Deras

30 1 0
                                    

Langit seperti tak mau berhenti mencurahkan hujan. Rintik airnya deras seperti tak berkesudahan. Angin pun tak mau kalah, berdesau dengan kencang. Pohon-pohon melambai pasrah. Tanah penuh genangan. Daun-daun berserakan. Petir sesekali menggelegar. Orang-orang tak ada yang berani keluar rumah. Sudah tiga hari, matahari enggan keluar bahkan untuk sekedar mengintip. Jika sudah begini, para penambang motor air tidak bisa bekerja mengangkut penumpang. Sudah bisa dipastikan arus air sungai akan bertindak seperti ingin menenggelamkan apa saja yang melintas. Tidak ada yang berani mengambil risiko. Lebih baik menetap di rumah. Tidur, makan, entah apalah, asal tidak keluar.

Bujang duduk di teras rumah sambil memandang hujan. Menatap nanar ke depan. Menatap kosong. Dia tidak peduli meski air hujan yang dilayangkan angin bisa membasahi tubuhnya. Tampias hujan. Udara dingin juga mulai merasuki tubuhnya. Sekali lagi dia tidak peduli kalau akan kuyup meski tidak bermain hujan. Bujang berharap hujan segera berhenti. Tiga hari sudah dia tidak bekerja. Pekerjaan yang penuh risiko kalau dipaksa hujan-hujan. Lagian siapa pula orang yang mau naik motor airnya saat hujan deras begini. Bujang tahu kalau tidak bekerja, tidak ada penghasilan. Itu berarti tidak ada telur goreng di meja dapur, berganti hanya sambal terasi yang dimakan pakai nasi dicampur minyak jelantah. Satu jam, dua jam, hujan dan secangkir kopi yang sudah lama dingin masih setia menemani Bujang yang sejak tadi tak beranjak masuk ke rumah. Sementara Dare, tengah tertidur pulas. Apalagi yang bisa dilakukan saat hujan deras, selain tidur. Ranjang tidur yang tak terlalu besar beralaskan tikar itu sudah sempurna membuat Dare tak sadarkan diri. Dia mendekap bantal guling berwarna coklat, semakin menambah lelap. Sejak tadi dia sudah memanggil-manggil suaminya itu, tapi tidak digubris.

"Bang, ayolah masuk. Nanti Abang basah kuyup." Serunya sambil menutup jendela di ruang tengah.

"Bang o Bang", tambahnya lagi. Hening. Tak ada balasan dari Bujang. Sambil mendengus kesal akhirnya dia masuk ke kamar dan tidur. Memutuskan tak peduli apa yang sedang dipikirkan suaminya. Barangkali suaminya itu sedang berpikir apakah besok akan lauk sambal terasi lagi atau apakah besok akan ada keajaiban kalau mereka bisa makan telur goreng atau barangkali juga ikan goreng. Bujang masih duduk di teras. Kali ini matanya sudah berkedip, berkeliaran memandang kiri dan kanan. Bibirnya seperti mengucapkan sesuatu. Bujang tidak bisa mengendalikan hujan, sama seperti dia tidak bisa memutar waktu. Dia sesekali mendongak ke atas, pasrah. Langit semakin putih, hujan semakin menjadi-jadi.

***

Menanti JuangWhere stories live. Discover now