Bagian 1: DESTRUCTION

5 0 0
                                    

Selamat membaca!!

Laki-laki berusia 15 tahun itu berlari mencari jasad keluarganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laki-laki berusia 15 tahun itu berlari mencari jasad keluarganya. Bersama dengan pengawal pribadinya, Benedict membalik satu persatu tubuh yang tergeletak tak bernyawa di kediaman keluarganya.

Matanya memanas ketika ia menemukan tubuh Ayahnya yang sudah tak bernyawa dengan banyak luka tusuk di tubuhnya dan luka terbuka di lehernya. Tangannya mengepal kuat, mengingat kemungkinan siapa pelaku dibalik pembantaian terhadap keluarganya.

“Cari Ibu dan adikku!” Kama-Prajurit yang senantiasa menjaga Benedict dari kecil itu berjalan terlebih dahulu, membuka ruang dengan menyingkirkan mayat teman-teman seperjuangannya.

“Elzatta!”

“Nona muda!”

Mereka berdua berteriak cukup keras. Mencari ke semua tempat dimana kemungkinan adik-adiknya bersembunyi.

Dengan tubuhnya yang cukup tinggi dan kuat, Benedict mendorong pintu kamar adiknya. Badannya mematung tatkala matanya menangkap kedua sosok adiknya yang berada di dekat tubuh sang Ibu.

“Ell,” Panggil Benedict dengan suara pelan.

Elzatta tidak menyahut bahkan menoleh sedikitpun, gadis kecil itu duduk dengan memangku sang adik. Tangan kecilnya menggenggam jemari Ibunya yang kini sudah tidak bernyawa.

Benedict berlari memeluk kedua adiknya, terisak pelan ketika mengingat yang terjadi pada keluarganya saat ini.

“Tuan ...”

“Tolong bawa Ellyas,” Pengawal itu berjalan menghampiri tuannya dan berjongkok untuk menggendong bayi kecil Elyas.

Benedict menatap adiknya yang hanya diam mematung, tak ada tangisan lagi, hanya ada jejak air mata yang mengering. Ekspresi kemarahan nampak jelas di wajah cantik itu.

“Ell, kita harus pergi, mereka pasti akan kembali kesini untuk mencari kita.”

“Elzatta, dengarkan aku,” Tangan Benedict menangkup wajah adiknya, membuat Elzatta kini sepenuhnya menatap wajah sang Kakak.

“M-mereka membunuh Ibu dan Ayah.”

“Aku tau.”

“A-aku …”

“Tuan, mereka datang lagi,” Kama berucap seraya memegang erat pedang miliknya. Satu-satunya orang yang bisa melindungi ketiga anak itu hanya dirinya seorang. Apapun yang terjadi Kama akan membawa mereka keluar dari tempat ini.

“Ell,” Benedict memegang bahu adiknya, berusaha untuk membantunya berdiri.

Elzatta memandang tubuh Ibunya. Tangan gadis itu terus menggenggam erat liontin milik Duchess Liliana.

‘Akan ku balas semuanya! Semua orang yang terlibat dalam rencana ini! Aku pastikan mereka menerima balasan yang lebih keji!’ Batin Elzatta sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya.

Berita pembantaian keluarga Duke Aldridge sudah tersebar di seluruh penjuru negeri. Mulai dari rakyat dan para bangsawan bertanya-tanya siapakah orang yang dengan berani membunuh sang Duke dan istrinya yang terkenal dengan budi luhurnya.

Seketika berita kematian dua orang ternama di Kerajaan Castimora menjadi berita yang paling menggemparkan. Di tambah lagi, para prajurit yang melakukan evakuasi terhadap seluruh mayat di kediaman Aldridge tidak menemukan mayat ketiga anak Duke tersebut.

Entah mereka sengaja dibawa oleh si pelaku, atau memang mereka bertiga berhasil melarikan diri, dan bersembunyi untuk sementara. Opsi ke dua menjadi doa yang dipanjatkan oleh seluruh rakyat Castimora.

“Kalian menemukan sesuatu?” William Axelo de Castimora, Raja kerajaan Castimora.

Viscount Alaric Rodriquez terkesiap saat dirinya tengah berdiskusi dengan para bawahannya, Viscount Rodriquez menunduk hormat, “Salam untuk Yang Mu–”

Raja William mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Viscount Rodriguez, “Jelaskan apa yang kau dapat!”

“Kami hanya menemukan kaki tangan mereka, Yang Mulia. Saat kami mengintrogasi, mereka memilih bungkam dan memilih untuk bunuh diri,”

Raja William mengeram marah, “Bagaimana dengan anak mereka?”

“Maafkan hamba Yang Mulia, kami tidak menemukan keberadaan mereka berdua, begitu pula Tuan Muda Benedict yang menghilang dari Academy.”

“Kemana sebenarnya anak-anak itu pergi,” Gumam William.

“Kemana sebenarnya anak-anak itu pergi,” Gumam William

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara alas kaki yang beradu dengan dedaunan kering. Langkah kaki yang bergerak dengan cepat, membelah lebatnya hutan. Matahari belum menampakkan sinarnya. Hutan belantara dengan puluhan bahkan ratusan pohon menjulang tinggi menutupi langit.

Seorang pria dewasa menuntun dua orang anak untuk mengikutinya secepat mungkin. Tangan kirinya memegang kuat pedang untuk berjaga-jaga, sedangkan tangan kanan pria itu memeluk erat bayi kecil yang masih terlelap di gendongannya.

Berlari cukup lama, mereka biasa menunggang kuda kini harus berlari memaksa kaki untuk dapat melarikan diri. Hampir dua jam mereka berada di hutan, sampai suara-suara prajurit sedang berlatih, pedang yang saling beradu membuat si pria bernapas lega. Mereka sampai, dia telah membawa anak-anak tuannya dengan selamat.

“Kakek!” Benedict berteriak ketika melihat seorang pria paruh baya berusia sekitar tujuh puluh tahunan yang sedang mengawasi para prajurit berlatih, di sampingnya terdapat seorang tangan kanan pria tua tersebut.

Jenderal Richard menoleh. Ekspresinya nampak terkejut sekaligus lega, “Kalian baik-baik saja?” Pria tua itu meneliti tubuh ketiga cucunya. Ia sudah mendengar berita dari ibukota. Di mana putri satu-satunya harus meregang nyawa akibat pembantaian yang dilakukan oleh pengkhianat. Ia baru saja ingin menugaskan Marco-tangan kanannya- untuk mencari ketiga cucunya.

Mata pria tua itu menatap Kama, salah satu prajurit terbaiknya yang memang ditugaskan untuk menjaga putrinya. Naas saat kejadian, Kama tengah mengawal putra sulung keluarga Aldridge untuk kembali ke Akademi.

Jenderal Richard melipat kedua lututnya, bertumpu di atas tanah, fokusnya kini berada pada gadis kecilnya. Rambut yang tidak tertata rapi, wajah sembab, dan gaun yang memiliki bercak darah. Ekspresi Elzatta tidak berubah, gadis kecil itu hanya diam saja,  “Ell ...” tangan keriput Jenderal Richard menyentuh surai panjang Elzatta, “Kau aman sekarang, Nak.”

“El mendengar semuanya, Kek. Ia mendengar bagaimana mereka membunuh Ibu,” Benedict jelas tau kenapa adiknya ini hanya diam saja. Rasa terkejut, marah, dan benci menjadi satu kesatuan.

“Kita bicara di dalam,” putus Jenderal Richard seraya mengambil alih Ellyas dari gendongan Kama.

_______

🐣Win

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DESTRUCTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang