Juhyun mendesain pakaiannya sendiri, juga setelan untuk Junmyeon. Tidak terlihat seperti pakaian pengantin pada umumnya—miliknya hanya seperti tea party dress dengan warna putih gading—yang menyampaikan pada sekitar tentang maksud dan harapannya tentang hari itu. Buketnya sederhana dan kecil, dan bunga yang sama ia ambil untuk boutonniere, mawar kuning cerah yang berarti persahabatan.
Pengambilan sumpah pernikahan dilakukan ketika kapal berlayar di sekitar Santorini.
Juhyun hanya tersenyum ketika hadirin meminta mereka berciuman. Junmyeon melirik para tamu, kemudian Juhyun. Mereka saling mengangguk, dan bibir Junmyeon pun mendarat di kening Juhyun. Mereka bertukar senyum, dan tatapan mengerti. Tamu bersorak kecewa, tetapi keduanya mengabaikannya.
Jamuan dilakukan saat menjelang senja, hidangan disajikan di meja-meja bundar yang ditata di bagian atas kapal. Juhyun sengaja tidak makan, hanya mengambil segelas minuman, dan menepi untuk menikmati langit.
"Hei."
Junmyeon menghampirinya bertopang pada birai sambil membawa gelas dengan minuman serupa. Dia menatap Juhyun dalam-dalam, sebelum mengajak wanita itu bersulang. Juhyun menyambutnya dengan hati ringan. "Hei."
Juhyun minum dengan santai. Mereka sedang berlayar ke arah barat, matahari tepat berada di depannya. Cahaya keemasan memantul dari permukaan laut, seperti ribuan koin emas yang berkilauan. Warna minuman di gelasnya menjadi jingga, ketika ia mengarahkan gelasnya pada matahari. Sebuah kepuasan untuk bisa tenang setelah serangkaian acara yang membuatnya sulit tidur tadi malam.
"Kamu bahagia?"
Juhyun mengangguk satu kali. "Ya." Kemudian, ia menunduk. "Terima kasih sudah menanyakannya."
"Itu kewajibanku."
Juhyun menoleh. "Kamu bahagia?"
"Ya." Junmyeon mengangguk, kemudian membeo. "Terima kasih telah berusaha memastikannya."
Juhyun pun tertawa kecil. "Itu kewajibanku."
Junmyeon minum. Juhyun memandangi sisi wajah Junmyeon yang dibasuh cahaya dari langit sore. Wajahnya tenang dan puas, mengatakan banyak hal tentang hari ini. Dia menyadari tatapan Juhyun, lantas menoleh. "Kenapa memandangku lama-lama? Sedang membiasakan diri?"
Juhyun bergeser untuk mendekat pada Junmyeon—sebuah naluri karena angin senja membuatnya agak kedinginan. "Memang harus begitu, kan?"
Junmyeon mendekatkan bibirnya pada telinga Juhyun. "Aku bisa tidur di sofa malam ini."
"Jangan. Biar aku saja."
"Tidak, tidak akan kubiarkan. Aku saja."
"Ya sudah, kita tetap di kamar masing-masing saja, bagaimana?" tawar Juhyun. Mereka menyewa dua kamar yang dengan connecting door, dengan alasan untuk menaruh barang-barang dan pakaian untuk hari ini. Sejak malam pertama pelayaran, mereka tetap tidur terpisah. "Tidak akan ada yang curiga. Tidak usah mengikuti formalitas bahwa setelah sumpah kita harus berada di dalam tembok kamar yang sama."
Junmyeon tertawa, membuat sebuah kesimpulan yang sudah sangat gamblang sejak awal, "Kita cuma orang dewasa yang kebingungan."
*
Juhyun sedang memasukkan pakaian yang baru saja diantarkan oleh layanan laundry ke dalam kopernya ketika Junmyeon membuka pintu penghubung dan menghampirinya.
"Halo." Dia hanya melepaskan jasnya, masih memakai kemeja putih yang diselipkan rapi ke dalam celananya. Juhyun tak bisa menahan diri dari memandang Junmyeon dari ujung kepala hingga separuh badannya. Menakjubkan karena ketika dia melepas jasnya, dia jauh lebih atraktif.
"Ini, untukmu," dia membuyarkan lamunan Juhyun dan menyerahkan setangkai mawar kecil berwarna kuning untuknya. Boutonniere yang dia pakai di jasnya sebelumnya. Dia tersenyum, Juhyun menerima benda itu dengan perasaan yang campur aduk.
Juhyun menatap mawar di tangannya. Mawar kuning, persahabatan yang erat, makna yang lekat hanya bagi yang mempercayainya. Ia mengerjap, dan tahu-tahu, Junmyeon telah menuju pintunya kembali.
"Junmyeon-ah."
"Hm?" Dia menoleh, wajahnya ringan, tidak ada beban apapun yang terlihat di sana. Juhyun berharap bahwa yang di dalam adalah tetap sama dengan yang terlihat.
"Maaf, ya. Aku menjebakmu dalam situasi yang tidak biasa ini."
"Ini bukan menjebak. Kita secara sadar membuat keputusan ini, kan?" Senyum Junmyeon tidak luntur.
"Kita adalah orang dewasa yang menandatangani perjanjian karena takut akan kesepian," ia tertawa kecil.
"Bahasa mudahnya, Juhyun-ah, menikah."
"Apakah kamu mencintaiku?"
Junmyeon bersandar pada bingkai pintu. "Aku tidak bisa memungkiri bahwa, ya, benar, jawabannya ya." Dia menyilangkan tangan di depan dadanya. "Tapi dalam bahasa dan budaya Inggris, ada istilah unconditional love. Cinta tanpa syarat. Tapi bagiku, bagi kita, kita memiliki conditional love. Dengan syarat."
"Ketika pertama kali melihatku, apakah cinta itu yang kamu rasakan?"
"Aku tertarik padamu, aku jujur. Tapi aku tidak tahu apakah cinta itu bisa menjadi dalam atau tidak. Kemudian kamu menawarkan hal seperti ini. Mengapa tidak, jika aku bisa memiliki seseorang yang menarik?"
Sangat penuh syarat, pikir Juhyun, terdengar seperti bisnis. Tapi ia tidak bisa memungkiri, mereka tumbuh besar dan tumbuh dewasa dengan kondisi seperti itu.
"Tapi, namanya tetap cinta. Conditional love," Juhyun tersenyum sambil memutar mawar itu di jarinya. "Jika salah satu wujud cinta adalah merasa nyaman bersamamu, maka, ya, aku juga merasakan hal yang sama. Conditional love."
Junmyeon beranjak dari bingkai pintu, melangkah menuju Juhyun. Dia mengulurkan tangannya, dan Juhyun menyambutnya. Mereka berdiri berhadapan, dan Junmyeon pun mengecup jari manisnya, tempat dia menyelipkan cincin tadi sore. "Keadaan kita mengarahkan kita untuk tidak terbiasa pada cinta, kasih sayang. Kita hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Tapi mungkin ... ikatan ini akan membuat kita terbiasa."
Juhyun mengangguk, dan ia maju, berjinjit untuk mengecup pipi Junmyeon. "Terima kasih telah bersamaku dalam hal ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
conditional love
FanfictionDunia mereka penuh kesibukan, tetapi bukan berarti mereka tidak membutuhkan teman hidup, tetapi Junmyeon dan Juhyun hanyalah dua orang dewasa yang kebingungan.