Junmyeon mengikuti ayahnya dengan langkah yang semakin pelan. Ayahnya masih bersemangat sekali di bawah terik, memukul bola dan menghabiskan babak.
"Kudengar," ayahnya memicingkan mata, menaungi topinya dengan telapak tangan untuk melihat arah bola golfnya melambung, "kamu membuat kerja sama dengan sebuah rumah mode."
"Bukan rumah mode." Junmyeon bertumpu pada tongkatnya. "Startup yang berfokus pada pengolahan kembali tekstil bekas pakai. Seperti thrift store tetapi ada pemrosesan kembali."
"Siapa yang punya?"
"Putri desainer Bae. Ingat yang kuceritakan pada Ayah waktu itu? Yang kutemui di acara pertemuan pemilik startup yang diselenggarakan Google."
Ayahnya menoleh pada Junmyeon. "Kurasa aku cukup ingat. Bisnisnya menarik, tampaknya keluarga Bae memang visioner. Ibunya seorang desainer, dan ayahnya eksportir, begitu kalau tidak salah ingat? Ibumu yang paling tahu."
Junmyeon mengeluarkan ponselnya, membuka galeri foto dan menunjukkannya. "Ini orangnya. Bae Juhyun."
Ayahnya mengangguk-angguk. "Cantik. Apa dia single?"
"Kelihatannya begitu." Junmyeon tersenyum simpul. "Aku sering berkunjung ke kantornya atau makan siang bersamanya. Kurasa dia memang belum punya pasangan."
Sang ayah berjalan dengan santai. Junmnyeon mengikuti. "Mungkin sudah saatnya, Myeon-ah."
"Aku menunggunya." Junmyeon tanpa sadar tersenyum. "Mungkin, jika dia bersedia membuka dirinya."
"Dia tertutup?"
"Kelihatannya dia sangat membatasi hubungan di sekitarnya. Dia cuma punya beberapa teman dekat, dan bawahannya tampak segan dengannya."
"Jalani saja terus." Ayahnya menoleh sebentar. "Mungkin sesekali kita bisa makan bersama." Dia memandang begitu jauh. "Aku dan ibumu sudah tua, Myeon-ah."
Senyum Junmyeon memudar. "Aku tahu."
*
Senyum Juhyun adalah yang selalu dia nanti setiap kali dia membuka pintu.
Hari itu, sengaja dia membuat sebuah candaan. "Selamat siang. Bisa ketemu Ibu Bae?"
"Dia sedang sib—ah, kamu." Juhyun, begitu menoleh ke pintu, barulah menyadari bahwa yang datang bukan tamu biasa. Ia berputar di kursinya. "Halo. Sori," ia menunjuk pada komputernya, "sibuk. Sedikit. Ada permintaan khusus untuk mengirimkan tekstil ke daerah Afrika. Aku ... excited."
"Bagus sekali." Junmyeon menaruh lima kotak bento yang dibawanya. "Bagaimana ceritanya?"
"Ah, stafku baru saja keluar makan siang." Juhyun memandang kotak-kotak itu.
"Berikan pada satpam gedung, bisa. Juga satpam gedung apartemenmu."
"Oh, boleh?"
"Tentu saja." Junmyeon mengambil satu, kemudian membukanya. "Apa kita boleh ngobrol sambil makan?"
Juhyun langsung berdiri, "Oh tentu, tentu saja." Ia pun beranjak menuju pantry di belakang. "Aku ambilkan minum dulu. Apa kamu perlu sumpit?"
"Aku bawa sendiri." Junmyeon mengeluarkan kotak dari tasnya. "Terima kasih!"
Juhyun membawakan dua kaleng minuman soda dingin, dua botol air mineral, dan sekotak tisu.
"Seseorang dari Nigeria membaca website-ku. Kemudian mereka tertarik untuk memesan hasil recycle, untuk dipasarkan kembali di sana."
"Apa kamu memerlukan bantuan untuk ekspor ke Afrika? Konsultasi pajak untuk itu?"
Juhyun tersenyum simpul. "Ini bukan kali pertamaku, tapi terima kasih tawarannya."
"Mengirim ke Afrika?"
"Bukan, ekspor ke luar negeri, maksudku." Juhyun memulai suapan pertamanya. "Mm, ini enak. Beli di mana?"
"Enak, kan?" Junmyeon juga turut makan, senyumnya mengembang cerah. "Aku meminta pelayan di rumah Ayah untuk memasakkannya. Dia jagonya. Aku tumbuh besar dengan makanannya—dan bagiku dialah yang terenak. Namanya Bibi Dain. Dia sudah berada di rumah Ayah sejak mereka baru menikah."
"Wow." Juhyun mengunyah dengan pelan, menikmati bumbu pada potongan ayamnya. "Aku suka sekali. Apa aku bisa minta resepnya? Aku suka memasak."
"Oh, kamu suka memasak, Juhyun-ah? Mungkin sesekali kamu harus bawa masakanmu. Aku mau coba."
"Sungguh? Nanti ya, kapan-kapan."
"Kabari saja kalau kamu memasak dan membawa lebih. Biar nanti aku datang tanpa bawa apapun."
Juhyun makan dengan tenang selama beberapa saat. Ia memandangi kotak makannya sambil terus makan. "Junmyeon-ah."
"Ya?"
"Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot."
"It's okay. Orang-orang di kantorku membosankan. Mereka makan sendiri-sendiri. Atau bawa bekal dari rumah."
"Kamu tidak punya teman lain untuk dibawakan?"
"Teman lain, banyak," Junmyeon mengangkat bahu, "tapi hanya ada sedikit yang aku bersedia membawakan makanan untuk mereka."
"Tapi kamu memilih ke sini." Juhyun mengerling.
"Karena aku tertarik padamu."
Mudah, singkat, dan tanpa basa-basi. Juhyun sudah terlalu lama tidak memiliki hubungan spesial dengan orang lain, sehingga ia bertanya-tanya, sampai menghentikan makannya.
Apakah ini yang dimaksud dengan hubungan orang dewasa? Tidak ada kucing-kucingan seperti remaja yang ragu. Orang-orang dewasa adalah orang-orang yang telah mengetahui apa yang mereka inginkan, telah memahami apa saja yang mereka raih dan dan lalui, sehingga ya akan berarti ya, dan selain dari itu, hanya ada tidak.
Ada banyak spektrum pada hubungan orang dewasa, tetapi orang-orang dewasa begitu mudah untuk tahu bagian mana yang akan mereka pilih—karena mereka telah mengalami dan mengerti banyak hal.
Hati nuraninya bertanya, apa yang kamu cari setelah ini?
"Tertarik?" Bae Juhyun, kenapa kamu malah bertanya begini?
Junmyeon sengaja berhenti makan untuk menatapnya. "Ayah ingin mengundangmu makan malam."
"Benarkah?"
"Mungkin Ayah tertarik dengan bisnismu." Junmyeon mengukir senyum. "Kelihatannya begitu. Katanya, keluarga Bae visioner. Aku cerita tentang pekerjaanmu."
Juhyun mengulum senyumnya, ia berharap wajahnya tidak tersipu. "Jadi ini akan jadi pertemuan bisnis?"
"Mungkin begitu." Junmyeon lanjut makan, sekadar untuk menutupi rasa yang bergejolak di dalam dadanya. "Tapi bukan hanya itu."
Juhyun meletakkan sumpitnya sebentar. "Jadi?"
"Jadi?"
Juhyun mendeham. "Maksudku—"
"Ah, aku mengerti, Bae Juhyun. Aku mengundangmu ... hanya jika kamu siap. Hanya jika kamu bersedia—dan mengerti bahwa aku tertarik padamu secara khusus."
"Kim Junmyeon." Juhyun menunduk sebentar, memandang pada jari-jarinya di atas meja. "Aku senang kamu bersedia jujur, dan tertarik padaku ... itu sebuah kehormatan. Tapi aku adalah orang yang memerlukan pembiasaan." Ia memberanikan diri mengangkat pandangannya. "Aku perlu waktu. Aku harus membiasakan diri dengan orang baru—dan aku tidak akan keberatan jika kamu mundur hanya karena tidak bersedia menunggu ...."
"Kalau begitu, Bae Juhyun bersediakah kamu menerimaku untuk membiasakan diri satu sama lain?"
Juhyun diam cukup lama, tetapi tatapannya pada mata Junmyeon membuat pria itu tersenyum. "Rumit juga. Tapi ... aku mengerti." Ia mengangguk. "Maaf kalau aku adalah orang yang rumit—"
"Setiap orang berbeda. Jangan minta maaf."
Juhyun melanjutkan makannya. Sesaat, ini terasa seperti ikatan politik dan bisnis. Namun ini tidak seburuk yang pernah dibayangkannya. Jika memang hal itu adalah awal dari ikatan yang lebih baik, maka ia akan berhenti memikirkan stereotipe.
KAMU SEDANG MEMBACA
conditional love
FanfictionDunia mereka penuh kesibukan, tetapi bukan berarti mereka tidak membutuhkan teman hidup, tetapi Junmyeon dan Juhyun hanyalah dua orang dewasa yang kebingungan.