new york

214 29 2
                                    

Junmyeon mengamati rundown acara hari itu, mengernyit pada sebuah keterangan di tengah-tengah. Sambutan dari pemilik startup; ada tiga orang. Yang pertama pemilik layanan kesehatan daring, kedua pemberi layanan geriatri, dan yang ketiga adalah penyalur pakaian yang berkaitan dengan kampanye slow-fashion.

Terdengar asing, tetapi menarik. Junmyeon merasa perlu untuk menyimak.

*

Tenang, Juhyun. Tenang. Kamu bisa melakukannya. Easy-peasy, piece of cake. Hadirinnya kebanyakan orang Korea juga. Tenang.

Juhyun menaiki podium. Matanya menyapu sekeliling, berhenti sebentar pada tulisan besar di bagian belakang aula pertemuan; Google Inc. Sebuah kerja sama kantor cabang Google dengan asosiasi pengusaha muda di Korea Selatan, yang mengundang pegiat bisnis di bawah empat puluh lima tahun yang menjanjikan, atau memiliki ide yang tak biasa, untuk hadir di kantor New York.

Ia menghela napas sebelum memulai sambutannya.

"Selamat siang, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk hari ini. Saya benar-benar terkesan bisa berada di sini. Saya Bae Juhyun, akan memperkenalkan bisnis pemula yang saya kelola dua tahun belakangan."

Matanya tertuju pada salah satu wajah yang familier. Ia pernah melihatnya beberapa kali di pertemuan rutin asosiasi, tetapi tak pernah benar-benar bicara dengannya. Hanya kontak mata tanpa kata. Orang itu menyimaknya dengan sungguh-sungguh, membuat rasa percaya dirinya mendadak naik.

"... Tren mode pada sepuluh tahun belakangan, didukung dengan kemudahan berbelanja secara daring, telah mendorong pada gaya hidup fast fashion. Tersedianya banyak model, gaya, dan cepatnya perubahan tren, mendorong anak-anak muda untuk terus mengikuti arus mode yang berubah begitu cepat. Lemari begitu cepat penuh, orang-orang cepat sekali bosan untuk mengikuti perubahan yang ada ...."

Orang itu terus menatapnya. Pikiran Juhyun terbagi dua, antara mengingat nama orang itu dan berfokus pada pidatonya. Siapa ... siapa ya? Kim ....

Ia terdiam sesaat. Ketika orang itu menelengkan kepalanya, barulah ia sadar untuk melanjutkan.

"Produksi dari pabrik yang mengikuti tren mode yang berubah begitu cepat dalam satu tahun bisa mencapai empat puluh macam produk. Limbah dan pemrosesan yang melanggar hak-hak pengupahan ini adalah satu hal, dan hal lain yang mengkhawatirkan adalah pakaian jadi yang terbuang karena produk dari fast fashion biasanya berkualitas rendah, berasal dari bahan baku yang buruk, dan tidak tahan lama. Ada begitu banyak dampak fast fashion mulai dari bahan baku yang menghasilkan mikroplastik, hingga perilaku boros dan ketidakpuasan karena arus yang tercipta ...."

Kim mengangguk-angguk. Juhyun mendapatkan keberaniannya kembali.

"Dengan latar belakang pendidikan dan bisnis keluarga saya yang berkaitan erat dengan mode, saya memiliki passion untuk tetap menjaga lingkungan dan cara hidup yang berkelanjutan dengan mendirikan startup yang mengumpulkan donasi pakaian layak pakai, untuk meredam arus fast fashion, dan mengumpulkan para pegiat muda untuk mengelola pakaian tersebut agar bisa disalurkan kembali. Pada intinya, saya sedang menggalakkan prinsip recycle dalam bisnis yang saya geluti ...."

Seseorang mengajukan pertanyaan, "Apakah ini seperti jaringan bisnis thrift store?"

"Ya," Juhyun menjawab dengan nada mantap, "kami juga memiliki jaringan thrift store, tetapi kami juga menerima pakaian yang harus dirombak kembali karena berbagai faktor akibat pemakaian, sehingga kami juga bisa menyebut diri kami sebagai re-designer."

Kim Junmyeon. Juhyun akhirnya mengingatnya. Orang itu sedang mencatat sesuatu di tabletnya.

"... Jadi, saya berharap saya dapat membuat perubahan, meredam arus yang terlalu cepat, menyokong gaya hidup yang berkelanjutan, sekaligus berbisnis." Ia menutup pidatonya sambil tersenyum kecil. Secara naluriah, matanya mengarah pada pria tersebut.

Dia juga tersenyum, mengangguk, kemudian memulai tepuk tangan.

Seisi ruangan mengikutinya. Juhyun membungkuk hormat.

*

Junmyeon sudah mengingat namanya. Bae Juhyun, dan menghafalnya di luar kepala. Ia tampak menepi dari orang-orang yang bercengkerama saat menikmati hidangan di coffee break. Ia sendirian, mengamati sekeliling sambil minum.

"Bae Juhyun?" Junmyeon mendekati. Dia tersenyum. "Aku tertarik dengan bisnismu. Sepertinya menarik. Apa kamu membuka kemungkinan kerja sama?"

"Oh, Kim Junmyeon. Benar?" Juhyun terlihat percaya diri dengan senyuman yakinnya. "Bagian dari Kim Electronics?"

"Ah, benar." Junmyeon mengangguk sambil mengangkat gelasnya. Dia minum sambil terus menatap Juhyun. "Tapi aku lebih senang dikenal melalui usahaku sendiri. Aku memulai bisnis yang bergerak di bidang konsultan finansial."

"I see." Juhyun mengangguk-angguk.

"Pidatomu bagus, aku terkesan. Dan bisnismu ... out of the box. Keren sekali, sangat luar biasa. Kamu visioner."

Juhyun menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Ia menundukkan pandangannya sedikit. "Terima kasih." Ia menghela napas, kemudian menegakkan punggungnya. "Aku sempat takut—ini kali pertamaku menyampaikan pidato di tingkat internasional."

"Tapi kamu melakukannya dengan baik dan menarik," Junmyeon menyakinkan. "Kalau kamu membutuhkan bantuan untuk bisnismu, kontak aku kapan saja. Boleh minta nomor teleponmu?"

Juhyun mengangguk. "Silakan. Kusebutkan, ya."

*

Juhyun baru menyadari beberapa menit kemudian, setelah pembicaraan mereka mulai merambat ke berbagai hal di luar bisnis: ia memberikan nomor telepon pribadinya dan bukan nomor bisnis. Meralatnya adalah hal yang tidak mungkin—memalukan, pikirnya.

Junmyeon adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Dia bisa mengarahkan pembicaraan ke hal-hal yang menarik, dan Juhyun tak perlu kerepotan mencari topik. Junmyeon adalah tipe pembicara dan pengarah yang baik dan berkharisma, pikir Juhyun. Dia pasti bisa menjadi seorang pemimpin.

"Ayo. Mereka sudah berkumpul lagi." Junmyeon mengedikkan dagu ke arah tempat duduk. Waktu rehat telah berakhir, dan moderator bersiap untuk kembali meneruskan acara. "Bersedia untuk duduk di sampingku? Mungkin kita bisa berbagi lebih banyak hal lagi."

Juhyun mengangguk, meski dengan sungkan. "Sebuah kehormatan untukku."

Junmyeon adalah tipe penyimak dan pendengar yang baik, pikir Juhyun kemudian. Di sepanjang acara, Junmyeon sangat tenang dan mendengarkan dengan saksama.

Pada sesi terakhir untuk berfoto bersama pun, Junmyeon kemudian mengajaknya seta untuk berdiri di sisinya. Seolah-olah mereka telah berkenalan lama, telah menjadi teman sebelum memulai acara ini.

"Kapan pulang?" tanya Junmyeon begitu mereka membubarkan diri, dan menuju lift untuk kembali ke kamar. "Aku sih besok. Direct flight ke Narita. Apa kita satu penerbangan? Rekan-rekanku menunda untuk pulang. Sayang sekali, aku harus pulang duluan.

"Ah, aku juga besok, pukul sebelas. Apa kita sama?"

"Wah, kebetulan sekali." Junmyeon tersenyum lebar. "Berangkat sama-sama, ya. Jemputanku datang pukul delapan besok. Mungkin terlalu cepat, tapi aku memang ingin menghabiskan waktu di bandara. Aku ingin membeli beberapa barang." Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Juhyun untuk berbisik, "Ibuku suka kue-kue yang dijual di bandara sini. Banyak sekali titipannya."

Juhyun tertawa kecil. "Oke, aku mengerti." Ia tidak bisa menghentikan dirinya dari menatap mata Junmyeon. "Terima kasih atas tumpangannya."

"Jangan terlalu dipikirkan."

Juhyun membuka ponselnya sembari menunggu lift. Ketika kuncinya terbuka, posisi menu masih berada di foto yang baru saja dibagikan melalui airdrop untuknya. Ia berada agak ke sudut, dan Junmyeon berada tepat di samping kanannya. Tidak ada seorang pun di sebelah Junmyeon lagi.

Ia mengunci lagi ponselnya, tersenyum.

conditional loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang