Tepat jam sepuluh pagi, Dare tiba di Rumah Sakit Kasih Bunda. Janji temu dengan Bidan Jenab sekitar lima belas menit lagi. Jantungnya berdegup kencang, tak sabar ingin bertemu dengan bidan andalannya itu.
"Ibu Dare..." Suara perawat terdengar, menyuruhnya masuk.
Dare melangkah dengan mantap, tersenyum melihat Bidan Jenab. Sekitar dua puluh menit berada di ruangan, Dare keluar dengan wajah yang semringah. Dia dan Bujang akan memulai lagi apa yang pernah tertunda. Dia dan Bujang akan bersemangat lagi untuk mempunyai buah hati. Tidak masalah meski pertemuannya dengan Bidan Jenab hanya diresepi obat hormon, tapi saran untuk pola hidup sehat itu akan dia laksanakan. Janji!
Pukul satu siang, Dare sudah berada di rumah. Perjalanan Singkawang-Sambas memakan waktu dua jam. Sepanjang perjalanan Dare hanya diam menatap rumah-rumah, hutan, sungai. Pikirannya sedang riuh. Mengandai-ngandai semua kemungkinan buruk.
"Bagaimana kalau ternyata aku benar-benar mandul? Bagaimana kalau aku dan Bang Bujang tidak punya keturunan?"
"Aku yakin kalian pasti punya keturunan." Sergah sebagian pikirannya.
"Bagaimana caranya. Haidku masih sering tidak lancar." Pikirannya terdengar putus asa.
"Setidaknya setelah tujuh tahun, dua bulan berturut-turut haidmu sudah lancar." Timpal sebagian pikirannya yang lain. Memberi harapan.
"Tapi aku tidak yakin akan lancar dalam waktu lama." Pikirannya masih terdengar menyerah.
"Bagaimana kamu tahu? Kita lihat saja bulan ketiga." Masih jawaban positif dari pikiran yang lain.
"Aku takut. Bagaimana kalau semua itu terjadi?"
"La Tahzan Innallaha Ma'ana..."
Lantunan ayat suci yang diputar oleh supir bus itu menyadarkan kerumitan pikiran Dare. Astagfirullah. Bagaimana bisa selama ini dia mengabaikan pemilik jiwanya. Bagaimana bisa selama ini dia hanya bergantung pada usahanya? Melupakan Sang Pemberi. Ya Allah ampunkan hamba. Dare terisak pelan, matanya mulai basah. Dia memalingkan wajah ke sebelah kanan jendela, menyenderkan kepalanya di kaca. Membiarkan semilir angin menyentuh wajahnya yang sembap. Meskipun dia tidak tahu arti dari potongan ayat itu, tapi hatinya berdesir. Ayat itu seolah menyentuh hatinya yang rapuh.
"Bang, bagaimana seandainya kalau Allah menakdirkan kita tidak punya keturunan?" Sebuah pertanyaan yang membuat Bujang mengernyitkan dahi saat makan malam.
"Kalau Abang tidak masalah. Anak kan rezeki dari Allah. Sebagai manusia kita tidak bisa memaksa. Kalau tidak diberi tidak apa-apa. Kalau diberi kita bersyukur."
Jawaban yang begitu menenangkan hati Dare. Dia bahagia karena Bujang tidak pernah menuntut apapun. Tidak pernah bertanya apakah perutnya sudah isi atau belum. Tidak pernah mempermasalahkan soal anak. Baginya jawaban Bujang sudah lebih dari cukup untuk tidak memusingkan kembali pertanyaan-pertanyaan berisik soal anak.
***
YOU ARE READING
Menanti Juang
FantasyBerkisah tentang sebuah keluarga yang tinggal di pedalaman desa, menanti hadirnya buah hati. Penantian selama bertahun-tahun jelas tidak mudah. Banyak gunjingan dari tetangga bahkan mertua. Kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, semakin menambah...