihat-lihat hasil jepretannya, menemukan Gemintang tak memandang ke arah lensa.

Melainkan pada sosok di belakang kamera, yang juga melempar kebahagiaan lebih baik dari seluruh peserta apel pagi pada hari itu.

"Namanya juga remaja..." gumam si fotografer sambil menggelengkan kepala. Mulai berpikir alasan masuk akal perihal ketidaksempurnaan potret bersama demi menangkal sang kepala sekolah; jika ditanya.

.

.

.

To be continued . . .

BINTANG FAJAR • geminifourth ✖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang