Bab 7

80 21 4
                                    

"Nih dimakan buburnya."

"Makasih ya, Han. Maaf repotin, lo."

"Its, oke Beb, yang penting cepet sembuh. Entar lo gue palak lagi di kantin."

"Urusan kecil itu, bereees!"

"Alaah, belagu."

Fahma terkekeh di tempat tidur. Siang tadi dirinya minta dijemput oleh Hana yang terus saja menggerutu saat tahu dirinya berada di klinik sendirian. Mulutnya sepanjang jalan tidak lelah mengumpati suami Fahma yang entah di mana?

Padahal laki-laki itu yang seharusnya paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Fahma. Bukan malah bersikap cuek sampai membiarkan Fahma pergi memeriksakan kesehatan seorang diri.

Lebih menjengkelkannya lagi, saat tahu suhu tubuh Fahma benar-benar tinggi. Sungguh, Hana tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran pria itu. Kalau saja suami Fahma ada di depannya, Hana tidak akan segan menuntut pertanggungjawaban.

Biar saja dirinya dianggap sok ikut campur urusan rumah tangga orang juga. Buat Hana, perilaku Adiyaksa sudah sangat keterlaluan.

.
Hujan di luar cukup deras, Fahma sudah tertidur sekarang mungkin karena ada efek samping dari obat yang ia konsumsi. Badannya pun terlihat mengeluarkan keringat, suhu badannya telah menurun sedikit demi sedikit.

Hana merasa sangat lega karena sahabatnya membaik.

Kendati begitu, tetap saja Hana meara kesal bukan main. Dirinya berjanji akan membuat perhitungan kalau bertemu dengan suami dari Fahma. Kalau perlu haj*r saja sampai isi kepalanya dapat berpikir dengan baik. Supaya bisa memperlakukan Fahma selayaknya sebagai seorang istri.

                               ***

Di lain tempat, dengan suasana yang sama. Terlihat Adiyaksa terus saja mondar-mandir di depan rumahnya. Sebentar-sebentar lelaki itu melirik pada bulatan jam mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.

Raut wajahnya mendadak gelisah, sebab Fahma tidak kunjung pulang. Si*lnya, dirinya tidak mempunyai nomor ponsel istrinya itu. Itu membuat dirinya kesulitanbenar-benar dalam kesulitan sekarang.

Kenapa?

Karena sang Nenek baru saja mengabarkan bahwa nanti malam dirinya akan datang untuk menginap.

.
"Mas," panggil Jelita. "Masuk lah ngapain di sana. Hujan!" titah Jelita sok menjadi tuan rumah.

Melihat gadis itu, Adiyaksa jadi teringat padanya. Bagaimana bisa membiarkan Jelita tetap di sini, di saat Neneknya akan datang. Ini benar-benar menambah masalah.

Tanpa berucap kata, Adiyaksa merangsek masuk ke dalam. Membuat senyum Jelita merekah lebar karena sekali ucap saja, Adiyaksa menuruti dirinya.

Akan tetapi di putaran menit selanjutnya. Adiyaksa kembali dengan jaket melapisi tubuhnya juga kunci mobil di tangannya sudah cukup menjelaskan bahwa pria itu akan bergegas pergi.

"Mas mau ke mana?" tanya Jelita buru-buru.

"Mencari Fahma," jawab Adiyaksa singkat.

"Ngapain dicari sih, Mas. Nanti juga dia pulang sendiri. Lagian kan di luar hujan lebat," cegah Jelita dengan kaki mengekori Adiyaksa.

"Kamu kalau bisa cepat pergi dari sini. Atau menginap saja semalam di hotel."

"Loh, bagaimana bisa. Kamu tidak boleh mengusirku seperti ini?" Marah wanita berambut panjang ikal bergelombang itu tak terima.

"Nenek akan datang, Fahma tidak ada, dan kamu justru ada di sini. Tolong bekerja samalah!" Pinta Adiyaksa dari balik pintu kendaraannya yang sudah terbuka.

"Aku nggak mau, Mas. Biarkan saja Nenekmu datang."

Adiyaksa menggeleng cepat, lantas meloloskan dirinya masuk ke dalam badan mobil.

Jelita yang belum puas memprotes keputusan Adiyaksa barusan hanya bisa mengentakkan kedua kaki. Bersama pekikan suara yang melebur bersama derasnya hujan.

.
Di antara jalanan yang ramai, Adiyaksa memutar kemudinya penuh kebingungan. Ini sudah hampir malam tetapi belum kunjung mendapati kabar dari Fahma.

Kabar?

Yang benar saja! Siapa orang yang mau memberinya kabar jika dirinya saja begitu membatasi diri dari istrinya sendiri. Sedikit banyak Adiyaksa mulai berpikir ke arah sana.

Contoh kecil, terkesan sepele yaitu tentang nomor ponsel. Ayolah!

Suami istri mana yang tidak memiliki nomor pasangan masing-masing di zaman modern seperti ini. Di mana semua serba canggih dan menjadi salah satu alat praktis untuk saling memberi kabar. Dan itu terjadi pada pasangan Fahma dan Adiyaksa.

Tidak!

Ralat saja. Di sini bukan Fahma, hanya Adiyaksa saja yang tidak punya.

Bentangan langit berhiaskan senja dan awan abu-abu tua sudah semakin mengundang gulita malam. Kendaraan Adiyaksa masih saja berkeliling ibu kota, namun jejak Fahma masih belum bisa ia temukan.

Kini yang tergurat di wajah Adiyaksa, bukan lagi gelisah. Melainkan perasaan tak karuan, mengingat Fahma pergi dalam keadaan badan demam.

.
Di kediaman Hana yang sederhana. Fahma sudah bangun dari tidurnya, ia merasa kegerahan. Bukan hanya dari efek obat dan demam yang sudah turun.  Tetapi juga hawa dari hujan sepanjang sore.

"Han."

"Eh, udah bangun lo."

Fahma mengangguk dari tempatnya. Dirinya berusaha bergerak untuk mengubah posisi.

"Masih pusing?" tanya Hana langsung datang mendekat.

"Ya, dikit," jawabnya.

"Lo butuh apa?" Hana bertanya lagi menawarkan bantuan.

"Gue mau pulang."

"Hah! Gila, masa tiba-tiba mau pulang!"

"Gue keinget rumah, Han."

"Keinget rumah apa keinget rumah?" Ejeknya.

"Mas Adi sama cewek lain di rumah Han. Masa sih gue biarin mereka berduaan gitu aja, entar kalo ada yang gerebeg gimana?"

Hana terkekeh, ia menertawakan Fahma yang bangun-bangun malah minta pulang dengan pikiran jauh melayang ke mana-mana.

"Ini kota besar, Beb."

"Hush! Suami gue emang agak lain, tapi jangan sampai kek gitu dong!" Omel Fahma, padahal Hana hanya berniat bercanda.

"Nggak usah pulang, deh! Badan lo baru membaik."

"Haaaan!"

.
Bersambung ....

(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang