Keesokan harinya, langit bersahabat. Hujan yang turun selama tiga hari itu seperti raib, tak bersisa di langit. Hanya genangan yang tertinggal dan air sungai yang meninggi. Bujang sudah meninggalkan rumah sejak pukul enam pagi menggunakan sepeda onthel warisan dari ayahnya. Dia tentu saja menuju Dermaga Dusun Siduk untuk menimba air yang memenuhi motor airnya. Hari ini dia bisa bekerja kembali mengantar penumpang dari Galing, Sekura, atau darimana sajalah dengan tujuan Siduk. Sementara Dare tengah sibuk mencuci pakaian yang sudah tiga hari menumpuk di belakang dapur. Sabun batangan yang dia gunakan untuk mencuci hanya tinggal seperempat. Dia harus pandai-pandai berhemat. Rumah mereka terbilang kecil. Hanya terdiri dari teras yang cukup memuat lima orang untuk duduk di depannya, ruang tamu lesehan, satu kamar tidur, dan dapur. Jamban? Tentu saja mereka punya. Tempat itu hanya dipagari dengan susunan bambu di bagian depan, kiri, dan kanan. Jambannya hanya berupa lubang menganga yang langsung masuk ke tanah. Jika menyetor di kala hujan, tentu saja akan kuyup. Atap rumahnya terbuat dari daun sagu yang disusun rapi menjadi satu kesatuan, sementara dinding tersusun dari kayu-kayu gaharu. Halaman depan rumah mereka cukup luas. Beberapa waktu lalu Dare sering menanaminya puring, bunga aster, bugenvil, serta mawar. Tapi sekarang sepertinya tanaman-tanaman itu sudah tak terurus. Tangkainya mulai layu. Daun-daunnya mulai berguguran.
"Assalamu'alaikum...", terdengar suara salam dari luar.
"Wa'alaikumussalam. Masuk, Mak." Jawab Dare seusai menjemur seluruh pakaian di samping rumah.
Dare mencium tangan wanita tua yang seminggu sekali bertandang ke rumahnya. Wanita tua itu tampak kelelahan membawa sekarung beras berukuran lima kilo.
"Ah, kepaknye...." Ucap wanita tua itu sambil membujurkan kaki. Dia sangat kelelahan. Dare mengambilkan segelas air putih untuknya.
"Masak ape kau, Re?" Sepertinya selain lelah dia juga kelaparan.
"Masak sambal terasi, Mak." Sahut Dare sambil memijat-mijat kaki wanita tua itu.
"Tang masak sambal terasi tolen. Si'an ke lauk laing?" Wanita tua itu bertanya apakah ada lauk selain sambal terasi.
"Si'an, Mak. Bang Bujang barok bise kerje agek hari itok." Sambil menunduk Dare menjawab kalau tidak ada lauk lain karena Bujang baru bisa bekerja hari ini.
"Ambilkanlah. Aku mau makan."
Tergopoh Dare mengambilkan sepiring nasi dengan lauk sambal terasi yang diberi tetesan minyak jelantah. Wanita tua itu makan sambil bersungut-sungut. Dare kembali mengambil air putih yang sejak tadi ternyata sudah habis. Sesekali memerhatikan wanita tua itu menyendok nasi memasukkannya ke dalam mulut. Ah, kenapa Umak harus datang hari ini. Begitu mungkin yang ada di pikiran Dare. Sebelumnya dua minggu terakhir, Bujang membawa setoran yang cukup untuk membeli ikan. Jadilah Dare hari itu bisa masak ikan goreng. Seperti biasa di hari yang sama, wanita tua itu datang dengan membawa beras. Tersengal-sengal kelelahan setelah berjalan sekitar lima belas menit dari rumahnya.
"Lauk ape kitak?", dia bertanya soal lauk.
"Alhamdulillah, hari ini lauk ikan goreng, Mak." Dare yang sudah paham langsung mengambilkan sepiring nasi dan segelas air putih. Wanita tua itu semringah, ikut senang karena bisa makan ikan goreng. Dare mendengus pelan. Ibu mertuanya hanya tahu mengomentari apa yang dia kerjakan. Marah-marah kalau ternyata tidak ada lauk saat dia berkunjung. Sebenarnya Dare sudah lama menahan-nahan amarah. Ingin sekali keluar semua unek-unek yang ada di hatinya. Hanya soal waktu semua itu akan meledak. Tapi demi menjaga sopan-santun dan tidak ingin ribut dengan Bujang, jadilah dia hanya diam. Menjawab selembut mungkin kalau mertuanya itu bertanya. Mendengarkan dengan sabar kalau mertuanya itu mulai mengomel. Ya Allah kuatkan. Begitu dalam hatinya.
***
YOU ARE READING
Menanti Juang
FantasyBerkisah tentang sebuah keluarga yang tinggal di pedalaman desa, menanti hadirnya buah hati. Penantian selama bertahun-tahun jelas tidak mudah. Banyak gunjingan dari tetangga bahkan mertua. Kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, semakin menambah...