CHAPTER 2

102 23 0
                                    

Angin berhembus menimpa wajah Gemintang Utara; menghasilkan helaan nafas lega yang tak lagi gusar.

Lapangan sekolah sudah menjelma sepi. Hanya ditemui segerombolan murid berseragam olahraga mendengarkan guru di lapangan futsal seberang koridor utama. Gemintang menikmati momen ketenangan ini, memandangi sekitarnya yang bertolak belakang dari peristiwa tadi ketika amanat upacara dilangsungkan.

Sejujurnya, kalimat penuh dukungan yang dilontarkan Fajar Malam membuatnya deja vu sesaat.

Setelah dipikir lagi, mencari tahu dari mana ia pernah mendengarnya, ternyata dulu kedua kalimat itu pernah keluar dari bibirnya sendiri. Tepat di waktu mereka kembali bertemu untuk kedua kali, di ruang BK yang kebetulan bertempat di sebelah koperasi siswa.

Imaji di kepala Gemintang melayang-layang, tersenyum sendiri mengingat alasan pertemuannya dengan Fajar Malam justru tak jauh dari maksud penunjang edukasi belaka.

Semester genap dua tahun lalu, bel sekolah berdering menandakan istirahat pertama telah usai.

Dalam perjalanan menuju kelas, Gemintang Utara dicegat salah satu guru BK yang sangat dikenalinya. Wanita paruh baya itu meminta sang juara kelas mengikuti ke ruangan segala konflik di sekolah bersemayam. Sempat berpikir tentang masalah apa yang telah dilakukan, meski rasanya mustahil bahwa seseorang seperti dirinya-menurut pandangan awam-pernah melanggar peraturan yang diberlakukan.

"Loh, Utara?" tanya seseorang terduduk di sofa dalam ruang. Berkata suara yang khas, otomatis membuat Gemintang Utara menoleh dan membulatkan mata. "Ngapain lo-"

"Fajar, kalian sudah saling kenal?" Sang guru BK memandang kedua muridnya yang ternyata sama-sama melempar pandangan familiar. Vokal yang terucap dipenuhi keheranan yang bisa ditebak menuju pada satu kata milik si lawan bicara. "Dan siapa... Utara?"

"Nama lengkap saya Gemintang Utara, Bu."

Dalam hati, Gemintang memohon kepada Tuhan, kalau ingin segera menyelesaikan momen ini sebagaimana mestinya. Sudah cukup rasanya jika harus menjelaskan panjang lebar di balik tradisi mengucap nama belakang dengan sang malam.

Namun... untung saja, segera dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Sebab wali kelas Fajar, yang ternyata juga ada di sana, segera membuka pembicaraan. Dari romannya, bisa diambil kesimpulan, ingin kembali pula ke kelas karena harus balik mengajar.

Usut punya usut, alasan Gemintang diundang kemari begitu sederhana. Rupanya wali kelas Fajar khawatir perihal nilai muridnya yang tak mengalami perkembangan di pelajaran lintas minat.

Sempat terjadi sanggahan, di mana sang malam mengujar protes atas bagaimana bisa telah menjadi murid IPS, tetapi masih mendapatkan pelajaran IPA. Respon sang guru BK hanya tersenyum, dalam batin memaklumi karena telah biasa menghadapi murid seperti Fajar. Sangat berbeda dengan si wali kelas yang menatap penuh teguran, lantas sesekali melihat ke arah jam tangannya-gelisah.

"Bu Rani, sebenarnya saya ingin berlama di sini, mendampingi Ibu dan anak-anak. Tapi sebentar lagi saya harus-"

"Oh ya, silahkan, Bu Dyah." Bu Rani, sang guru BK ikut berdiri ketika wali kelas Fajar juga beranjak dari sofa. "Ibu tidak perlu khawatir dengan Fajar, karena saya yakin Gemintang bisa membantunya sebagai teman belajar."

Sang utara mengedipkan matanya beberapa kali, mendapati Bu Rani tersenyum entah menuju arahnya atau kepada Fajar yang juga sama-sama menoleh ke arah pintu.

Tetapi yang jelas, Gemintang Utara paham makna lain di balik simpulan yang dilayangkan si guru BK. Sedangkan lelaki di sampingnya, hanya bisa memiringkan kepala lantas balik memandang sang utara dengan tatapan yang... bisa dibilang, mencurigai sesuatu.

"K-Kenapa?" celetuk Gemintang seraya kedua mata berkedip beberapa kali. "Kacamataku berembun?"

Bunyi tepukan telapak terdengar di dalam ruangan. Fajar Malam baru saja menepuk dahinya yang juga tertutup surai lembut berjatuhan. Wajahnya menunjukkan ekspresi tak percaya, kalau lelaki di depannya ini menanyakan sesuatu yang jelas berlainan maksud dengan arti sebenarnya dari tatapan tadi. "Kok gak paham sih?" protesnya.

"Kamu kan belum ngomong?"

Helaan nafas gusar dilakukan. "Ya nggak salah sih..." gerutu Fajar, kemudian berdecak. "Tapi masa gak ngerti sama sekali?"

"Kamu mungkin gak suka sama saran yang dikasih Bu Rani nanti."

"Apa?"

"Tutor sebaya dan... latian soal matematika IPA."

Satu detik.

Dua detik.

Detik ketiga menginjak, langkah diri sang malam bertolak secepat kilat berdiri dari sofa yang empuk luar biasa.

Gerakan mendadak itu sampai membuat Gemintang sedikit terlonjak, dan otomatis pusat visualnya mengikuti gerak-gerik Fajar Malam yang terlihat enggan berlama-lama menetap.

"Malam!" seru Gemintang Utara ketika disadari kemudian, lelaki yang dipanggil namanya sudah berada di ambang pintu ruang khusus bimbingan akademik. "Mau ke mana?!"

"KABUR KE KUTUB UTARA!"

.

.

.

To be continued . . .

BINTANG FAJAR • geminifourth ✖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang