"Makasih, kalian udah nganterin." Fahma berucap dengan seulas senyum.
Hana mengangguk-anggukkan kepala dengan mimik wajah kecut. “Kalo itu orang macam-macam, gue—“ ujarnya sembari memeragakan garis lurus di antara lehernya.
"Iya, iya, kali ini nggak akan," potong Fahma.
"Gue nggak yakin," sahut Hana yang masih tidak rela kalau sahabatnya itu memilih pulang ke rumah.
"Harus yakin dong! Ya, nggak Mas Hadi?"
"Nggak usah nyari dukungan cowok gue, ya!"
Fahma tetap terkekeh melihat ekspresi Hana yang merajuk padanya. Akan tetapi, tak apa. Sehabis pulang dari sini pun teman baiknya itu pasti akan menghubungi dan bersiap menginterogasi dirinya lagi.
"Gue masuk ya, Han."
"Ya udah sana masuk."
Fahma kemudian melirik pada Hadi, pacar Hana yang sudah ia repotkan.
"Makasih ya, Mas," ucap Fahma lagi dan Hadi hanya membalasnya melalui anggukkan.
Hingga di menit berikutnya, Fahma menyaksikan lambaian tangan Hana dan suara klakson dari kendaraan beroda empat itu perlahan menjauh dari kompleks tempat Fahma tinggal.
Wanita itu sempat melirik sekilas sebelum dirinya menggerakkan tungkai kaki dan mendorong pagar besi berukuran cukup tinggi. Namun, Fahma melihat suasana rumah tampak sepi.
Bahkan di garasi pun mobil milik suaminya itu tak terparkir di sana.
"Apa jangan-jangan mereka pergi berdua? Di saat seperti ini? Apa mereka benar-benar puas sekali saat aku nggak ada di rumah?" Fahma bermonolog sendiri dengan berbagai spekulasi yang mendadak bermunculan.
"Tentu saja! Mereka saling suka, bahkan tidak mengharapkanku sama sekali," gerutunya lagi.
Membuat badannya yang masih demam itu bertambah panas lagi. Sebab, Fahma nyaris menangis saat ini. Di antara kedua bola matanya yang indah itu saja sudah berkumpul cairan bening yang siap meluncur bebas di pipi.
Sedang meratapi kesedihannya sendiri, terdengar suara kendaraan dari luar pagar. Hingga di menit berikutnya, sayup-sayup suara obrolan dari balik pintu besi itu.
Segera, Fahma berdiri dari duduknya untuk menghampiri orang-orang yang entah siapa.
“Cari sia ... pppa—“Suara Fahma sempat menggantung di udara ketika netranya menangkap nenek dari suaminya yang datang.
"Nenek," sambungnya menyapa.
"Fahma, bagaimana kabarmu?” tanya Nenek dengan langkah kaki kian mendekat.
Fahma tidak langsung menjawab pertanyaan barusan. Tidak mungkin kalau dirinya jujur sekarang, mengatakan bahwa dirinya baru saja pulang dari rumah sang teman.
"Nenek, kok malam banget ke sininya?" Wanita dalam balutan sweater milik Hana itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Tadi Nenek kan sudah bilang mau menginap di rumah kalian. Apa Adi, nggak bilang apa-apa?"
Fahma masih tetap tidak langsung merespon. Dalam pikirannya, ia terus berusaha mencari cara supaya apa yang keluar dari mulutnya tidak menimbulkan kecurigaan.
"Ah! Iya, ya. Fahma ingat kok," tukasnya. "Ayo, Nek. Masuk di sini dingin,” ajak wanita itu kemudian meraih lengan sang nenek.
Hampir saja Fahma tidak bisa masuk ke dalam sebab pintu dalam keadaan terkunci. Beruntung, ia berhasil lolos karena melewati pintu samping.
"Silakan duduk, Nek. Oiya, Nenek mau minum apa?"
"Nggak usah, Fahma."
"Di luar dingin dan gerimis. Bagaimana kalau Fahma buatkan wedang?" usulnya memberikan penawaran.
"Ya, sudah, terserah kamu."
Fahma tersenyum senang. Ia lantas pergi melenggang ke dapur. Tangannya mengambil panci kecil lalu membasuhnya terlebih dahulu. Wanita itu sempat menggelengkan kepala sebab melihat piring-piring dan gelas kotor menumpuk di washtafel.
Mata indahnya itu lantas menyipit sengit. Merasa kejengkelannya makin berlipat ganda. Karena sudah bisa ia tebak siapa pelaku yang suka sekali mengerjai dirinya bak seorang babu.
Mengingat-ingat tentang perempuan sok berlagak seperti majikan itu, Fahma jadi teringat akan kamar tamu yang sudah hampir empat hari ditempati oleh Jelita.Segera Fahma mengurungkan niat untuk membuat wedang dan berlari menuju kamar yang letaknya ada di dekat tangga.
Tangannya mendorong tuas pintu, sepasang matanya yang masih memicing itu kembali meneliti setiap inci ruangan. Bau wanita menjengkelkan itu masih menempel kuat. Namun, dia tidak menemukan satu pun benda milik Jelita tergeletak di area sudut kamar.
Setelah memastikan bahwa Jelita tidak benar-benar ada di rumah, Fahma segera merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Tangan dan matanya begitu lincah mencari nama sang suami yang ia beri nama "Suami Bodo Amat"
Begitu mendapati nama dan nomor yang dicari, Fahma mengeklik tanda hijau lalu menempelkannya di telinga kiri.Kali ini, dirinya mau tidak mau harus menyusun rencana supaya neneknya tidak curiga dan tetap mengira bahwa rumah tangganya baik-baik saja.
Fahma tidak mau melihat nenek kecewa karena dirinya gagal membina hubungan bersama cucu kesayangannya. Meski ia begitu dibenci dan diperlakukan jauh dari kata selayaknya. Ia berpikir lagi bahwa ada Ibu dan Nenek yang berharap pernikahan dirinya berhasil dilewati dengan baik.
Sementara itu, masih diantara jalanan yang jauh dari sunyi, Adhiyaksa mengambil ponselnya yang berbunyi dari atas dashboard. Lelaki itu menatap penuh keheranan saat mendapati nomor asing terpampang di layar telepon pintarnya. Lalu membiarkannya mati karena pria itu hanya mengabaikan saja.
Akan tetapi, sayangnya, suara deringan berulang untuk yang kedua kalinya. Hingga mau tidak mau, dengan nada penuh rasa malas, Adhiyaksa mengangkat sambungan telepon yang cukup mengganggunya.
"Siapa?" tanyanya tegas.
"Ini aku," ujar perempuan di seberang sana.
Merasa tidak asing akan suara itu. Adhiyaksa langsung secara refleks mengangkat punggungnya dari sandaran kursi jok kendaraan.
"Fahma?"
"Ya, ini aku istri kamu. Bukan Jelita yang mata sama mulutnya minta di jejelin sabun colek." Fahma mulai geram.
"Syukurlah, kamu akhirnya menghubungiku juga," sela Adhiyaksa merasa lega. Intonasi yang barusan kesal pun kini berubah jadi lebih halus.
"Eh!" Fahma yang mendengar itu menjadi ngeri sendiri. "Kerasukan setan jalanan atau kesurupan tuyul jago jajan?" sambung Fahma kali ini dengan raut wajah penuh keheranan.
Bersambung ....
![](https://img.wattpad.com/cover/334338957-288-k76952.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBIT
Literatura KobiecaAyudia Fahma menikah dengan seseorang yang tak menginginkan kehadirannya. Selama pernikahan berjalan, tak ada keramahan atau sikap selayaknya suami terhadap dirinya. Meski sadar begitu dibenci oleh pasangan sendiri. Fahma terus melawan dan meyakini...